Warga Indonesia di Hong Kong Ceritakan Pengalaman Ikut Demo Tolak Ekstradisi
Yuni dan Michelle bisa jadi potret langka kebersamaan ibu dan anak. Dua perempuan yang tinggal di Hong Kong ini, pekan lalu, kompak turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan mereka atas usulan perubahan perjanjian ekstradisi.
Tanggal 12 Juni 2019, Yuni Sze memutuskan untuk bergabung dengan aksi unjuk rasa di pusat kota Hong Kong.
“Waktu menunjukkan pukul 16.43, begitu keluar dari stasiun Admiralty exit C, puluhan ribu massa tumpah ruah disana. Badan saya gemetar, emosi,marah, semua campur aduk.”
“Mata saya perih sekali, nafas terganggu karena baru saja bubuk merica dan gas airmata ditembakkan ke udara,” tulis Yuni di akun Facebook pribadinya sehari setelah demonstrasi.
Saat itu, di berbagai sudut pusat kota Hong Kong, Yuni melihat anak-anak muda membagikan perlengkapan seadanya seperti masker,sarung tangan dan air mineral.
“Di sisi lain, saya juga melihat mereka sibuk menarik selang air yang biasanya digunakan untuk menyiram taman untuk membantu demonstran lain membasuh muka mereka yang terkena semprotan bubuk merica maupun gas air mata,” lanjut postingan bertanggal 13 Juni yang sudah dibagikan 2800 kali itu.
Pekan lalu, selama beberapa hari, ratusan ribu warga Hong Kong turun ke jalan menyuarakan penolakan mereka atas rencana Parlemen setempat untuk mengubah Undang-Undang ekstradisi, yang memungkinkan ekstradisi ke yurisdiksi atau negara mana pun meski tidak memiliki perjanjian, termasuk dengan China, Makau, dan Taiwan.
Dalam catatan ABC, ketiga yurisdiksi itu memang sengaja dikecualikan dari perjanjian di masa lalu karena kekhawatiran atas independensi peradilan dan rekor Hak Asasi Manusia (HAM) yang buruk.
Yuni adalah warga Indonesia yang sudah menetap di pulau kecil China dengan Administrasi Spesial tersebut selama hampir 25 tahun. Ia menikah dengan pria Hong Kong dan berkeluarga di bekas jajahan Inggris itu.
Ia berunjuk rasa karena mengaku terpanggil.
“Panggilan hati nurani. Demi anak-anak Hong Kong, demi generasi penerus kami.”
“Karena jika ini disahkan, yang akan sangat merasakan dampaknya adalah anak-anak yang saat ini masih pelajar,” tuturnya kepada ABC hari Senin (17/6/2019).
Langkah perempuan yang berprofesi sebagai manajer operasional di tabloid berbahasa Indonesia di Hong Kong -Apakabar Plus, ini ternyata diikuti sang putri yang masih duduk di bangku SMA.
Anak perempuan Yuni yang masih remaja, Michelle (16) juga menjadi bagian dari massa demonstran. Putri Yuni bahkan mengikuti unjuk rasa sejak tanggal 9 hingga 16 Juni.
Berbeda dari kebanyakan orang tua, Yuni justru mengizinkan anaknya untuk menjadi bagian dari aksi demonstrasi.
Ia memang tak turun berdampingan dengan sang putri, yang berunjuk rasa bersama teman-teman sekolahnya. Namun sebagai orang tua, ia sempat memantau keberadaan gadis itu.
“Saya enggak ketemu (Michelle). Saya enggak sempat cek WA dia lagi.”
“Tahu-tahu waktu jalan pulang ker rumah, sudah mau sampai rumah, ternyata saya segerbong (dengan Michelle) di dalam MTR (kereta bawah tanah,” ceritanya kepada ABC Indonesia. (17/6/2019).
Kepada sang ibu, si putri sulung merasa unjuk rasa itu adalah waktunya untuk ‘berbicara’. Padahal di saat yang bersamaan, ia sedang menjalani ujian.
“Kan lagi masa ujian di Hong Kong. Jadi para pelajar mayoritas pulang awal.”
“Pulang sekolah, dia cuma pulang menanggalkan seragamnya, langsung join demo. Pulang-pulang sekitar jam 10an malam,” kata Yuni.
Menjadi saksi dan bagian langsung dari sejarah politik di Hong Kong, perempuan yang aktif di media sosial ini mengatakan ia cukup terkesan akan semangat warga lokal di sana.
Apalagi, meski dihadiri oleh jumlah massa yang sangat besar, unjuk rasa yang ia ikuti ini berlangsung relatif aman.
“Sama sekali tak ada kerusakan pada gerai atau toko-toko, transportasi dan lain-lain.”
“Hampir 25 tahun di Hong Kong belum pernah sama sekali dan belum pernah melihat semangat orang Hong Kong seperti ini. Lautan Hitam,” ungkapnya kepada ABC.
Sama seperti aspirasi sang putri, Yuni merasa ia harus menjadi bagian dari unjuk rasa berhari-hari ini. Ia, begitupun sang putri, tak ingin kebebasan diambil alih.