Penganut Kekerasan dari Agama yang Dikenal Karena Ajaran Damai
Wirathu yang dijuluki “Bin Laden Buddhis” dari Myanmar telah kembali ke muka publik, muncul di sebuah rapat umum untuk mendukung para jenderal militer yang dikutuk secara global karena tindakan keras brutal terhadap minoritas Muslim Rohingya.
Wirathu, seorang biksu Buddhis nasionalis yang terkenal kejam, dijatuhi hukuman pada Maret 2017 untuk pidato kebencian agama yang mengutuk Muslim Rohingya.
Dan akhir pekan lalu, retorikanya menunjukkan bahwa – setidaknya dalam pikirannya – tidak banyak berubah.
Ketika para demonstran pengibar bendera militer membawa potret Jenderal Senior Min Aung Hlaing, Wirathu mencerca PBB, berjanji bila penguasa Myanmar itu dibawa ke Pengadilan Internasional itulah “hari ketika Wirathu memegang senjata”.
Pengadilan itu memulai penyelidikan awal terhadap dugaan kekerasan yang disponsori negara terhadap orang Rohingya, termasuk kekerasan seksual, pembunuhan, dan penghilangan paksa.
Diperkirakan 700.000 orang Rohingya melarikan diri ke perbatasan ke Bangladesh antara September dan Desember tahun lalu, meninggalkan kehidupan yang dibangun dari generasi ke generasi untuk mengejar keselamatan.
“Jangan berbohong kepada dunia dengan mengatakan bahwa orang Bengali adalah Rohingya karena Anda ingin mempromosikan Islamisasi di Myanmar,” kata Wirathu, menurut laporan media lokal Frontier Myanmar.
“Jangan hancurkan negara kita dengan menciptakan kelompok etnis palsu.”
Islam, Buddhisme, dan persepsi tak tentang ekstremisme
Nasib orang Rohingya telah menimbulkan kecaman global, tetapi kurang perhatian terhadap Islamophobia yang mendorong eksodus mereka.
Pengamat mengatakan ada kesenjangan persepsi mengenai ekstremisme agama – dengan umat Islam yang terus secara tidak adil dicap sebagai teroris sementara umat Buddha umumnya digambarkan dan dipahami sebagai pasifis.
“Masalahnya adalah terlalu banyak orang Barat yang gagal memahami bahwa agama Buddha, seperti agama lainnya, dapat disalahgunakan untuk tujuan politik,” kata Phil Robertson, wakil direktur Asia di Human Rights Watch, kepada ABC.
Nasionalisme Buddhis menjadi semakin mengemuka di Myanmar sejak negara itu mulai terbuka pada tahun 2011, dengan meningkatnya ketegangan memicu kekerasan komunal bergolak di negara bagian Rakhine.
“Muslim adalah kambing hitam tentang kegelisahan Buddhis atas transisi politik,” kata Melissa Crouch, dosen bidang hukum dan agama di Universitas New South Wales.
Para jenderal militer Myanmar membalas setelah para pemberontak Rohingya menyerang polisi perbatasan, menewaskan 12 orang, dengan memulai apa yang telah disebut PBB sebagai “contoh mentah pembersihan etnis” dengan “niat genosida”.
Militer juga dituduh menggunakan media sosial untuk memicu ketegangan antara umat Buddha dan Muslim, yang diduga merancang kampanye Facebook anti-Muslim yang canggih menjelang kekerasan.
Dr Crouch mengatakan junta militer, yang telah memerintah negara itu selama hampir lima dekade, telah memperkuat gagasan bahwa umat Buddha Birma “superior”.
“Militer sendiri dikenal sebagai organisasi Buddhis Birma,” katanya.
“Ini adalah salah satu alasan di antara banyak kelompok etnis dan agama yang berbeda tidak mempercayai militer.”
‘Masalah yang perlu dihadapi pemerintah’
Sri Lanka juga mengalami pecahnya kekerasan komunal pada bulan Maret tahun ini dengan massa Sinhala menyisir Kandy dan kota-kota lain membakar masjid dan menyerang bisnis Muslim.
Ini mengikuti kematian seorang sopir truk Buddha beberapa hari setelah ia terlibat dalam pertengkaran dengan empat Muslim.
Kekerasan itu mendorong Pemerintah untuk menyatakan keadaan darurat dan memblokir sementara situs-situs media sosial yang dituding memicu bentrokan.
Baik Myanmar dan Sri Lanka adalah rumah bagi mayoritas umat Buddha – sekitar 90 persen dan 75 persen dari populasi masing-masing – dengan minoritas Muslim yang cukup besar.
Dan, seperti di Myanmar, banyak penganut agama Buddha di Sri Lanka merasa status mereka terancam oleh penganut agama lain.
Andreas Johansson, direktur Jaringan Studi Asia Selatan Swedia, mengatakan sentimen anti-Muslim mencerminkan sikap pasca 11/9 di Barat.
“Beberapa wacana menentang Muslim di Sri Lanka hampir identik dengan wacana di Eropa,” katanya.
Sementara itu, para biksu radikal yang mendukung kekerasan terhadap Muslim telah menjadi masalah besar di kedua negara dan pemerintah tidak berbuat banyak, menurut Robertson.
“Pemerintah-pemerintah ini harus segera bertindak dengan langkah-langkah kuat terhadap umat Buddha yang mendukung dan menghasut kekerasan, mengakui bahwa kegagalan untuk bertindak berarti kebencian akan menyebar dan situasinya akan memburuk,” katanya.
“Ini masalah yang harus dihadapi pemerintah sebelum situasinya menjadi tidak terkendali.”
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini