ABC

Perjuangan Ponco, Peneliti Material Tabung Gas di Monash University

Yuniar Ponco Prananto (34) sudah 2 tahun ini berkutat di laboratorium Universitas Monash, Victoria, Australia. Ilmuwan muda ini berjuang meneliti material tabung gas. Bagaimana perjuangannya?

Ponco, demikian sapaannya, adalah dosen jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Brawijaya, Malang, yang juga kandidat PhD di Universitas Monash yang sedang melakukan penelitian di bidang kimia anorganik.

“Jadi kita mengembangkan material jenis baru dari senyawa cyano, material ini punya sifat yang nantinya ketika diaplikasikan bisa memiliki fungsi seperti absorbent (berdaya serap), gas contohnya. Sebagai contoh bila kita bisa mendapatkan senyawa ini kita bisa mengaplikasikan di tabung gas, baik itu untuk kebutuhan rumah tangga, tabung gas oksigen di pesawat terbang, maupun tabung gas bahan bakar di mobil,” tutur Ponco.

Ponco diwawancara detikcom dan RCTI di Australia Plus ABC International di Universitas Monash, Kampus Clayton, pada September 2015 lalu.

Contoh praktisnya adalah tabung gas LPG 3 kg yang lazim dijuluki “gas melon”. Material yang diteliti Ponco ini, bila dibuat tabung gas 3 kg itu, diharapkan bisa memuat volume yang lebih banyak dengan ukuran tabung gas yang sama.

“Ini impian ya. Gas yang 3 kg itu, yang ijo, ada material berpori supaya material dimasukkan ke tabung itu gas lebih stabil. Ketika dimasukkan volume gas yang lebih banyak dari 3 kg ke 5 kg, tabung itu masih kuat, masih mampu untuk menahan. Sehingga dengan kemasan yang tetap bisa menampung lebih banyak,” jelas Ponco.

Contoh lain, tabung gas oksigen di pesawat terbang. Jika terjadi masalah, lanjut Ponco, umumnya cadangan oksigen hanya bertahan 30 menit. Dengan ukuran yang sama, apabila material tabung gas oksigen dicampur oleh senyawa cyano yang diteliti Ponco, bisa meningkatkan kemungkinan penggunakan tabung oksigen lebih dari 30 menit, satu jam hingga 2 jam sehingga bisa meningkatkan potensi keselamatan penumpang di pesawat terbang.

Dalam hal material tabung gas berpori ini, imbuhnya, Jepang yang memimpin dengan menciptakan tabung gas hidrogen sebagai bahan bakar mobil. Menurut pria kelahiran Pasuruan 20 Juni 1981 ini, penelitiannya memang tak semudah yang dibayangkan awam saat ini. Namun 10 tahun lagi, baru terlihat kebutuhan praktisnya.

“Harapannya dengan tabung ukuran yang sama kita bisa menyimpan volume gas yang lebih banyak dan stabil sehingga penggunaan tabung bisa lebih hemat, lebih efisien, dan lebih sustainable,” tuturnya.

Ponco mesti berkutat panjang di laboratorium untuk menemukan senyawa ini. Sehari-hari, Ponco menghabiskan waktu nyaris 10 jam di dalam laboratorium. Ponco lantas menunjukkan material yang diteliti itu, sangat mikro seperti kristal gula pasir.

“Khusus bidang sains memang pekerjaan harus dilakukan di lab, tak bisa dibawa pulang ke rumah, sehingga diharapkan setiap hari 8-9 jam harus stay di lab melakukan penelitian, selesai pukul 9 atau 10 malam. Harus sedikit berkorban dengan waktu keluarga maupun berkumpul dengan teman-teman,” tuturnya.

Ponco mengajak serta keluarganya tinggal di Clayton, Victoria untuk menemaninya mengejar PhD di Universitas Monash ini. Maka dia juga berjuang menyeimbangkan kehidupannya, sebagai ilmuwan yang harus meneliti di laboratorium dan sebagai suami serta ayah dari seorang anak di hari-harinya.

Lantas bagaimana dia menyeimbangkan kehidupannya?

“Biasanya di akhir minggu kita kumpul-kumpul dengan sesama Indonesia, aktivitas bareng di taman, khususnya untuk anak-anak kita supaya mereka nggak jenuh. Kadang juga ada event-event di sekitar Melbourne yang bisa kita datangi, festival musik, budaya, atau mungkin sekadar kuliner. Biasanya Sabtu-Minggu waktu tepat untuk menurunkan ketegangan yang dialami selama seminggu penuh,” jawab pria berkaca mata ini.

Dia sendiri juga mengikuti beberapa komunitas kegiatan di luar aktivitas menelitinya. Mulai dari komunitas seni hingga reliji.

“Kebetulan saya tergabung dengan Monash Indonesian Islamic Society, paguyuban nonformal mahasiswa di sini. Saya juga tergabung dengan Melbourne Komunitas Gamelan, berbasis di Universitas Melbourne. Kita berlatih gamelan untuk gending tari juga wayang kulit. Juga ada komunitas N to M, Ngalam to Melbourne, teman-teman warga kota Malang yang tinggal di sini hanya sekadar tombo kangen. Banyak komunitas asal nggak mengganggu kegiatan,” jelas Ponco.

Kala ditanya apakah tergoda untuk tinggal di Melbourne, Ponco mengakuinya karena banyak fasilitas untuk anak hingga sekolah yang berkualitas bagus. Namun sebagai dosen PNS, dia tetap akan kembali dan menebarkan ilmu di kampusnya.

“Kalau saya pulang, saya toh masih ada kesempatan kembali ke sini, kolaborasi dengan supervisor saya, maupun hanya untuk seminar, mungkin harapannya siapa tahu anak saya sekolah ke sini. It’s not the end of the world balik ke Indonesia, belajar sesuatu, kembali ke Indonesia mengembangkan sesuatu,” katanya.

Diakuinya ada perbedaan fasilitas dan pengharkatan bagi para ilmuwan di Indonesia yang berbeda jauh dengan di Australia. Namun belajar ke luar negeri seperti Australia ini, bisa membuka cakrawala dan membawa praktik-praktik yang baik.

“Secara umum iya, kondisi di Australia untuk riset dan teknologi lebih baik daripada di Indonesia tanpa mengecilkan beberapa peran teman-teman di Indonesia yang sedang berusaha mengembangkan keilmuannya dengan cara masing-masing. Mungkin tidak hanya sekadar mendapatkan pengalaman riset di luar negeri, tapi kondisi pengalaman akademik bisa jadi beda dengan kultur di Indonesia. Tapi bisa juga kita belajar banyak kegagalan di luar negeri yang bisa kita ambil sehingga Indonesia tidak melakukan hal sama,” jelas dia.

“Keluar dari Indonesia bukan berarti mengecilkan Indonesia, tapi ingin keluar dari zona aman sehingga bisa melihat dunia lebih terbuka dan bisa mendapat masukan dari banyak pihak, sehingga jika kembali ke Indonesia, good practices itu yang bisa kita bawa dan bisa diterapkan ke komunitas itu sendiri,” tutupnya.