ABC

Plagiarisme Ditindak Lebih Serius Ketimbang Pemerkosaan di Kampus

Di tengah musim penerimaan ribuan mahasiswa baru, sebuah kelompok advokasi telah mengklaim, kekerasan terhadap perempuan masih merupakan masalah besar di kampus-kampus dan ditutup-tutupi.

Kelompok advokasi ‘End Rape on Campus Australia’ (Akhiri Perkosaan di Kampus Australia) telah membuat pengajuan kepada Komisi Hak Asasi Manusia Australia, yang akan menurunkan laporan tentang masalah ini pada akhir tahun 2017.

Pendiri dan direktur kelompok ‘End Rape on Campus Australia’, Sharna Bremner, mengatakan, pengajuan ini menunjukkan bahwa situasi pemerkosaan di kampus begitu mengerikan.

"Kami pastinya bekerja sama dengan sejumlah mahasiswa yang universitasnya -telah mencoba untuk menutupi tindakan kekerasan itu -mencoba untuk membungkam mereka," sebut Sharna Bremner.

“Menurut saya, hal-hal semacam itu terjadi secara lebih teratur daripada yang kita perkirakan. Kami memiliki sejumlah staf dari universitas yang memberitahu kami bahwa hal-hal ini terjadi juga,” sambungnya.

Bremner mengatakan, permohonan Kebebasan Informasi yang telah dilayangkan ke universitas dan polisi menunjukkan adanya 500 keluhan resmi selama lima tahun terakhir.

“Sebanyak 145 dari mereka terkait secara khusus dengan pemerkosaan, lainnya adalah berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual,” ujarnya.

“Hanya ada enam tindakan tegas yang dilakukan dari 500 keluhan resmi tersebut,” imbuhnya.

Plagiarisme ditindak lebih serius ketimbang pemerkosaan

Presiden Dewan Perwakilan Mahasiswa di Universitas Sydney, Isabella Brook, mengatakan, sejumlah universitas mengecewakan mahasiswa, terutama para perempuan.

“Universitas memperlakukan pelanggaran akademis seperti plagiarisme jauh lebih serius daripada pemerkosaan,” sebutnya.

"Benar-benar mengecewakan, mereka tak mendukung para penyintas. Tampaknya mereka menghindari publisitas yang buruk," kata Isabella Brook.

Ia menuturkan, tahun lalu, ada banyak kejadian yang terungkap di asrama Universitas Sydney. Banyak mahasiswa perempuan berbicara tentang pengalaman kekerasan dan pelecehan seksual yang mereka alami dan mengkampanyekan perubahan.

“Tahun lalu, kami telah melakukan beberapa kampanye besar yang menuntut adanya tindakan terhadap kekerasan seksual di kampus, termasuk sistem pelaporan yang layak dan meningkatkan dukungan bagi perempuan yang menjadi korban,” jelas Isabella.

“Kami terus-menerus mendapat laporan mahasiswa yang menyebut bahwa mereka tak mendapat dukungan ketika mengalami masalah kekerasan seksual di kampus, kami menemukan hal itu cukup lazim di antara mahasiswa perempuan dan mahasiswa internasional,” tambahnya.

Budaya di kampus harus berubah

Presiden Serikat Pekerja Pendidikan Tinggi Australia, Jeannie Rea, mengatakan, pihak universitas menangani isu kekerasa seksual di kampus selama bertahun-tahun.

“Selama hal ini terus berlanjut, perempuan dari segala usia, termasuk staf, tetap khawatir untuk berkeliaran di kampus setelah jam kerja,” sebutnya.

"Di asrama, perempuan diberikan saran tentang bagaimana mereka harus berhati-hati dan itu adalah ide lama yang meletakkan tanggung jawab kepada perempuan,” ujar Jeannie Rea.

“Universitas-universitas jelas perlu berurusan dengan isu-isu pencegahan, termasuk perilaku para pria di kampus,” imbuhnya.

Ia menerangkan, “Budaya di kampus harus berubah. Sungguh mengejutkan hal ini belum membaik dari waktu ke waktu. Mereka bahkan takut untuk bertindak karena akan memengaruhi posisi mereka di universitas dan semua tekanan yang muncul menyebabkan beberapa perempuan muda menghentikan studi mereka.”

Universitas bantah tutup-tutupi

CEO Universities Australia, Belinda Robinson, membantah adanya tuduhan untuk menutup-nutupi.

"Tahun lalu kami menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia untuk melakukan survei, laporannya akan diserahkan akhir tahun ini," sebut Belinda Robinson.

Ia menjelaskan, “Itulah mengapa sektor ini bekerja bersama-sama setahun lalu untuk memulai program ‘Respect. Now. Always’ untuk melihat pilihan apa yang tersedia.”

Kampanye itu diluncurkan tahun lalu oleh Deputi Pimpinan Partai Buruh, Tanya Plibersek, sebagai upaya bersama antara Universities Australia dengan Komisi Hak Asasi Manusia Australia.

Belinda Robinson mengatakan, kurangnya pelaporan kekerasan seksual juga menjadi masalah.

“Ini adalah cerita yang mengerikan dan tragis. Dalam beberapa kasus, penyintas enggan atau tak mau melaporkan kasus ini. Kami ingin mahasiswa merasa yakin bahwa universitas adalah tempat yang aman, yang memang demikian sejauh ini,” utaranya.

Ia menyambung, “Universitas tengah meninjau kebijakan mereka, dan begitu penting agar masalah ini dibahas ketika musim ‘pekan orientasi’ berlangsung.”

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

Diterbitkan: 16:00 WIB 27/02/2017 oleh Nurina Savitri.