Mengapa Australia Akan Melakukan Referendum Terkait Warga Pribumi Aborigin?
Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab Australia di tahun ini.
Apakah Australia perlu mengubah konstitusi untuk memastikan warga Pribumi Australia, yakni masyarakat Aborigin dan Torres Strait Island, memiliki suara berupa perwakilan di konstitusi?
"Kita semua akan memiliki suara yang sama, kita semua bisa memiliki bagian yang sama yang saya yakini akan menginspirasi dan mempersatukan Australia" kata PM Anthony Albanese.
Sebagai negara demokrasi, pertanyaan ini harus dijawab oleh seluruh warga Australia.
Hanya ada jawaban "ya" dan "tidak" yang akan diberikan warga yang masuk kelompok usia pemilih, lewat pemungutan suara sekitar Oktober dan Desember mendatang.
Tapi usulan ini sudah menyebabkan perdebatan di Australia, termasuk dari kalangan politisi dan komunitas Aborigin sendiri.
Kenapa harus ada referendum?
"Suara" warga Pribumi, atau di Australia disebut 'voice' rencananya akan dimasukkan ke dalam konstitusi, sebuah dokumen yang merinci bagaimana Australia diatur.
Apa pun yang berkaitan dengan konstitusi, termasuk jika akan diubah atau ditambah, perlu ada pemungutan suara atau referendum.
Australia sebenarnya tidak sering melakukan referendum, baru ada 44 kali, sejak dinyatakan sebagai negara Persemakmuran di tahun 1901. Diantaranya referendum soal kereta api hingga masa jabatan anggota parlemen.
"
"Mereka mengubah konstitusi karena terjebak dengan masalah itu dalam waktu yang lama … dan itu membuat orang-orang sangat berhati-hati dalam memberikan suara untuk perubahan," ujar Profesor Anne Twomey, pengacara dan pakar hukum konstitusi.
"
Tahun ini akan menjadi pertama kalinya dalam 30 tahun Australia akan melakukan referendum.
Kenapa perlu ada 'suara'?
Warga Australia yang memenuhi persyaratan akan memberikan pilihan "ya" atau "tidak" untuk memutuskan apakah perlu ada sekelompok penduduk Pribumi Australia yang memberi nasihat kepada pemerintah soal masalah-masalah yang dihadapi oleh mereka dan komunitasnya masing-masaing.
Sebenarnya pemerintah Federal Australia sudah berupaya untuk membuat kebijakan-kebijakan demi meningkatkan kehidupan masyarakat Pribumi.
Tapi tetap saja banyak warga Pribumi yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan mereka masih dipertanyakan.
Bukan hanya karena penjajahan terhadap benua Australia di masa lalu, tapi juga akibat kebijakan 'White Australia' yang pernah diterapkan dengan hanya memperbolehkan bangsa kulit putih, serta sejarah kelam 'Stolen Generation' yang memisahkan anak-anak dari keluarga Pribumi.
Kebijakan-kebijakan yang ada saat ini dianggap tidak membawa perubahan besar pada kehidupan warga Pribumi Australia, malah tahun lalu tercatat kesenjangan antara warga Pribumi dengan warga lainnya semakin besar.
Bahkan ada pula beberapa kondisi yang malah menunjukkan kemunduran, termasuk tingkat harapan hidup yang jauh lebih pendek.
Untuk mengatasi ini maka diusulkan adanya 'voice' atau "suara" berupa perwakilan dari warga Pribumi Australia, yakni warga Aborigin dan warga Kepulauan Torres Strait.
Diharapkan perwakilan tersebut bersuara atas apa yang terjadi pada mereka, menentukan nasib mereka sendiri, yang dipandang sebagai salah satu cara terbaik untuk menutup kesenjangan hidup antara warga Pribumi dengan warga lainnya.
"
"Kita tahu dari bukti-bukti yang ada, yakni kehidupan orang-orang dapat ditingkatkan ketika mereka berbicara, dan inilah pentingnya suara," kata Profesor Marcia Langton, penulisan laporan 'voice'.
"
Sebenarnya upaya untuk memberikan suara sudah ada sejak lama, seperti di tahun 2017, ketika para pemimpin komunitas warga Pribumi berkumpul di Kawasan Australia Utara berupaya membuat sebuah rencana untuk meningkatkan kehidupan mereka.
"Harus ada beberapa perubahan mendasar dalam hubungan kita. Australia harus mendengarkan kami demi kebaikan," Bibi Pat Anderson, Penulis Pernyataan Uluru.
Apa saja yang akan disuarakan?
Setelah pembicaraan yang cukup lama, sebuah konsensus dalam tulisan dengan sekitar 400 kata yang menguraikan apa-apa saja yang perlu diubah menurut warga Pribumi Australia.
Intinya ada tiga hal yang dikemukakan, yakni 'voice' atau suara, 'treaty' atau perjanjian, serta 'truth' atau kebenaran.
Untuk 'voice' atau suara, mereka mengusulkan adanya sekelompok masyarakat Pribumi yang akan memberi nasihat kepada pemerintah tentang apakah kebijakan dan undang-undang yang diusulkan akan baik atau buruk bagi komunitas mereka.
Perdebatan seputar 'voice'
Bagi beberapa orang yang mengkampanyekan agar warga memilih "No" atau tidak, suara atau 'voice' akan memberikan kebebasan terlalu banyak untuk ikut terlibat dengan berbagai macam masalah.
Jika referendum berhasil, 'voice' akan ada dalam konstitusi Australia, artinya kelompok warga Pribumi yang bisa memberikan saran kepada pemerintah tidak dapat dibubarkan atau dihilangkan, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Ada banyak pertanyaan tentang siapa dan berapa banyak orang yang akan bersuara atau berada di kelompok ini nantinya. Bagaimana mereka akan terpilih, apa tanggung jawab mereka nantinya.
Sejumlah warga menginginkan jawaban tentang itu sebelum mereka memilih apakah 'voice' ini harus ada atau tidak.
Siapa saja yang mewakili?
Bagaimana 'voice' akan diterapkan sebagian besar dijelaskan laporan yang ditulis Profesor Tom Kalmar dan Profesor Marcia Langton di tahun 2021, setelah berbicara dengan ribuan orang dan organisasi warga Pribumi dari seluruh Australia.
Model suara mereka ada dua.
Pertama, akan ada kelompok suara lokal dan regional yang akan dirancang dan dijalankan oleh komunitas dengan cara yang paling sesuai untuk mereka.
Tujuannya agar mereka menjauh dari organisasi-organisasi yang sering kali bertindak mengatasnamakan warga Pribumi Australia. Tujuannya agar warga sendiri yang bisa berbicara atas nama mereka.
Kelompok-kelompok lokal dan regional itu akan menjadi suara nasional, 24 orang yang berbeda yang mencakup 35 wilayah, lima di antaranya akan mewakili masyarakat di kawasan terpencil, serta tiga orang dari Kepulauan Selat Torres,
Kelompok suara lokal dan regional yang memutuskan siapa yang akan menjadi suara nasional, kemudian tiap-tiap kelompok suara bekerja satu sama lain di semua tingkat pemerintahan yang berbeda, dari Federal hingga di daerah lokal.
Harapannya, dengan adanya suara ini maka mereka akan dilibatkan dalam konsultasi sejak awal saat pembuatan kebijakan yang memengaruhi warga Pribumi.
Tapi, 'voice' atau "suara" itu tidak akan memiliki kekuatan untuk menghentikan kebijakan dan undang-undang yang disepakati parlemen.
Selain itu, secara teori, saran apa pun yang diberikan kelompok warga Pribumi dapat diabaikan, jadi belum tentu dimasukkan atau dipertimbangkan pemerintah ke dalam undang-undang.
Tetapi mengingat akan ada banyak konsultasi yang dilakukan dengan warga Pribumi, setidaknya menjadi titik awal untuk apa pun yang akan diajukan ke parlemen.
Butuh berapa banyak orang yang menyetujui?
Para pakar di Australia mengatakan agar sesuatu bisa melewati referendum, biasanya harus didukung oleh 90 persen masyarakat. Apalagi di saat kampanye, pertimbangan orang pun bisa berubah.
Saat ini, setidaknya seperempat dari warga Australia yang berhak memilih mengatakan mereka akan memilih "No" atau tidak, seperti mengatakan ragu-ragu.
Sisanya mengatakan "Yes" atau ya, sehingga mereka terus melakukan kampanye dengan didukung kurang dari setengah warga populasi.
Di kalangan warga Pribumi ada berbagai pandangan tentang 'voice' atau suara. Pertanyaan yang diajukan oleh mereka adalah apakah ini yang benar-benar dibutuhkan?
"
Lidia Thrope, politisi berdarah Aborigin, mengatakan, "Apakah kita ingin menjadi badan penasehat untuk sistem kolonial?"
"Kita harus membenahi masalah ekonomi, pendidikan dan sebagainya, ini yang perlu dilakukan", ujar Warrne Mundine, aktivis pribumi
"Kami ingin Parlemen kulit hitam … kami ingin menentukan nasib sendiri," ujar Murrieguel Coe Craigie, juru kunci Kedutaan Tenda Aborigin di depan gedung Parlemen Canberra.
"
Ada juga yang merasa nantinya badan ini hanya memberikan saran untuk parlemen, atau hanya sebagai simbolis dan tidak memberikan perubahan nyata.
Sementara yang lainnya menginginkan pengakuan yang berbeda, misalnya mendapat kursi di Senat yang mewakili warga Pribumi sehingga secara teori mereka memiliki lebih banyak suara.
Tetapi bagi para pendukung, mereka mengatakan perubahan harus terjadi.
Model lewat 'voice' ini adalah bentuk kompromi terbaik untuk membuat orang-orang dari kalangan Warga Pribumi mendapat pengakuan konstitusional dan pendapat tentang kebijakan pemerintah.
"Adanya suara bagi masyarakat Aborigin dan Torres Strait Islander bukan berarti mengecilkan kemampuan seseorang untuk didengar," ujar Profesor Towmey.