ABC

Pengalaman Pelaku Industri Kreatif Australia Hidupkan Kota Mati

Mendirikan ‘Renew Necastle’ di tahun 2008, Marcus Westbury menyulap kota sunyi Newcastle di New South Wales menjadi kota penuh kreasi. Pria ini terkesan akan nuansa spontan yang ada di kota-kota Asia Tenggara, walau mengkritik ketidakteraturan di dalamnya.

Berangkat dari karirnya sebagai seorang direktur festival, Marcus Westbury mendirikan lembaga non-profit ‘Renew Newcastle’ 7 tahun yang lalu.

Saat itu, ia baru saja kembali ke Newcastle- kampung halamannya yang berjarak 2 jam berkendara dari Sydney- dan mendapati ratusan bangunan kosong di jalanan protokol .

“Saya kembali ke Newcastle di tahun 2008, saya terkejut melihat kondisi kotanya. Jika anda melewati dua jalan utamanya, ada sekitar 150 bangunan, toko, dan kantor yang kosong melompong,” ungkapnya ketika ditemui jurnalis ABC, Nurina Savitri, di sela-sela forum New Cities Summit di Jakarta, Juni 2015..

Marcus Westbury (ujung kanan) dalam salah satu panel tata kelola kota di Jakarta. (Foto: Youtube, New Cities Summit 2015)
Marcus Westbury (ujung kanan) dalam salah satu panel tata kelola kota di Jakarta. (Foto: Youtube, New Cities Summit 2015)

 

Keterkejutan yang dirasakan Marcus bukannya tanpa alasan. Dua dekade lalu, Newcastle –yang berpenduduk 200 ribu jiwa- memiliki pabrik baja yang mempekerjakan 20.000 karyawan. Kekosongan itu jelas membuat pria berkacamata ini terheran-heran.

Baginya, membiarkan bangunan tetap kosong berarti membiarkan sejumlah peluang lewat begitu saja.

“Teori saya sangat sederhana. Jika bangunan dibiarkan berarti ia kehilangan peluang untuk melakukan ide tertentu. Saya tak punya uang, saya tak mampu membeli bangunannya, tak punya bangunan juga, jadi saya harus meyakinkan pemilik untuk meminjamkan properti mereka ke saya,” ceritanya kepada ABC.

Tergugah oleh kondisi tersebut, Marcus dan rekan-rekannya di ‘Renew Newcastle’ kemudian mendekati sejumlah pemilik bangunan kosong untuk meminjamkan properti mereka.

“Kami mulai bernegosiasi dengan para pemilik bangunan kosong di kota ini agar mau meminjamkan punya mereka. Kami lantas menyewakannya ke sejumlah komunitas dan proyek kreatif. Kami membersihkan bangunan itu, kami memperbaikinya,” tutur pria yang memiliki program khusus di ABC TV ini.

Inisiatif Marcus-pun membuahkan hasil. Di tahun 2009, wajah Newcastle mulai berevolusi, beberapa bangunan yang tadinya kosong berganti rupa menjadi galeri foto. Masuk tahun 2010, ada lebih banyak ruang publik dan berbagai proyek yang digelar di kota pelabuhan ini.

Tiga tahun kemudian, jalanan sepi di Newcastle perlahan bergeser menjadi deretan kantor dan toko. Banyak tempat baru dibuka. Properti yang dipinjam lembaga Marcus dari sejumlah perusahaan-pun tak lagi kosong.

“Kalau kita lihat kondisi hari ini, warga Newcastle kini bahkan punya bisnis komersil sendiri yang menjual kaos dan papan skateboard buatan lokal, dan dijual di seluruh Australia. Bisnis ini buatan anak-anak muda berusia 17 dan 21 tahun, yang tadinya mendesain kaos serta papan skateboard mereka sendiri,” utaranya bangga.

Menurut Marcus, semua itu terjadi karena masyarakat tengah hidup dalam era yang begitu mengakomodasi aktivitas kreatif yang tersebar di berbagai wilayah.

“Satu hal tentang proyek ini, ada unsur lokal dan global yang terlibat di dalamnya. Jadi mereka yang membuat perhiasan, pakaian atau sesuatu yang unik, mereka bisa mencampurkan pasar lokal dengan internasional,” sebutnya.

Ia menyambung,” Secara fisik mereka ada di Newcastle tapi dengan potensi pasar global yang disediakan internet, kini kota ini ramai dengan toko online yang belum terbayang 15 tahun lalu.”

Sejak kemunculannya, ‘Renew Newcastle’ telah berhasil menjalankan 170 proyek di 70 properti, di Newcastle.

Mengenai  keterbatasan sumber daya yang biasanya dialami kota kecil atau kota-kota di negara berkembang untuk membangun fasilitas publik, Marcus menyatakan, uang bukanlah soal karena fokusnya adalah mencari solusi. “Itulah yang terjadi di kota saya, kami punya imajinasi tapi kami tak punya uang atau sumber daya.”

Marcus beranggapan bahwa budaya bukanlah sebuah obyek statis atau permanen. (Foto: @twitter, @marcus_westbury)
Marcus beranggapan bahwa budaya bukanlah sebuah obyek statis atau permanen. (Foto: @twitter, @marcus_westbury)

 

Ia pun mengemukakan. “Saya pikir kita harus sangat hati-hati dalam memastikan bahwa fasilitas itu benar-benar memenuhi kebutuhan publik. Seringkali suatu fasilitas dibangun pemerintah sebagai percobaan, tanpa adanya pemikiran nyata tentang bagaimana publik bisa menggunakannya.”

Marcus lantas mencontohkan apa yang terjadi di Australia. “Ada yang berpikir bahwa membangun gedung konser di tiap kota di Australia adalah ide yang baik, karena itu jangan heran jika di beberapa daerah, 80-90% anggarannya digunakan untuk memelihara fasilitas yang ujung-ujungnya jarang digunakan ini.”

Langkah awal yang bisa dilakukan adalah mendengar apa yang diingankan publik, tak hanya sebagai konsumen tapi juga sebagai partisipan dan pencipta budaya. Apalagi di abad ke-21 ini, menurut Marcus, budaya semakin plural dan beraneka ragam, maka yang menjadi perhatian adalah bagaimana pemerintah dan swasta bisa membangun infrastruktur yang mampu mewadahi pluralisme.

“Saya selalu percaya bahwa budaya itu sesuatu yang hidup dan dinamis. Ini adalah sesuatu yang berkembang, saya tak sependapat dengan mereka yang menyebut bahwa budaya itu obyek statis, sebuah ikon atau institusi. Karenanya, pelaku industri kreatif butuh pemahaman budaya dan infrastruktur baru. Budaya itu harus berbicara, harus terhubung dengan masyarakat di dalamnya,” ungkapnya.

Pria yang juga seorang penulis ini berpendapat, baik kota-kota di negara maju seperti Australia atau kota di negara berkembang seperti Indonesia seharusnya bisa saling belajar dari satu sama lain.

“Kota-kota di Asia Tenggara, seperti Indonesia, kehidupan urbannya sangat informal. Banyak spontanitas dan petualangan. Anda bisa belajar banyak, tapi di sisi lain kondisinya juga tak teratur. Jalanannya penuh kejutan dan interaksi,” aku pria yang berbicara dalam sesi diskusi panel berjudul 'Animating Our Public Spaces' di forum New Cities Summit.

Sementara di Australia, ia menyebut, kota-kotanya sangat teratur, terencana, dan formal. Tapi di sisi lain, tak banyak yang bisa dieksplorasi. “Dalam soal kehidupan kota, Australia harus banyak belajar, sedangkan kota-kota di negara lain bisa belajar soal transportasi dan keselamatan publik dari sana.”