Petani Australia Putus Asa, Mendesak Agar ‘Backpacker’ Segera Didatangkan
Kalangan petani dan pelaku usaha pariwisata Australia mendesak pemerintah untuk memperbolehkan pekerja ‘backpacker’ datang kembali pada musim panen akhir tahun ini.
Para ‘backpacker’, termasuk pemegang Work and Holiday Visa (WHV) diharapkan membantu memetik buah, merawat anak-anak petani, hingga menggerakkan sektor pariwisata.
Permintaan itu disampaikan melalui surat resmi ke pemerintah yang saat ini sedang mengantisipasi kekurangan tenaga kerja sektor pertanian pada musim panas ini.
Di sisi lain, pemerintah juga masih dihadapkan dengan persoalan pemulangan sekitar 30 ribu warga Australia yang hingga kini masih berada di luar negeri.
Federasi Petani Nasional (NFF) bersama organisasi backpacker (BYTAP) dalam suratnya menyerukan agar program ‘Working Holiday Maker’ segera dibuka kembali.
Jumlah ‘backpacker’ di Australia mengalami penurunan sekitar 50 persen sejak perbatasan negara ini ditutup untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Hal ini diperkirakan akan mengakibatkan kekurangan sedikitnya 20.000 pekerja.
Dalam surat yang dikirim ke 30 politisi federal, NFF dan BYTAP mengatakan para backpacker harus diizinkan masuk ke Australia untuk membantu panen, menjadi asisten rumah tangga petani serta menghidupkan kembali sektor pariwisata.
Ketua NFF Tony Mahar menjelaskan pekerja ‘backpacker’ biasanya memenuhi 80 persen dari seluruh tenaga kerja sektor pertanian di Australia.
“Sebuah laporan menyebutkan tanpa adanya pekerja working holiday ini, maka industri buah dan sayuran akan mengalami kerugian 6,3 miliar dollar serta peningkatan biaya produksi hingga 60 persen,” katanya.
Juru bicara BYTAP Wendi Aylward menambahkan, pekerja backpackers setiap tahun berkontribusi sekitar 3,2 miliar dollar bagi perekonomian Australia.
Kekurangan 26.000 pekerja
Laporan ABC News bulan Agustus lalu menyebutkan, kalangan industri ini menyusun rencana untuk mempekerjakan backpacker secara aman dalam situasi COVID.
Mereka diharapkan berasal dari negara-negara dengan tingkat infeksi COVID yang rendah, menjalani tes yang ketat, serta dikarantina di Australia sebelum mulai bekerja.
Dalam rencana tersebut, Federasi Petani dan BYTAP mengusulkan agar biaya visa untuk backpacker ini diganti menjadi biaya tes COVID, serta biaya karantina diambilkan dari pajak atau potongan dana pensiun dari gaji backpacker itu sendiri.
Namun dalam rapat dengar pendapat di Senat Australia hari Rabu (21/10), pihak Departemen Pertanian kesulitan untuk memastikan apakah benar kekurangan tenaga pemetik buah dan sayur ini mencapai 26.000 orang.
Pejabat Departemen Pertanian Andrew Metcalfe mengaku pihaknya belum membaca laporan dari industri pertanian yang disusun Ernst and Young.
Laporan tertulis yang disampaikan dalam rapat menyebutkan pihak terkait telah berusaha memastikan jumlah kekurangan tenaga kerja sektor ini di tengah pandemi.
“Penggunaan tenaga kerja tetap tinggi selama bulan Maret dan April sebelum berkurang kembali menjadi sekitar 310.000 di bulan Mei.”
Dikatakan, analisis Departemen Pertanian menunjukkan adanya peningkatan penggunaan tenaga kerja asal luar negeri di sektor ini antara September dan Februari. Jumlahnya mencapai 20.000 orang.
“Apabila tidak ada pekerja dari luar negeri yang datang ke Australia untuk memenuhi permintaan ini, tentunya akan menimbulkan kesenjangan.”
Tingkat pengangguran Australia saat ini diperkirakan akan mencapai level tertinggi selama beberapa dekade.
Karena itu, usulan dari Federasi Petani juga menyebutkan semua lowongan pekerjaan di sektor ini akan ditawarkan terlebih dahulu pada tenaga kerja setempat.
Pada bulan Juli, Pemerintah menyetujui rencana mendatangkan pekerja dari negara-negara Pasifik untuk bekerja di sektor pertanian.
Menteri Pertanian David Littleproud menyatakan sekitar 4.000 pekerja dari Pasifik bisa masuk melalui program Pekerja Musiman tahun ini.
Namun sejauh ini baru 300-an pekerja asal Vanuatu yang sudah bekerja memetik buah mangga di Australia Utara.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.
Ikuti berita seputar pandemi Australia di ABC Indonesia.