Tak Semua Anak Muda Jadi Radikal Karena Sosmed
Keingintahuan untuk memahami bagaimana warga Australia menjadi radikal telah menghasilkan pemikiran-pemikiran soal asal muasal jihad yang menyesatkan atau sepenuhnya salah. Demikian peringatan dari seorang pakar terkemuka di bidang jaringan teror.
Inti dari kesalahpahaman adalah teroris dapat terlahir begitu saja, hanya dengan melihat propaganda kelompok yang menamakan diri Islamic State secara online.
Dengan meneliti tiga gelombang rencana teror di Australia, Shandon Harris-Hogan dan Kate Barrelle menemukan bahwa jihadisme, yang didefinisikan dalam laporan sebagai “manifestasi kekerasan dari Islamisme”, paling sering didukung oleh kelompok sosial dan keluarga.
Shandon saat ini melatih otoritas kontraterorisme dan Polisi Federal Australia untuk memahami deradikalisasi dan pemutusan keterlibatan dengan kelompok teror.
“Ini adalah pengaruh dunia nyata, tidak ada hubungannya dengan perilaku atau kontak online mereka,” kata Shandon.
Anak-anak muda radikal Bukan Karena Jejaring Sosial
“Pada jaringan remaja jihad Australia, sangat sedikit, jika pun ada, contoh-contoh remaja yang radikal hanya karena online,” kata Shandon.
Dari 116 jihadi Australia yang diteliti selama periode 17 tahun, 109 orang ditemukan memiliki hubungan nyata dalam kehidupan.
Sementara internet memungkinkan remaja Australia memiliki hubungan dengan orang-orang di seluruh dunia, platform jejaring sosial bertindak sebagai ‘ruang gema’ untuk memperkuat keyakinan yang ada, tetapi tidak ada bukti menunjukkan tempat tersebut sebagai penyebab radikalisasi.
Shandon mengatakan sudah waktunya untuk berhenti menyalahkan jejaring sosial untuk radikalisasi anak muda menjadi jihadi dan mulai mencari di jaringan yang ada.
Lebih banyak perempuan menjadi ‘Jihadi’
Meskipun Shandon tidak menemukan ada perempuan yang dijatuhi hukuman selama dua gelombang pertama jihadi, beberapa perempuan telah dituduh melakukan pelanggaran teroris dalam beberapa tahun terakhir.
“Perempuan tentu memainkan peran yang lebih aktif dalam jaringan dan telah bergerak menuju garis terdepan,” katanya.
Pada 2015, Fatima Elomar ditangkap di bandara Sydney dalam perjalanannya untuk bergabung dengan suaminya yang teroris, Mohammed Elomar, di Suriah.
Maret 2016, seorang remaja perempuan dituduh menerima dana yang ditujukan untuk pertempuran dengan Negara Islam dan pada bulan Februari 2017 remaja perempuan lainnya ditangkap bersama suaminya karena mempersiapkan tindakan untuk melakukan serangan teroris.
“Setiap wanita yang terlibat ditangkap saat membantu pasangan mereka atau membantu anggota keluarga lain dalam kegiatan yang berkaitan dengan teror,” kata Shandon.
Ada alasan mengapa lebih banyak penangkapan
Mungkin terasa polisi sepertinya melakukan lebih banyak penggerebekkan serta penangkapan massal terhadap tersangka teror dalam beberapa tahun terakhir, tapi menjatuhkan hukuman karena kejahatan yang lebih ringan. Itulah persisnya yang mereka lakukan.
Pada jihadisme baru-baru ini, di gelombang ketiga, polisi menangkap lebih dari delapan kali jumlah tersangka terkait pelanggaran teror, dibandingkan jumlah gabungan pada gelombang pertama dan kedua.
Karena ancaman teror telah berevolusi dari serangan berskala besar yang lebih ambisius dan didalangi oleh kelompok-kelompok yang terkait dengan Al Qaeda, menjadi plot yang lebih sederhana dari Negara Islam. Polisi telah membaca tren tersebut.
Polisi berada di bawah tekanan untuk merespon lebih cepat, bahkan jika para tersangka dituduh melakukan pelanggaran yang lebih ringan dari yang seharusnya, jika harus menunggu lebih banyak bukti.
Aktor tunggal hanyalah minoritas
Dengan melihat sampel selama 17 tahun, ditemukan aksi yang dilakukan oleh aktor tunggal sangat jarang. Meskipun sejak pertengahan 2014 ada peningkatan kecil dalam jumlah orang yang merencanakan tindakan kekerasan.
Secara statistik mereka jauh lebih mungkin untuk didiagonas memiliki penyakit mental dibanding individu yang menjadi radikal dalam konteks sosial dan tidak mewakili jaringan pada umumnya.
Shadon mengatakan aktor tunggal adalah perkeculian dalam norman di Australia dan mereka yang merencanakan atau melakukan tindakan kekerasan masih memiliki hubungan keluarga atau hubungan pribadi dekat dengan orang lain.
“Dalam kasus [insiden penyanderaan di Sydney oleh] Man Haron Monis, ia berbeda dari mayoritas tersangka teror Australia dan harus dilihat berbeda dengan kelompok normal.”
“Kemungkinan untuk melihat orang seperti dia lagi sangat jarang.”
Tepat setelah pembunuhan Curtis Cheng, pada tahun 2015, Farhad Jabar, usia 15 tahun, dicap sebagai teroris aktor tunggal.
“Meskipun ia dianggap sebagai aktor tunggal, ia terhubung dengan enam orang lainnya yang dituduh terkait dengan serangan itu,” kata Shandon.
“Secara sosial ia terhubung dengan kelompok ini melalui orang-orang yang pergi ke sekolah atau dibesarkan bersama, polisi kemudian mencoba untuk mepertanyakan saudara perempuannya, tapi ia sudah meninggalkan Australia untuk bergabung dengan Negara Islam.
Pindah menjadi Muslim tidak ‘dipahami dengan sangat baik’
Selain remaja dan perempuan, para jihadi yang baru memeluk Islam muncul sebagai sub-kelompok dalam jaringan teror Australia, kata Shandon.
Di Australia, 8 persen dari jihadi yang diidentifikasi dalam penelitian adalah mereka yang pindah ajaran ke Islam.
“Ada sejumlah kecil dari mereka yang baru masuk Islam dan terlibat dengan tindakan kekerasan,” kata Shandon.
“Jika kita melihat di negara-negara barat, mereka yang masuk Islam secara statistik mencakup dalam kegiatan terkait teroris.”
Di Inggris, orang yang baru masuk Islam hanya berjumlah 2-3 persen dari populasi Muslim, 31 persen pernah terlibat dalam tuntutan terkait terorisme.
“Apa yang membuat mereka lebih rentan tidak kami pahami dengan baik,” kata Shandon.
“Kita perlu melihat sub-kelompok ini dan mengembangkan program dan strategi untuk bekerja dengan mereka, kita tidak bisa sekadar memperlakukan jaringan sebagai orang-orang dengan pikiran sama, yang semuanya akan sesuai dengan satu program.”
“Kita perlu memisahkan remaja dan kelompok lain seperti wanita dan mualaf.”
Tak ada program deradikalisasi khusus untuk remaja dalam tahanan
Munculnya teroris remaja di Australia menghadirkan tantangan baru bagi pemerintah Australia.
Di Australia, saat ini tidak ada program intervensi khusus untuk para pelaku terorisme dalam sistem peradilan bagi anak-anak remaja.
“Kami tidak dapat memiliki satu model yang bisa diterapkan untuk semua, di mana kami memiliki pelaku remaja berusia 14 hingga 16 tahun dalam program yang sama dengan mereka yang berusia di akhir 20-an dengan pelanggaran yang sama,” kata Shandon.
Ia mengatakan menangani jihadi remaja baik di dalam maupun di luar tahanan akan berpengaruh pada jaringan jihadi di masa depan.
“Kami perlu bekerja dengan orang-orang muda untuk memastikan mereka tidak menumbuhkan jaringan dengan mempengaruhi orang-orang di sekitar mereka,” kata Shandon.
“Juga tentang menjadi yang terdepan dalam penyelidikan berikutnya dan mencegah lebih banyak orang terlibat dalam jaringan dan meminimalkan pengaruh anak-anak muda dalam membesarkan dan mempertahankan jaringan dari waktu ke waktu.”
Simak laporannya dalam bahasa Inggris disini.