Tumbuhkan Jenggot, Pria Australia Ini Dikira Ekstrimis
Amit Khaira adalah seorang guru dan pendeta Kristen berlatar belakang Hindu di Australia yang biasanya keluar rumah tanpa menarik perhatian dengan mengenakan kaos dan celana jins.
Tetapi pada Januari 2018, ia memutuskan untuk memulai eksperimen sosial selama setahun di mana ia menumbuhkan janggut, mencukur rambutnya, dan mengenakan kurta.
“Saya menghabiskan tahun ini dengan berusaha lebih intens menggunakan transportasi umum dan berada di komunitas, mengenakan pakaian tradisional dan mendengarkan serta mengamati sebanyak mungkin,” katanya.
“Saya belajar banyak.”
Ayah empat anak itu menuturkan bahwa pengalaman itu seperti “mengenakan tanda waspada di tubuh kita”.
“Beberapa orang akan berbicara sedikit lebih lambat dan sedikit lebih jelas karena saya mungkin tidak mengerti -sementara lainnya menyeberangi jalan.”
“Ada pengalaman berbeda sepanjang tahun ketika saya benar-benar merasa tidak nyaman dan dibuat merasa tidak nyaman.”
Khaira mengatakan orang-orang yang ditemuinya terkejut ketika ia mulai berbicara dengan aksen Australia yang kental.
Mendapat pengusiran
Ia mengatakan pengalaman paling menantang terjadi selama kunjungan sepulang sekolah ke supermarket untuk membeli ayam panggang.
“Saya bertemu seseorang yang menyuruh saya kembali ke tempat asal saya, sementara saya membawa putri bungsu saya.”
“Dia (putri saya) agak bingung, bertanya mengapa orang ini berbicara kepada ayahnya seperti ini, kami bahkan tidak mengenalnya.”
“Yang bisa saya katakan kepadanya adalah, ‘dia (pria itu) hanyalah takut, tidak apa-apa’.”
Khaira memutuskan untuk tetap tenang dan merespons dengan humor.
“Saya hanya berkata: ‘Begitu saya mendapatkan ayam saya, saya berencana untuk pulang, saya baru saja datang untuk mengambil ayam saya’.”
“Atau bisa juga rasisme.”
Dianggap ekstrimis
Khaira mengatakan ia melakukan percobaan itu sebagai cara untuk memulai percakapan.
“Pertama kali saya melakukan eksperimen sosial sebenarnya kembali pada tahun 2013 dan saya adalah seorang pendeta di sekolah menengah,” katanya.
“Selama tahun itu beberapa kolega saya di sekolah saya akan mendatangi saya dan berkata: ‘Kapan kamu akan menyingkirkan benda itu? Setiap kali saya melihatmu, saya merasa ada seorang ekstremis Muslim di sini di sekolah’.”
“Itu kolega saya mengatakan hal-hal seperti ini.”
“Pada dasarnya, mereka mengatakan ‘kami punya hak untuk takut’ – hal yang ‘dianggap hak’ itulah yang ingin saya pertanyakan.”
Pengalaman menarik
Pada kesempatan lain, ia mengatakan dirinya melihat reaksi ketakutan instan dari penumpang ketika ia naik kereta ke kota dalam perjalanan ke sebuah konferensi.
“Ada tempat kosong di sebelah seorang perempuan yang membaca koran. Saya ke sana dan saya duduk di sebelahnya dan menyapanya dengan cara tradisional,” kata Khaira.
“Koran itu naik lebih tinggi – banyak orang mulai menyalakan ponsel mereka, mungkin merekam apa yang sedang terjadi.”
Ketika seorang kolega, yang panggilan akrabnya adalah Boom, naik kereta di halte berikutnya, Khaira memanggil untuk menyapa temannya.
“Ia berjalan dengan kopinya, kami pergi ke konferensi yang sama. Saya berteriak ‘Boom’ dan semua orang langsung saja tiarap.”
“Itu adalah perjalanan kereta yang menarik [ke kota].”
Mengatasi rasa takut
Pada akhirnya, percobaan ini menunjukkan bagaimana rasa takut dan kesan pertama menghalangi hubungan dan pemahaman, katanya.
“Pelajaran terbesar ini [dari tahun ini] adalah seberapa sering kita membiarkan rasa takut menentukan hubungan.”
“Ketakutan ada karena sesuatu atau seseoran yangg tidak dikenal.”
“Jika seseorang atau sesuatu tidak diketahui, apakah kita bersedia meluangkan waktu dan melakukan upaya untuk membuat apa yang tidak diketahui menjadi diketahui?”
Istri dan anak-anak Khaira kini merasa lega setelah ia mencukur jenggotnya.