ABC

Pengalaman Working Holiday di Tiga Negara Bagian Australia

Australia setiap tahunnya memberikan kesempatan kepada mereka yang berusia 18-35 tahun untuk bekerja sambil berlibur dalam visa bernama working holiday visa. Farid Firdaus dari Jakarta sedang melakukanya, dan inilah pengalaman sejauh ini sudah bekerja dan berlibur di tiga negara bagian Tasmania, Victoria dan Northern Territory yang diceritakannya kepada Australia Plus.

Petualangan saya di Australia dimulai sejak 2 Januari 2017. Ide working holiday visa (WHV, bekerja sambil berlibur) ini lahir dari obrolan bersama seorang teman mengenai jalan-jalan ke luar negeri, memanfaatkan masa muda, tapi masih dalam batas logis.

Saya mendaftar di website imigrasi pada 23 September 2016. Selanjutnya, undangan wawancara saya kantongi pada 20 Oktober 2016.

Persyaratan utama sebelum wawancara adalah test IELTS serta mengisi rekening pribadi hingga memenuhi nominal AUD$ 5.000 (sekitar Rp 50 juta).

Selang tiga hari setelah proses wawancara, pihak imigrasi menerbitkan surat rekomendasi.

Surat ini beserta syarat-syarat administrasi lainnya saya bawa ke Australia Visa Application Centre (AVAC) di Kuningan City, Jakarta. Biaya pengajuan visa sekitar Rp 4,85 juta.

Tahap akhir, divisi migrasi kedutaan besar Australia di  Jakarta akan mengirimkan email terkait permintaan medical check up.

Selanjutnya, visa working holiday saya pun granted pada 7 November 2016.

Ketika urusan visa selesai, barulah saya memikirkan mau ke Australia bagian mana untuk memulai perjalanan.

Pilihan state ataupun kota awal yang dituju, bagi saya, adalah hal paling penting. Pijakan awal ini akan menentukan apakah saya bisa bertahan dengan modal pas-pasan, atau justru malah sengsara.

Maka, mulailah saya mencari koneksi guna mendapatkan kerja casual di Australia. Ketika itu,  saya memilih untuk mencari pekerjaan di bidang pertanian.

Melalui Facebook, saya berkenalan dengan salah satu kawan Indonesia yang telah di Australia sejak September 2016.

Atas rekomendasi kawan ini, saya mengirimkan CV ke agen tenaga kerja Agrilabour Pty Ltd pada awal Desember 2016.

Singkat cerita, pihak Agrilabour mengontak saya, dan wawancara berlangsung via telepon.

Farid Firdaus di salah satu ladang lavender di Tasmania
Farid Firdaus di salah satu ladang lavender di Tasmania

Foto: Istimewa

Pada pekan terakhir Desember, saya diberitahu pihak Agrilabour bahwa saya diterima bekerja sebagai pengemas sayuran di pabrik milik Harvest Moon.

Pabrik ini berlokasi di Forth, Devonport, Tasmania.

Saat menjejakkan kaki di Forth, Devonport, Tasmania pada pekan pertama Januari, saya tidak langsung bekerja.

Pasalnya, saya perlu membuat rekening bank Australia, serta Tax File Number (TFN). Namun, akomodasi tempat tinggal telah disediakan oleh pilhak Agrilabour dan Harvest Moon.

Pelan-pelan, saya belajar bagaimana iklim bekerja orang Australia. Karena dibayar per jam, maka efisiensi bekerja adalah kunci utama.

Tidak ada yang namanya bengong-bengong atau do nothing selama jam kerja. Rate gaji sekitar AUD 22,13 per jam, sebelum pajak.

Pekerjaan mengemas sayuran ini tergantung dari masa panen serta cuaca di ladang. Dalam seminggu, saya pernah bekerja enam hari berturut-turut.

Namun, di lain pekan pernah hanya tiga hari. Dalam sehari, jam kerja bervariasi, bisa sebanyak 6 jam, 8 jam, 10 jam, bahkan 12 jam.

Pertengahan April, saya memutuskan pindah ke Melbourne.

Selain karena musim buncis di Harvest Moon selesai, mencari peruntungan di kota yang terkenal sebagai Most Liveable City in the World menjadi tantangan baru

Selayaknya kota besar, Melbourne penuh dengan persaingan. Peluang kerja di sektor hospitality memang menggoda dan terbuka lebar.

Tapi, perlu juga disadari, berbagai orang dari belahan dunia datang ke Melbourne.

Selama dua pekan, saya rajin menyebar CV ke restoran dan Café. Selama itu pula saya menganggur.

Pada pekan ketiga saya di Melbourne, barulah saya mengatongi pekerjaan sebagai kitchen hand di salah satu restoran cepat saji bergaya Jepang.

Mayoritas pekerja di restoran ini memang orang Asia. Kemungkinan, hampir 70% pekerja adalah orang Indonesia.

Jam kerja yang mereka berikan kepada saya berkisar antara 25-30 jam per minggu. Rate gaji sekitar $14 per jam, sebelum pajak.

Saya bekerja selama satu setengah bulan di restoran ini.

Pada pertengahan Juni, saya memutuskan hijrah ke Northern Territory. Motivasinya adalah mengumpulkan syarat 88 hari nntuk meraih yang namanya Visa Tahun Kedua di Australia.

Bersama seorang kawan backpacker asal Chile, saya melakukan road trip selama satu minggu dari Melbourne menuju Alice Springs.

Farid Firdaus (kiri) bersama temannya menikmati perjalanan di Australia
Farid Firdaus (kiri) bersama temannya menikmati perjalanan di Australia

Foto: Hernan Cabrera

Saya dan kawan Chile ini sempat diterima bekerja di salah satu roadhouse sekitar Lassester Highway, jalan tol yang menuju tempat wisata Uluru.

Namun, saya hanya bertahan tiga minggu bekerja sebagai all-rounders di roadhouse tersebut. Alasan saya diberhentikan adalah “not being good enough” alias tidak begitu memenuhi yang mereke inginkan.

Sempat kecewa sama diri sendiri. Roadhouse ini sebenarnya tempat yang sangat menarik bagi backpacker yang ingin merasakan kehidupan pedalaman Australia, karena jauh dari mana-mana.

Apalagi, gaji yang ditawarkan lumayan menjanjikan. Saya mengantongi jam kerja 38 jam per minggu.

Rate gaji sekitar AUD $24,6 per jam di hari biasa, AUD $32 per jam di akhir pekan, dan ada biaya overtime sekitar AUD$ 38 per jam, sebelum pajak.

Setelah dari roadhouse ini, saya mencari peruntungan di Alice Springs. Kota di tengah gurun ini ternyata cukup hidup.

Banyak hotel, hostel, serta café dan restoran yang dikunjungi turis juga warga sekitar. Sejak akhir Juli sampai sekarang saya berkerja di salah satu café sebagai kitchen hand. Jam kerja berkisar 26-30 jam per minggu. Sementara rate gaji berkisar AUD 18,81 hingga AUD 28,22 per jam.

Selama delapan bulan di Australia, saya mengerti bagaimana sebuah perjalanan penuh dengan hal tak terduga

Terkadang, selain lelah fisik, emosi juga terkuras. Saya tidak bisa bohong, rasa kesepian kerap datang.

Drama-drama kesepian biasa saya tangani dengan bergaul bersama backpacker dari berbagai penjuru dunia.

Melalui obrolan santai dan tawa itulah, pikiran menjadi terbuka.

Mengumpulkan pundi-pundi dollar, bagi saya, memang menjadi salah satu tujuan.

Tapi faktor uang tidak di atas perjalanan itu sendiri.

Bagi saya pengalaman ini adalah harta karun. Dia akan ada terus dalam memori.

* Farid Firdaus sebelum ke Australia pernah bekerja sebagai wartawan ekonomi di harian The Investor Daily di Jakarta.