ABC

Pengalaman Diaspora Indonesia Asal Australia Bertemu Obama

Akmal Nahdi, Tri Mulyani Sunarharum, dan Rangga Daranindra adalah tiga dari ribuan diaspora Indonesia yang menghadiri Kongres Diaspora Indonesia ke-4 di Jakarta pada tanggal 1-4 Juli 2017. Bertemu dengan Mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, dan mendengar pidatonya secara langsung membuat ketiga diaspora asal Australia ini semakin memahami pentingnya toleransi di tengah keberagaman.

Dalam perbincangan bersama Australia Plus, ketiga diaspora Indonesia yang bekerja dan atau berkuliah di Australia ini membagi kisah pertemuan mereka dengan Obama dan bagaimana pandangan mereka mengenai peran diaspora yang semakin banyak jumlahnya di luar negeri, khususnya di Australia.

Rangga Daranindra

Pemuda berkacamata ini telah menetap di Australia selama 8 tahun. Ia bekerja sebagai staf keuangan senior di Departemen Pendidikan Wilayah Utara Australia (NT) sejak akhir tahun 2015 lalu.

Rangga mengaku terkesan dengan pidato yang disampaikan Obama. Menurut alumnus Universitas Charles Darwin ini, apa yang disampaikan mantan Presiden AS itu sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.

“Dia ‘kan berbicara tentang toleransi beragama. Tentang respect, Islam, Kristen, nggak perlu-lah ada perbedaan, pertengkaran. Pidatonya itu sangat mengena. Karena terus terang saja, sekarang di Indonesia ini, perbedaan antaragama itu benar-benar kelihatan ya,” ujarnya kepada Nurina Savitri dari Australia Plus.

Ia lalu menyambung, “Apalagi mengingat kasus pelecehan agama dan hal-hal seperti itu, diskriminasi terhadap orang-orang beragama tertentu itu masih kental. Jadi dengan datangnya Obama dan ia membawakan speech (pidato) tentang toleransi, menurut saya ‘it’s really good’ (benar-benar bagus).”

Rangga, akuntan asal Indonesia yang bekerja di Darwin, turut menghadiri Konferensi Diaspora yang menghadirkan Obama.
Rangga, akuntan asal Indonesia yang bekerja di Darwin, turut menghadiri Konferensi Diaspora yang menghadirkan Obama.

Facebook; Rangga Daranindra

Bagi Rangga, menghadiri konferensi diaspora seperti yang ia lakukan telah membuka wawasannya tentang bentuk kontribusi yang bisa diberikan diaspora terhadap kampung halamannya.

“Acara kemarin benar-benar menyoroti apa saja yang bisa dilakukan diaspora dan selama ini kita nggak sadar kalau apa yang kita lakukan selama ini ternyata membantu Indonesia. Contohnya, di Bali itu ada sekolah, yang setiap hari Kamis berhubungan dengan sekolah di sini yang ada di Darwin, dan orang-orang di sana belajar Bahasa Inggris dari orang lokal Australia,” tutur lulusan hukum dan akuntansi ini.

“Dan orang-orang di sini-pun belajar budaya Indonesia. Yang mengelola juga orang Indonesia, diaspora di sini. Itu salah satu contoh,” imbuhnya.

Ia sendiri mengaku datang ke konferensi diaspora berkat ajakan Konsul Indonesia di Darwin, Andre Omer Siregar.

“Pertama kali dengar itu 2 bulan yang lalu dari Konsul RI di Darwin. Dia bilang ini kesempatan yang bagus untuk orang Indonesia yang sudah kerja di luar negeri, kalau masih mau kontribusi.”

Menurut Rangga, sejauh-jauhnya diaspora Indonesia menetap di luar negeri, mereka tak pernah lupa akan kampung halaman.

“Suatu saat…banyak dari kita pasti mau lah kembali ke Indonesia, untuk berbagi ilmu, mendirikan sekolah, bisnis, atau mengajar. Dan datang ke acara (diaspora) kemarin itu, saya bisa lihat kalau orang-orang indonesia yang di luar negeri itu masih cinta sama Indonesia.”

Akmal Nahdi

Menurut mahasiswa program sarjana manajemen penerbangan di Universitas New South Wales (UNSW) ini, pidato Obama tentang toleransi di Konferensi Diaspora (1/7/2017) makin membuka pandangannya akan betapa pentingnya keterbukaan di antara warga dunia. Apalagi mengingat perkembangan politik yang tengah terjadi di Indonesia.

“Pidato Obama membuat kita sadar ya, terutama di tengah keributan yang mungkin sedang terjadi di Indonesia, karena Obama menyebut mengenai toleransi, bahwa kita nggak bisa tutup mata akan globalisasi dan (kemajuan) teknologi. Karena globalisasi dan (kemajuan) teknologi itu pasti akan terjadi juga.”

Akmal di Konferensi Diaspora Indonesia di Jakarta.
Akmal di Konferensi Diaspora Indonesia di Jakarta.

Supplied

Kepada Nurina Savitri dari Australia Plus, Akmal menambahkan, “(Hal) itu paling berkesan karena membuat kita sadar bahwa toleransi ini sangat penting dalam kehidupan bernegara dan bahwa globalisasi dan teknologi ini terjadi di seluruh dunia.”

Ketika disinggung mengenai peran diaspora Indonesia di luar negeri, mantan Presiden Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia di New South Wales periode 2015-2016 ini mengatakan, peran individu seperti dirinya tak hanya terbatas di bidang budaya.

“Mungkin kita sering sekali mengadakan acara-acara yang membawa budaya Indonesia ke luar, banyak sekali acara yang tujuannya mengenalkan budaya Indonesia. Tapi, kita juga membantu orang-orang indonesia yang ada di Indonesia sendiri. Bahkan kemarin kita juga sempat menyumbang buku untuk perpustakaan di Kota Bandung,” ungkapnya.

Ada isu lain yang juga menjadi perhatian Akmal selama konferensi diaspora berlangsung, yaitu mengenai kewarganegaraan ganda atau dwi-kewarganegaraan. Sebagai seorang diaspora di tengah era globalisasi, masalah ini dinilainya harus dicarikan solusi.

“Menurut saya sangat relevan sekali (membahas dwi-kewarganegaraan di konferensi diaspora), karena banyak teman-teman diaspora yang sudah menjadi warga negara luar (asing) tapi mereka ini, rasa cintanya kepada Indonesia ini masih besar sekali, dan mereka tertahan karena sudah menjadi warga negara asing,” tutur Akmal.

Ia lalu mencontohkan, “Jadi banyak hal-hal yang misalnya, (karena sudah menjadi warga negara dan harus mengajukan visa) mereka hanya bisa balik (ke Indonesia) 3 bulan dan banyak hal-hal yang menahan mreka untuk melakukan bisnis di Indonesia, padahal dia lahir di sini.” Di sisi lain, ia juga tak menampik jika status WNI lebih mempermudah diaspora dalam melakukan kontribusi terhadap Indonesia.

Akmal (kiri) adalah mantan Ketua PPIA New South Wales periode 2015-2016.
Akmal (kiri) adalah mantan Presiden PPI Australia-New South Wales periode 2015-2016.

Supplied

Pemuda ini juga berandai-andai jika konferensi diaspora di masa mendatang bisa memberikan porsi kepada TKI yang bekerja di sektor rumah tangga.

“Selama ini, acara-acara yang kemarin, kita kan lebih berfokus pada diaspora-diaspora yang sukses berada di luar. Tapi kita juga harus melihat bahwa salah satu diaspora itu TKI, TKI-pun diaspora kan? Nah itu mungkin agak bisa lebih diangkat dalam organisasi tersebut. Jadi mungkin bisa diangkat lagi cerita-ceritanya, bagaimana kehidupannya di luar sana.”

Akmal sendiri mengaku ingin kembali ke Indonesia selepas ia menyelesaikan studi dan program kerja yang dirancang kampus Australia-nya.

“Saya rencana ingin kembali ke Indonesia tapi harus ke Qatar terlebih dahulu karena kampus saya sudah ada perjanjian dengan maskapai Qatar. Nantinya, saya ingin membangun Garuda Indonesia.”

Tri Mulyani Sunarharum

Perempuan yang akrab disapa Yani ini baru saja kembali menetap di Indonesia setelah menyelesaikan studi doktoral di Universitas Teknologi Queensland (QUT). Miss Diaspora Indonesia 2016 ini mencatat beberapa poin penting yang disampaikan Obama saat menghadiri konferensi diaspora di Jakarta. Yang pertama tentu saja mengenai toleransi.

“Bagaimana caranya suatu bangsa, terutama bangsa Indonesia untuk bisa maju ke depannya itu, yang paling pertama disampaikan itu toleransi antar umat beragama. Yang kedua, tentang pemerataan perekonomian dan pemerataan kesejahteraan masyarakat,” ujar perempuan yang menjadi mahasiswa terbaik QUT tahun 2015 ini kepada Nurina Savitri.

Yani (kedua dari kiri) bersama dengan pendiri Forum Diaspora Indonesia, Dino Patti Djalal (tengah).
Yani (kedua dari kiri) bersama dengan pendiri Forum Diaspora Indonesia, Dino Patti Djalal (tengah).

Facebook; Tri Mulyani Sunarharum

Seperti dituturkan Yani, mengingat Indonesia adalah negara yang berkembang, semakin banyak warganya yang berinovasi, mendirikan bisnis start-up, bisnis online, Obama menyampaikan kesejahteraan itu diharapkan bisa lebih merata.

“Potensi orang-orang yang ada di luar negeri seperti diaspora itu penting juga untuk dimanfaatkan. Dalam artian tetap dijaga hubungan baiknya dengan Indonesia dan itu nanti bisa jadi pintu pembuka kerjasama bagi Indonesia dengan negara-negara yang ada di luar negeri.”

Ia lantas mencontohkan kisah sukses diaspora Indonesia di Australia yang bergerak di bidang pengembangan properti.

“Potensi diaspora Indonesia di Australia itu sangat besar, apalagi kan kita punya tokoh seperti Pak Iwan Sunito yang sukses di bisnis properti dan punya banyak real estate, dia berpotensi besar juga untuk mengembangkan wilayah-wilayah di Indonesia,” kata Yani yang kini magang di Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta di bagian tata ruang dan lingkungan hidup ini.

Diaspora Indonesia di Australia dinilai Yani memiliki keuntungan geografis yang tak dimiliki diaspora di negara Barat lain. Meski demikian, peran sebagai ‘duta bangsa’ tetap melekat kepada mereka.

“Jadi kita tuh seperti duta-duta kecil bagi Indonesia secara tidak langsung. Yang dimaksud duta ini untuk banyak hal ya, nggak cuma promosikan pariwisata tapi juga ikut membawa budaya atau mungkin kerajinan-kerajinan atau hasil ekonomi kreatif untuk dipasarkan di luar negeri,” jelasnya.

“Jadi pintu kerjasama-lah antara luar negeri dengan Indonesia,” imbuh konsultan Jakarta untuk program menuju kota layak anak ini.

Yani bersama juara My Kitchen Rules Australia, Kakak-Beradik Tasia dan Gracia.
Yani bersama juara My Kitchen Rules Australia, Kakak-Beradik Tasia dan Gracia.

Facebook; Tri Mulyani Sunarharum

Bertemu dengan banyak diaspora Indonesia dari berbagai negara membuat Yani lebih mengenal beragam potensi dari negara asalnya.

“Saya baru tahu..banyak juga diaspora Indonesia yang di luar negeri itu terkenal tapi kita nggak tahu. Contohnya, penggiat human rights (HAM) di Korea, Rossana Savitri, dia itu benar-benar membantu warga Indonesia di sana untuk advokasi hak asasi manusia di sana. Tapi di indoensia kita nggak pernah tahu berita seperti itu, bahwa dia itu memperjuangkan para TKI atau orang Indonesia di sana.”

Cerita lain yang diperoleh Yani adalah tentang Sehat Sutardja.

“Dia penemu lebih dari 440 paten di Amerika dan pendiri PT Marvell Technology Group, salah satu perusahaan produsen microchip terbesar di dunia. Dia memang penemu dari Indonesia yang banyak temuannya.”

Yani menyambung, “Nah itu kan mungkin banyak juga orang Indonesia yang nggak begitu tahu padahal kan dia benar-benar berprestasi di luar negeri sana dan bisa dimanfaatkan untuk kemajuan Indonesia sebenarnya.”