Mahasiswa Indonesia di Brisbane Bicarakan Komitmen Percepatan Daya Saing
Memasuki tahun 2016 yang ditandai dengan dimulainya ASEAN Economic Community dan wacana Trans Pacific Partnership bagi Indonesia, telah menggerakkan kesadaran para mahasiswa Indonesia di University of Queensland (UQ), Australia untuk mengadakan kegiatan bertajuk Great Talks.
Acara bertemakan “Improving Global Competitiveness, Advancing Indonesia” ini berhasil menghadirkan 5 narasumber inspiratif Indonesia dari berbagai latar belakang bidang, yaitu David Widjaja (Vice Chairman of Australia-Indonesia Business Council), Butet Manurung (Founder SOKOLA), Andre Pekerti (Dosen Senior di UQ Business School), Rahim Soekasah (Chairman of Brisbane Roar FC) dan Iwan Sunito (CEO of Crown Group Property).
Para peserta dan pembicaran Great Talks berfoto bersama. (Foto: UQISA)
Kelima pembicara ini merupakan para diaspora Indonesia yang telah sukses membuktikan kualitas dirinya di mata internasional, namun senantiasa berupaya mencurahkan aksinya untuk kemajuan bangsa.
Mereka bersedia meluangkan waktu hadir di kampus UQ pada tanggal 23 April lalu untuk berbagi wawasan, pengalaman dan harapan untuk Indonesia, di hadapan para mahasiswa dan diaspora Indonesia di Brisbane, Australia.
“Ini merupakan kali pertama organisasi kami Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di University of Queensland, atau UQISA, berhasil menyelenggarakan event seminar sebesar ini yang diisi oleh para pembicara sekaliber Pak Iwan Sunito dan lain-lain”, kata Yohannes Fajar Irianto Kambon selaku Presiden The University of Queensland Indonesia Student Association (UQISA).
Brisbane sendiri merupakan kota terbesar ketiga di Australia dan kini semakin naik pamornya sebagai kota tujuan studi para pelajar internasional. Di UQ saja saat ini setidaknya ada 400 orang mahasiswa Indonesia di tingkat Bachelor, Master dan PhD.
Jumlah yang cukup signifikan untuk mampu membuktikan kualitas Indonesia di dunia global, khususnya Australia. Untuk itulah seminar Great Talks ini diadakan dan telah sukses menghimpun hampir seratusan partisipan dengan antusiasme kontribusi dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Seminar diawali oleh presentasi Andre Pekerti yang memaparkan gagasan tentang kekayaan budaya dalam konsep Bhineka Tunggal Ika yang perlu dijadikan competitive advantage Indonesia. Andre kemudian juga mengingatkan satu pesan penting “but knowing culture is not enough, we need correct behaviors” (mengetahui budaya saja belum cukup tapi juga harus memiliki perilaku yang tepat) dan ini tidak cuma berlaku saat kita berada di luar negeri, tapi lebih dari itu, ada belasan ribu ragam budaya bangsa sendiri yang masih perlu kita acknowledge dan internalize dengan lebih baik.
Baru kemudian kita mampu menjadi global player mumpuni di persaingan internasional.
David Wijaya mempresentasikan isu kolaborasi antar stakeholder yang masih menghambat kemajuan Indonesia. (Foto: UQISA)
David Widjaja yang telah berkecimpung dibagian kerjasama pendidikan dan ekonomi Australia-Indonesia selama belasan tahun memaparkan tentang “The Power of Collaboration” yang membuktikan banyak cerita sukses dari berbagai inisiatif bisnis dan kerjasama yang produktif menguntungkan banyak pihak.
Salah satu contohnya adalah pondok pesantren Al Hikmah di Makassar. Pondok pesantren tersebut menghasilkan ikan sekitar 1 ton dalam 1 bulan, setelah santri dan ustadnya di berikan pelatihan di Brisbane pada tahun 2015, jumlah produksi ikan dari pesantren tersebut meningkat menjadi 3 ton dalam satu bulan.
Usaha kolaboratif dengan pemerintah lokal Brisbane dan pondok pesantren tersebut meningkatkan keterampilan untuk lebih produktif dan efisien dalam usaha perikanan.
CEO klub sepakbola Brisbane Roar, Rahim Soekasah, melanjutkan dengan perspektif sangat menarik dari pengalamannya dalam bidang industri olahraga.
Beliau yang telah lama berkecimpung di dunia sepak bola nasional mengatakan bahwa Indonesia mempunyai potensi olahraga yang tidak kalah dengan negara lain.
Namun, tidak tersedianya fasilitas olahraga yang mumpuni membuat Indonesia tertinggal di ajang perlombaan olahraga terutama sepakbola.
Olahraga membutuhkan modal yang sangat besar, seperti membuat lapangan bola standar professional dan kelengkapan bermain bola. Sepatu dan kostum bola professional harganya lebih dari 20 juta perorang, belum lagi biaya untuk membangun lapangan sesuai standar.
“Coba cari di Indonesia, lapangan umum yang layak sesuai standard internasional bermain bola, ada berapa?” seloroh Pak Rahim. Ditambahkannya lagi, bila Indonesia ingin menjadi negara yang maju dalam olahraga, kita harus membina atlet kita dengan professional, baik latihannya, fasilitas ataupun kompetisinya.
Butet Manurung menceritakan pengalamannya menempuh S2 di Canberra. (Foto: UQISA)
Lalu tiba giliran Butet Manurung yang membagi pengalamannya selama mengajar di dalam rimba Jambi.
Menurut beliau, pendidikan tidak hanya hak orang yang tinggal di kota atau desa, namun merupakan hak kaum yang tinggal di rimba sekalipun.
Pendidikan ketrampilan ini sangat diperlukan bagi komunitas rimba sebagai modal mereka agar tidak dibodohi oleh orang luar yang ingin mengambil manfaat dengan merusak hutan tempat mereka tinggal.
Bagaimana meningkatkan daya saing orang rimba tanpa merusak adat dan budaya mereka adalah tugas untuk kita semua. Hal itu bisa diibaratkan dengan meningkatkan kemampuan kita, namun tetap menjaga jati diri sebagai bangsa Indonesia.
CEO Crown Property Grup Iwan Sunito
Sesi seminar kemudian ditutup dengan presentasi terakhir yang sangat motivational dari Iwan Sunito, seorang anak dari sungai Kalimantan yang kini sukses menjadi salah satu businessman terbaik di Sydney dan Australia untuk bidang property.
Menurut beliau, meningkatkan competitiveness anak muda, tidak bisa digerakan dengan profit atau money oriented.
Hal itu harus digerakan dengan passion dan tujuan mulia. Hal itu diceritakan dengan pengalaman pribadinya yang memulai usahanya dari membuat konsultan arsitek kecil kecilan menjadi usaha property yang langsung habis diserbu dalam semalam."
Tanpa passion sebagai arsitek dan cita-cita bisa membangun bangunan berkelas dunia, saya tidak akan bertahan dalam kondisi jatuh bangun” tegas beliau di akhir cerita.
Setelah seminar dan talkshow, acara dilanjutkan dengan sesi focus grup discussion (FGD) dimana peserta dibagi ke dalam grup akademisi, pemerintah, dan swasta. Interaksi diskusi berlangsung seru dan alot dengan dipandu langsung oleh para narasumber dan fasilitator, sampai pada akhirnya merumuskan poin-poin rekomendasi yang perlu diprioritaskan untuk Indonesia oleh ketiga grup stakeholder.
Bahkan, komposisi dari masing-masing grup tersebut dibuat sesuai dengan latar belakang profesi dan atau rencana karir dari para mahasiswa juga diaspora Indonesia yang hadir, sehingga FGD menjadi cukup konkrit dan relevan untuk komitmen yang lebih baik menuju percepatan daya saing bangsa.
Salah satu rekomendasi dari FGD tersebut adalah anak muda, harus berusaha meningkatkan keterampilan seperti sekolah pada level tinggi, pelatihan atau seminar.
Selain itu, mereka juga harus membagi atau mengajarkan keterampilan tersebut untuk orang lain karena kemajuan suatu negara bukan dilihat dari 1 orang pintar, namun dilihat dari kualitas masyarakatnya.
Suasana diskusi Great Talks oleh UQISA di Brisbane (Foto: UQISA)
* Trisna Mulyati adalah mahasiswa S2 di bidang System Engineering Universitas Queensland,di Brisbane.