Kembali ke Indonesia, Bukan Sekadar Pulang
Belajar ke luar negeri seperti ke Australia memberi kesempatan untuk melihat dunia yang lebih luas. Bagaimana dengan setelah itu dan harus kembali ke Indonesia lagi. Pasiningsih baru saja menyelesaikan pendidikan S2 di Monash University di Melbourne, dan kembali ke Yogyakarta kota asalnya. Berikut pengalamannya.
Perjuangan dalam menempuh pendidikan di luar negeri, saya kira akan berakhir happy ending setelah menyelesaikan study dan mendapatkan ijasah.
Ternyata tidak sesederhana itu. Mengantongi ijasah dari universitas di Australia, terutama yang memiliki reputasi yang baik seperti Monash University, mungkin bisa mejadi tiket VIP dan nilai plus bagi saya maupun teman-teman yang menempuh study master maupun doktoral di sana untuk mendapatkan pekerjaan di Indonesia atau mendongkrak karier kami.
Hanya saja, seperti dua sisi mata uang, kembali ke tanah air tidak hanya menjanjikan peluang emas, tetapi juga menghadirkan bermacam tantangan.
Jauh sebelum saya pulang, beberapa teman yang sudah kembali ke Indonesia karena masa study yang lebih singkat atau karena pihak pemberi beasiswa meminta mereka segera pulang setelah wisuda, sudah mewanti-wanti saya.
“Siap-siap macet, panas dan polusi ya, Ning.” Itu salah satu peringatan dari seorang teman.
Ada juga yang memperingatkan saya untuk lebih berhati-hati ketika jajan di Indonesia karena mempertimbangkan faktor kebersihan makanan.
Tidak hanya peringatan, beberapa teman juga menyampaikan keluhan mereka.
Ada yang mengeluh dan membandingkan Melbourne yang lebih ramah terhadap anak dan keluarga dibanding Indonesia karena banyaknya taman, ruang terbuka hijau, dan warganya yang tidak pelit mengobral senyum ke anak.
Bahkan ada seorang teman yang mengeluh karena terganggu kebebasannya dalam berselancar di dunia maya akibat akses internet di Indonesia yang kadang-kadang larinya secepat siput.
Mendengarkan peringatan dan keluhan teman-teman, saya membayangkan diri saya sebagai Alice yang bermimpi pergi ke Wonderland (baca: Australia) tetapi ketika mimpi telah berakhir, saya harus bangun dan kembali ke realita.
Benar saja, setelah hampir dua tahun tinggal di negara maju seperti Australia, ketika kembali ke Indonesia, saya harus mulai adaptasi dengan kondisi di tanah air.
Untung saja, proses adaptasi menjadi lebih mudah dengan terobatinya kerinduan pada teman-teman, keluarga maupun kerinduan menikmati berbagai macam kuliner di Indonesia yang tak tergantikan oleh makanan ala barat atau ketika mengunjungi tempat-tempat wisata di Jogjakarta, tempat dimana saya tinggal.
Hanya saja, menurut saya, tantangan terberat setelah lama tinggal di Australia adalah menurunkan gaya hidup.
Sebagai mahasiswa penerima beasiswa dari pemerintah Indonesia lewat LPDP, setiap bulan saya mendapatkan tunjangan bulanan dalam bentuk dollar.
Sangat mencukupi, bahkan bisa menabung kalau berhemat. Apalagi Australia juga memberikan kelonggaran kepada mahasiswa internasional seperti saya, untuk bekerja part time maksimal 20 jam/ minggu dengan bayaran dollar dan per jam.
Tidaklah heran, banyak pekerjaan kasar yang mungkin enggan kita lakukan di Indonesia, tetapi menjadi incaran di Australia karena bisa menambah pundi-pundi dollar.
Ditambah lagi, Melbourne sebagai salah satu kota di Australia yang layak huni di dunia, benar-benar memanjakan penduduknya sekaligus bisa menjadi godaan. Deretan toko-toko yang menampilkan barang yang bermerk sampai barang yang kurang bermerk tampak menghiasi kota.
Sedangkan sekarang? Tidak ada lagi beasiswa. Tidak ada lagi dollar. Tidak hanya saya dan teman-teman saya, orang-orang yang pernah tinggal di luar negeri mungkin mengalami tantangan yang sama.
Belajar di luar negeri itu pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Tidak mungkin kita hanya mau memilih, tapi tidak mau dengan konsekuensinya.
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Pasiningsih sekarang adalah guru Taman Kanak-kanak Fastrack Funschool, Yogyakarta, sebelumnya belajar di Monash University, jurusan Master of Education in Early Childhood Education