Warga Indonesia Bawa Difabel Australia ke Pantai
Lina Herliana, mahasiswa asal Indonesia di Australia Selatan menceritakan pengalamannya menjadi relawan di sana. Menurutnya, banyak manfaat yang bisa dirasakan di saat kita meluangkan waktu untuk mengerjakan hal yang berguna bagi orang lain.
Sabtu, 4 Februari 2017, Lina Herliana sudah bergegas untuk mengejar bus umum dari rumahnya di kawasan Urrbrae, Australia Selatan, sebelum jam menunjukkan pukul 7 pagi.
Di akhir pekan yang biasanya dijadikan dirinya untuk lebih bersantai, Lina telah membuat komitmen untuk menjadi relawan sebuah kegiatan bernama Accessible Beaches.
Acara ini memberikan kesempatan bagi warga yang menggunakan kursi roda untuk merasakan air laut, dan bagi sebagian diantaranya ini menjadi pengalaman pertama kalinya.
Setelah memakan waktu hampir dua jam di dalam bus, akhirnya Lina tiba di Henley Beach, Adelaide. Ia datang pas lima menit sebelum briefing untuk relawan dimulai.
Cuaca di pantai saat itu cukup bersahabat, sekitar 29 derajat Celcius setelah sebelumnya diguyur hujan. Di musim panas, suhu udara di pantai Adelaide biasanya bisa mencapai 39 hingga 40 derajat Celsius.
Ada beberapa tugas yang dapat dipilih oleh relawan, seperti mengangkat tamu ke kursi roda khusus di pantai, mendorong kursi roda di pantai, menjadi penerima tamu, hingga bertanggung jawab dengan konsumsi.
“Kami memilih untuk mendorong kursi roda di pantai,” ujar Lina yang bergi bersama kawannya Sito Rukmi, yang pertama kali mengajaknya sebagai relawan di acara tersebut.
“Beruntung karena kami mengikuti briefing di pagi hari oleh Shane Hryhorec, pendiri Push Mobility dan Liam Thomas yang menghubungi relawan lewat email. Kita jadi bisa tahu siapa saja yang terlibat dan cara menggunakan semua jenis kursi roda. Kami pun mempunyai waktu untuk berlatih terlebih dahulu sebelum tamu datang,” kata Lina kepada Erwin Renaldi dari ABC Australia Plus.
Kegiatan ini adalah sebagai seruan bagi para pemerintah lokal di sejumlah kawasan pantai Australia, untuk memiliki jalur khusus yang bisa digunakan para warga difabel, khususnya para pengguna kursi roda untuk bisa ikut menikmati pantai.
Ada tiga jenis kursi roda yang ditawarkan bagi warga difabel, yakni Mobi-chair yang terapung di air, Lasher Sport, dan DaVinci Beach yang boleh digunakan di sepanjang pantau, tapi tidak boleh masuk ke air lebih dari lutut.
“Sebagai volunteer, kita harus menanyakan terlebih dahulu apakah mereka membutuhkan bantuan kami untuk pindah dari kursi roda mereka ke kursi roda khusus atau tidak,” kata Lina.
Lina merasa kagum melihat para pengguna kursi roda terlihat sangat menikmati suasana di pantai, khususnya mereka yang pertama kali merasakan air laut.
“Ada yang memainkan jemari mereka dengan histeris. Tidak semua peserta dapat mengungkapkan perasaan mereka secara verbal, ada yang lewat bantuan mesin dengan cara ditekan, lalu mesin tersebut mengeluarkan suara terima kasih,” jelas Lina.
Kekaguman dan kebahagiaan yang juga dirasakan Lina seolah mengubur ketakutan yang ia hadapi sebelumnya.
“Kami sedikit canggung, karena hanya kami berdua yang menggunakan hijab dan ada rasa khawatir bagaimana kalau mereka tidak mau kita dorong, atau terjadi kecelakaan, atau ada pernyataan kami yang menyinggung perasaan mereka. Ternyata itu semua hanya prasangka kami saja,” akunya.
Lina, yang kini sedang melanjutkan studinya di program Master of Plant Biotechnology, University of Adelaide ini mengaku mendapat banyak pengetahuan soal difabel dan kursi roda dengan menjadi relawan di acara Accessible Beaches.
“Saya jadi mengenal dan mengetahui cara menggunakan kursi roda khusus dan karpet yang didesain untuk memudahkan para pengguna kursi roda,” kata Lina yang bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di PUSPITEK, Serpong, Tangerang Selatan.
Menjadi relawan di acara yang diadakan oleh komunitas seorang Indonesia adalah yang pertama kalinya bagi Lina. Dan ia merasakan banyak manfaat dengan menjadi relawan.
“Bisa memanfaatkan waktu luang untuk hal yang berguna bagi lingkungan kita, meningkatkan rasa syukur dengan apa yang kita miliki, dan menghilangkan perasaan takut bahwa orang lain akan menolak keberadaan kita karena latar belakang yang berbeda,” kata Lina.
Ia juga merasa dengan menjadi relawan bisa melepaskan sejenak dari kesibukan kuliahnya, sekaligus jadi ajang untuk melatih berkomunikasi dengan warga lokal Australia.
Dapatkan kisah inspiratif lainnya dari warga Indonesia yang tinggal di Australia, lewat situs australiaplus.com/indonesian dan bergabunglah bersama komunitas Australia Plus Indonesia di facebook.com/AustraliaPlusIndonesia.