Seribu Jembatan Untuk Indonesia Bermodalkan Ilmu Panjat Tebing
Tedi Ixdiana tidak pernah terpikir dapat membangun ratusan jembatan di Indonesia dari ilmu panjat tebing yang dimilikinya.
Warga Kecamatan Bojong sudah 10 tahun lamanya menantikan sebuah jembatan yang menghubungkan mereka dengan kehidupan di daratan seberang.
“Di sini ada petani ternak, jadi banyak yang mengambil rumput, yang bertani, menanam padi di seberang sana,” ucap Rohiman, ketua RW kecamatan di Provinsi Banten tersebut.
Untuk menyeberangi sungai, mereka terpaksa berenang, berinisiatif membuat rakit bambu, ataupun menunda rencana bila ada pasang besar.
Tapi, Rohiman mengatakan ini tidak bisa berlangsung selamanya.
“Sekarang lebih dipikirkan keselamatannya, soalnya waktu Maghrib pun masih banyak warga yang belum menyeberang ke sini,” ucapnya.
“Jadi dengan kebutuhan seperti itu, saya [pikir], dari mana rezeki ini buat bikin jembatan supaya masyarakat lebih aman?”
Melalui seorang kerabat, Rohiman dipertemukan dengan Vertical Rescue Indonesia (VRI), sebuah kelompok panjat tebing yang membangun jembatan tanpa pungutan biaya.
Harapan warga menjadi kenyataan di tahun 2018, ketika VRI datang ke Kecamatan Bojong dan membangun jembatan yang menghubungkan tiga kecamatan sekaligus.
Ia mengatakan, selama 15 hari proses pembangunan jembatan, warga tidak tinggal diam.
“Dengan kompak, warga membantu … dari mulai peralatan, sling besi, genset, peralatan semuanya atas bantuan warga,” ungkap Rohiman kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
Dua minggu kemudian, jembatan sepanjang 80 meter tersebut membentang dan seolah mengubah kehidupan masyarakat setempat.
“Alangkah bahagianya semuanya sampai pas beres jembatan itu, pada nyobain, datang dari kecamatan lain karena pada mau tahu. Sampai sekarang jadi akses wisata juga.”
Didi Rustandi, pengrajin sangkar burung yang ikut membangun jembatan adalah salah satu warga yang merasakan dampaknya.
“Sekarang, kerja berangkat pagi, kalau mau ke ladang, walaupun pulangnya agak terlalu sore kadang-kadang, Alhamdulillah tidak ada hambatan,” kata Didi kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
“Merasa bersyukur saja. Tidak bisa mengatakan yang lain. Bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa.”
Seribu jembatan untuk Indonesia
Wujud apresiasi yang diterima Tedi Ixdiana tidak hanya dari Banten, melainkan juga dari 14 provinsi lainnya di Indonesia.
“Sepulang selesai membangun jembatan, ada yang memberikan kambing, ayam, dan bahkan di NTT masyarakat ada yang memberikan dua ekor sapi,” katanya.
Dalam sebulan, Tedi dan anggota kelompok VRI yang dikepalainya membangun dua sampai tiga jembatan di daerah-daerah terpencil.
Kegiatan ini mereka lakukan secara sukarela dengan mengandalkan biaya yang mereka kumpulkan sendiri ataupun disumbangkan masyarakat.
“Kami sebarkan informasi di media sosial atau Whatsapp, jadi kalau ada masyarakat yang menyambut, misalnya mengirimkan dana, materi dan alat yang diperlukan, kami berangkat.”
Untuk tenaga, VRI yang bermarkas di Bandung biasanya mengirimkan maksimal 10 sukarelawan yang kemudian dibantu warga setempat.
“Sampai hari ini kami tidak pernah kesulitan tenaga relawan untuk membangun ekspedisi ini … terlihat saat kami membangun jembatan, masyarakat ikut berkemah, memasak, mengirim makanan,” katanya.
Hingga saat ini, VRI sudah membangun 108 jembatan gantung dan menargetkan ribuan jembatan lainnya di masa depan dalam proyek “Ekspedisi 1.000 Jembatan Gantung untuk Indonesia”.
“Ketika cuacanya panas, kita tidak mengeluh, karena ekspedisi sebelumnya pun kita berhadapan dengan panas, hujan, banjir, masyarakat yang berbeda, binatang buas, dan sebagainya.”
Sebelumnya, VRI sudah mencapai target panjat 1.000 tebing yang selesai dalam waktu 26 tahun.
Menurut Tedi, ekspedisi pembangunan jembatan gantung ini adalah “perjalanan yang sangat panjang” dan tidak berakhir di jembatan ke-1.000.
Berawal dari pembangunan jembatan di tebing tertinggi Indonesia
Perjalanan pembangunan jembatan Tedi dan rekan-rekannya dimulai dengan niat untuk memudahkan pergerakan pemanjat tebing di salah satu puncak tertinggi dunia, Carstensz Pyramid di Papua.
Dalam kunjungan pertamanya di tahun 2012, tim VRI harus menuruni tebing atau menyeberangi jurang di ketinggian 8.400 meter dengan seutas tali.
“Banyak teman, termasuk pendaki sedunia ada yang gagal melakukan ekspedisi bahkan ada korban jiwa karena kendala menyeberang,” kata pria berusia 48 tahun tersebut.
Di tahun 2015, kelompok tersebut membangun jembatan khusus pendaki dari tali baja tiga lembar dengan pegangan dan pijakan, sehingga pemanjat tidak harus turun ke jurang.
Di tahun selanjutnya, pembangunan jembatan sukarela dilakukan juga bagi warga Garut, Jawa Barat, yang kehilangan fasilitas penyeberangannya putus akibat banjir bandang.
Berita ini pun sampai ke telinga warga beberapa daerah di Indonesia yang akhirnya memohon bantuan pembangunan jembatan di daerah masing-masing.
Permintaan tersebut terus bergulir sampai sekarang.
‘Mengisi kekosongan’ Pemerintah
Di tahun 2019, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat keberadaan 37.463 jembatan di 34 provinsi Indonesia.
Namun menurut penelusuran ABC Indonesia, jembatan yang dibangun pada umumnya adalah jembatan besar yang membutuhkan banyak biaya dan materi.
Tedi mengatakan Vertical Rescue berusaha “mengisi kekosongan” Pemerintah dalam hal pembangunan jembatan yang lebih kecil.
“Saya yakin ini masalah yang bukan sepenuhnya ditanggung pemerintah. Masyarakat juga siapapun yang mampu, yang bisa, itu bertanggung jawab,” katanya.
Menurutnya, masih ada banyak titik jembatan yang belum disurvei dan didatangi oleh pihak-pihak berwenang sehingga mendorongnya untuk bergerak.
“Vertical Rescue membangun dengan dana yang tidak terlalu mahal, yang membangun relawan dan jembatannya perintis.”
Jembatan perintis ini dibangun dengan harapan ke depannya akan ada yang membangun jembatan yang lebih besar menggantikan jembatan yang hanya dapat menampung kendaraan roda dua tersebut.
Ikuti berita seputar komunitas di Indonesia dan Australia di ABC Indonesia.