Thailand Pernah Jadi Contoh Sukses Penanganan COVID, Kini Kasusnya Melonjak
Thailand pernah dianggap contoh sukses penanganan COVID-19 di awal pandemi, tetapi negara itu telah alami lonjakan infeksi yang cepat selama dua minggu terakhir.
Thailand adalah negara pertama di luar China yang melaporkan kasus virus corona baru pada Januari tahun lalu.
Pada pertengahan Desember, Thailand hanya mencatat 4.246 infeksi dalam populasinya yang berjumlah hampir 70 juta orang.
Namun, pada 20 Desember terjadi lonjakan jumlah kasus baru di Thailand sebanyak 576 kasus, naik dari hanya 34 kasus pada hari sebelumnya.
Dalam waktu lebih dari dua minggu, jumlah total kasus telah meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 9.331 minggu ini, dengan rekor jumlah tertinggi harian sebesar 745 kasus pada hari Senin (4/1).
Ada apa di balik wabah terbaru ini?
Sebagian besar infeksi baru ditemukan pada pekerja migran yang terkait dengan pasar makanan laut di provinsi Samut Sakhon, sebelah barat daya Thailand dan berdekatan dengan ibu kota Bangkok.
Klaster tersebut telah menyebabkan infeksi di lebih dari setengah provinsi itu.
Di Samut Sakhon, tercatat ada hampir setengah juta pekerja migran yang kebanyakan berasal dari negara tetangganya, Myanmar.
Myanmar telah melaporkan lebih dari 127.000 kasus dan 2.766 kematian akibat virus corona hingga saat ini.
“Kami belum tahu bagaimana wabah ini dimulai. Kami tahu COVID telah ada di Myanmar selama beberapa waktu dan sangat sulit untuk mengontrol pergerakan, bagaimanapun juga, melintasi perbatasan,” kata Richard Brown, manajer program keadaan darurat kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Thailand kepada ABC.
Entah bagaimana, menurutnya, virus tersebut dapat sampai ke komunitas pekerja migran dan menyebar. Namun, diduga kuat virus ini tidak terdeteksi sebelumnya karena kelompok pekerja ini tidak bergejala.
Kondisi yang menimbulkan transmisi
Menurut Melissa Marschke, peneliti dari Universitas Ottawa dan Peter Vandergeest dari Universitas York, pekerja migran seringkali bekerja dalam kondisi yang buruk sehingga membuat mereka rentan terhadap infeksi.
“Pekerja migran sering tinggal di perumahan yang padat, tidak harus berbicara bahasa Thailand, tidak dapat mengakses layanan kesehatan dengan mudah atau meluangkan waktu untuk melakukan tes COVID-19,” kata mereka kepada ABC melalui email.
Mereka menambahkan, undang-undang Thailand tentang pekerja yang tidak berdokumen juga dapat menghalangi mereka untuk melapor ketika sakit.
Tetapi di saat yang bersamaan, kelompok advokasi dan kementerian kesehatan provinsi telah proaktif menjangkau kelompok pekerja ini dengan menyediakan penerjemah Burma untuk memberikan informasi tentang virus tersebut, kata mereka.
Menurut mereka, ini menunjukkan bahwa marjinalisasi pekerja migran bisa berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, dan ini tidak hanya terjadi di Thailand.
Penularan virus signifikan di antara pekerja migran juga ditemukan di pabrik sarung tangan karet Malaysia dan perumahan bagi pekerja konstruksi di Singapura.
“Dalam banyak hal, nasib pekerja migran di Thailand lebih baik dibandingkan di beberapa negara lain di kawasan ini,” tambah mereka.
Langkah-langkah menangani penyebaran dan desakan vaksinasi
Thailand akan menerima 200.000 dosis vaksin Sinovac China pada bulan Februari, dan telah memesan total 2 juta dosis.
Negara tersebut juga telah menandatangani kesepakatan untuk memproduksi 26 juta dosis vaksin Oxford-AstraZeneca secara lokal dengan Siam Bioscience, yang diperkirakan mampu memproduksi 200 juta dosis vaksin dalam setahun, menurut Reuters.
Pemerintah menyetujui anggaran $50 juta (sekitar Rp700 miliar) untuk vaksin yang akan diberikan secara gratis bagi warganegara Thailand.
Sementara itu, Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mengimbau masyarakat untuk tetap tinggal di rumah.
Dua puluh delapan dari 77 provinsi telah dinyatakan berisiko tinggi, dan sejumlah pembatasan baru seperti larangan penjualan alkohol di restoran diberlakukan. Sekolah juga telah ditutup selama sebulan.
Richard Brown dari WHO mengatakan Thailand merespon situasi terkini dengan mendirikan rumah sakit lapangan di Samut Sakhon, serta melakukan pengawasan dan pelacakan kontak.
“Thailand memang memiliki kapasitas yang sangat signifikan untuk melacak dan mengkarantina kontak, termasuk mobilisasi tentara dari [lebih dari] satu juta desa dan sukarelawan kesehatan migran di seluruh negeri,” katanya.
Meskipun terjadi wabah baru virus corona, sejauh ini Thailand mencatat kurang dari 10.000 kasus dan 66 kematian, dibandingkan dengan 28.500 infeksi dan 909 kematian di Australia, yang populasinya hanya sekitar sepertiga dari populasi Thailand.
Sebuah tinjauan dari Kementerian Kesehatan Masyarakat dan WHO pada bulan Oktober memuji sistem kesehatan masyarakat yang kuat di Thailand untuk menangani virus corona sejak dini.
Faktor pendukung lainnya antara lain penelitian lama Thailand tentang strain virus corona pada kelelawar dan pengalaman negara tersebut dalam menangani wabah penyakit lain, termasuk SARS dan Flu Babi.
Pemerintah juga menutup perbatasan, memberlakukan jam malam dan penguncian, serta menerapkan norma budaya sapaan tanpa kontak dan pemakaian masker, yang menurut tinjauan tersebut juga bisa berperan dalam penanganan COVID-19 di Thailand.
Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari artikel ABC News berbahasa Inggris yang bisa dibaca di sini.
Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia.