ABC

Satu Dekade Tsunami, Pembangunan Ekonomi di Aceh Masih Lambat

Tahun ini, tragedi tsunami yang menimpa Aceh genap berusia 10 tahun. Selama satu dekade pula, belum ada investasi besar yang masuk ke tanah rencong, begitu kata mantan Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Kuntoro Mangkusubroto. 

Dibentuk tahun 2005, BRR pimpinan Kuntoro bertugas selama 4 tahun dengan kantor pusat di Banda Aceh.

Dengan anggaran 7,2 milyar dolar, lembaga ini disebut-sebut telah menjalankan salah satu program kemanusiaan terbesar dalam sejarah.

Seorang pria tengah memandangi puing-puing rumah yang hancur akibat tsunami. Pembangunan ekonomi yang berjalan lambat di Aceh justru berpangkal dari program pemulihan pasca bencana itu sendiri. (Foto: AFP, arsip)

Namun sayangnya, anggaran besar itu ternyata dinilai tak mampu mendongkrak perekonomian Aceh.

“Belum ada investasi besar di Aceh yang masuk. Belum ada kebun baru, pertambangan baru,” ujar Profesor Kuntoro.

Lulusan Universitas Stanford di Amerika Serikat ini melanjutkan, “Aceh masih mengimpor ekonomi, barang keluar aceh jumlahnya tidak signifikan.”

Berbicara dalam sebuah forum jurnalis asing di Jakarta, ia-pun mengungkapkan salah satu penyesalannya purna tugas BRR.

“Yang saya sesalkan, apa yang saya bangun di Aceh, sistem yang saya tinggalkan, mereka tak lagi menggunakannya. Saya menyesal tak memberi mereka pemahaman terhadap sistem itu, sistem yang bisa membantu mereka untuk berkembang lebih jauh,” ungkap sang Profesor.

Di sisi lain, pembangunan ekonomi yang berjalan lambat di Aceh justru berpangkal dari program pemulihan pasca bencana itu sendiri.

Dijumpai dalam forum yang sama, aktivis sosial asal Aceh, Muslahuddin Daud, mengutarakan, “Ada ketidaksinambungan antara rekonstruksi pasca tsunami dengan pembangunan normal di Aceh.”

“Rekonstruksi tak terlalu mendorong perekonomian di Aceh. Para pebisnis tak melihat Aceh sebagai peluang yang menarik karena mereka belum melihat adanya stabilitas di Aceh,” jelasnya.

Kuntoro Mangkusubroto, mantan Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. “Aceh masih mengimpor ekonomi, barang keluar aceh jumlahnya tidak signifikan,” katanya. (Foto: Nurina Savitri)

Ada beberapa hal yang dipandang berkontribusi dalam masalah ini.

“Selama 5 tahun belakangan, warga Aceh termanjakan dengan bantuan. Kondisi inipun berlaku di level pemeritah, yang nyatanya tidak berfungsi sebagai fasilitator,” kemuka Muslahuddin.

Profesor Kuntoro-pun menimpali, “Apa yang terjadi di Aceh saat ini adalah sebuah proses normal pasca konflik berdarah. Paling nggak butuh 10 tahun untuk mereka belajar memerintah dengan baik.”

Ia bahkan menuturkan, “Investasi yang kurang maju di Aceh menurut saya ada hubungannya dengan penerapan hukum syariah di sana. Para pengusaha besar berpikir ulang untuk masuk ke Aceh karena banyaknya batasan dalam hukum syariah.”

Muslahuddin Daud, aktivis sosial asal Aceh. “Rekonstruksi tak terlalu mendorong perekonomian di Aceh. Para pebisnis tak melihat Aceh sebagai peluang yang menarik karena mereka belum melihat adanya stabilitas di Aceh,” jelasnya. (Foto: Nurina Savitri)

Baik Kuntoro dan Muslahuddin lantas mencontohkan sektor pariwisata sebagai bidang yang paling terdampak akibat penerapan hukum syariah.

Meski demikian, potensi konflik berdarah seperti era sebelum perdamaian, diperkirakan tak akan kembali menghantui Tanah Rencong.

“Saya tak melihat gejala apapun yang bisa membuat potensi konflik kembali ke Aceh,” uajr Muslahuddin.

Sementara Sydney Jones, Direktur Institut Analisa Kebijakan Konflik di Jakarta yang juga peneliti terorisme di Asia Tenggara, ketika ditemui pada forum ‘10 Tahun Tsunami’ yang juga dihadiri Kuntoro dan Muslahuddin, mengutarakan, “Kemungkinan untuk kembali ke situasi konflik sangat kecil, karena kelompok GAM sangat mahir memainkan peran mereka dalam politik Aceh saat ini. Setidaknya saya tak melihat adanya potensi konflik dalam jangka pendek maupun menengah.”