Kerjasama Sains Australia – Indonesia Meningkat
Kalangan ilmuwan Australia dan Indonesia bertemu di Canberra pekan ini guna mendorong kerjasama sains yang lebih baik antara kedua negara. Keunggulan infrastruktur sains yang dimiliki Australia diharapkan bisa memberi manfaat bagi peningkatan kapasitas sains dan teknologi di Indonesia.
Ilmuwan kedua negara bertukar pengalaman dalam Australia-Indonesia Science Symposium (AISS) yang dihadiri Menteri Urusan Pembangunan Internasional dan Pasifik Senator Concetta Fierravanti-Wells serta Menteri PPN/Kepala Bappenas Dr Bambang PS Brodjonegoro.
Simposium yang berlangsung hingga 1 Desember 2016 diadakan di Shine Dome, gedung yang memang khusus dibangun untuk Australian Academy of Science pada tahun 1958.
Simposium didasari pada pemikiran bahwa Indonesia yang diperkirakan menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat pada 2050, kini mengalami perubahan ekonomi dan sosial. Hal itu ditandai dengan menurunnya kemiskinan dan meningkatnya kesehatan masyarakat.
Masyarakat Indonesia juga dipandang termasuk cepat dalam mengadopsi teknologi baru mulai dari media sosial hingga data yang kompleks atau dikenal sebagai big data.
Disebutkan, simposium ini menawarkan peluang bagi para ilmuwan dalam menemukan inovasi yang bisa muncul dari penggunaan big data dan tekonologi lainnya.
Ketua Australian Academy of Science, Professor Andrew Holmes, dalam keterangannya menjelaskan simposium berlangsung empat hari dimaksudkan meningkatkan kolaborasi dalam riset inovatif.
“Para peneliti terkemuka dari kedua negara akan berbagi penelitian mereka, menampilkan proyek penelitian bersama yang berhasil dilakukan ilmuwan Australia dan Indonesia,” jelas Professor Holmes.
Berbagai riset yang dibahas dalam simposium mencakup A new drought-tolerant sugar cane for Indonesian farmers (Professor Bambang Sugiharto, Universitas Jember), Golden bananas and other crops to reduce vitamin deficiencies (Professor James Dale, Queensland University of Technology), serta What do the people want? Harvesting social media to inform policy (Diastika Rahwidiati, Pulse Lab Jakarta).
Selain itu juga dibahas Managing Indonesia’s coral reefs (Professor Jamaluddin Jompa, Universitas Hasanuddin), The future of mangroves—and why they’re essential for fisheries and coastal health (Professor Catherine Lovelock, University of Queensland), Breeding mosquitoes to fight dengue (Professor Adi Utarini, Universitas Gadjah Mada), serta Why is it hard to acquire immunity to malaria, and what does that mean for vaccine development? (Dr Diana Hansen, the Walter and Eliza Hall Institute of Medical Research).
Prof. Holmes menjelaskan, simposium akan mendiskusikan berbagai jenjang karir di dunia sains serta tantangan dalam menghubungkan sains dengan kebijakan.
“Juga akan digelar workshop bagi peneliti muda dan menengah Australia dalam membangun kerjasama dengan mitra mereka dari Indonesia," jelas Prof. Holmes lagi.
Prof. Holmes mengatakan kegiatan ini merupakan buah dari kerja keras Academy of Science, AIPI, Australian Early – and Mid-Career Researcher Forum, serta Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).
Sementara itu Nana Saleh PhD dari AIPI menjelaskan, simposium diikuti 45 ilmuwan Indonesia dari berbagai disiplin ilmu termasuk kesehatan, pertanian, kelautan, dan perubahan iklim.
“Kami harapkan simposium bisa digelar sebagai kegiatan tahunan dan tahun depan giliran Indonesia jadi tuan rumah,” katanya kepada wartawan ABC Farid M. Ibrahim, Senin (28/11/2016).
Dalam latar belakang simposium dijelaskan bahwa kapasitas sains dan teknologi Indonesia masih jauh ketinggalan. Indonesia masih rendah dalam sumbangsihnya bagi sains dan teknologi, jumlah paten masih sedikit, jumlah saintis, peneliti dan insinyur yang terbatas, begitu pula dana riset yang minim.
Dijelaskan, dana riset di Indonesia kurang dari 0,1 persen GDP. Negara itu juga sangat memerlukan penguatan budaya sains, namun diakui Indonesia telah berupaya menuju ke arah tersebut.
Disebutkan pula bahwa AIPI sendiri telah menelorkan dua organisasi yang ALMI pada Mei 2015, dan Dana Ilmu Pengetahun Indonesia (DIPI) yang disahkan jadi UU pada Maret 2016.
Di sisi lain, Australia dengan populasinya yang hanya 23,13 juta, memiliki infrastruktur sains yang bagus termasuk perguruan tinggi, keterlibatan masyarakat serta promosi sains melalui berbagai kegiatan seperti Pekan Sains dan penganugerahan hadiah bagi ilmuwan.
Simposium AISS sendiri merupakan kegiatan tahunan yang digelar secara bergiliran di Australia dan Indonesia. Simposium didukung oleh Deplu Australia (DFAT) serta Knowledge Sector Initiative.