Jennifer Croes Tinggalkan Kerja di Australia Demi Selamatkan Satwa Liar Sumatera
Jennifer ‘Jungle Jenn’ Croes telah menjadi orang asing dan perempuan pertama yang bergabung dengan unit anti-perburuan dalam sebuah ekspedisi di Sumatera.
Baru-baru ini, Jennifer yang merupakan ilmuwan dan pembuat film dokumenter dari Byron Bay, New South Wales, kembali dari perjalanan 5 hari melacak para pemburu di hutan Sumatera.
“Kami mengikuti jejak setelah mendapatkan beberapa informasi rahasia dan menangkap tiga nelayan ilegal,” tutur Jenn.
Ia berujar, “Mungkin aktivitas itu benar-benar terdengar tak melanggar, mungkin terdengar seperti berburu untuk mencari nafkah, tetapi itu lebih sering daripada tak berakhir menjadi kedok bagi sesuatu yang lebih besar.”
Ia mengatakan, hal yang paling mengkhawatirkan dari perjalanan itu adalah kurangnya satwa liar.
“Anehnya, yang benar-benar mengejutkan saya adalah bahwa saya berada di tengah-tengah hutan berjalan melewati lumpur dengan kelembaban 85 persen, dan saya tak mendengar kicau burung, saya tak mendengar kicauan, saya tak mendengar lolongan dari siamang,” cerita Jenn.
"Saya pikir dalam lima hari saya akan mendengar hiruk-pikuk nyanyian dan suara yang menakjubkan, dan menjadi sangat jelas bahwa ada masalah dan kita terlalu banyak berburu semua jenis hewan,” ungkap Jenn.
“Kami sering menyebut kondisi ini dengan sindrom hutan kosong dan ini menjadi sangat jelas berada di lapangan,” sebutnya.
Jenn menerima undangan ekspedisi itu setelah memproduksi serangkaian dokumenter -yang didanai sendiri -tentang perdagangan satwa liar di Indonesia yang berjudul ‘Deadly desires: the price wildlife pays for our trends’ (Keinginan mematikan: harga yang dibayar satwa liar untuk tren yang dianut manusia).
“Hal-hal yang benar-benar berdampak pada saya adalah jumlah hewan di pasar perdagangan satwa liar, penderitaan mereka, kekurangan air, kekurangan ruang apapun, tak ada yang masuk akal,” sebutnya.
Ia menambahkan, “Saya juga melihat perdagangan kulit reptile untuk fesyen dan dampak yang ditimbulkan terhadap spesies menakjubkan ini adalah mereka tak mendapatkan perhatian tapi semakin diburu untuk panggung busana.”
“Dan saya melihat perdagangan hewan peliharaan eksotis dan bagaimana ini menjadi sebuah bisnis yang melonjak bukan hanya di Asia tapi sangat banyak didorong oleh dunia Barat,” sambungnya.
Jenn mengatakan, ia mulai membuat film dokumenter dengan nama layar ‘Jungle Jenn’ karena ia ingin mendidik masyarakat tentang perdagangan satwa liar di seluruh dunia.
“Saya melihatnya sebagai media yang bagus untuk menghadirkan tema sulit dalam kehidupan,” sebutnya.
Jenn lantas mengungkapkan, “David Attenborough jelas idola saya, tapi kadang-kadang saya pikir, kita tak benar-benar berbicara tentang bagaimana manusia bisa membuat perbedaan.”
“Ilmu komunikasi merupakan tantangan besar,” imbuhnya.
Jenn tak selalu menjalani kehidupan yang penuh petualangan.
Mantan konsultan bisnis kelahiran Belanda ini keluar dari kehidupan kantoran di Melbourne untuk menjadi relawan di Amazon pada tahun 2005.
“Saya benar-benar melepaskan semuanya … saya menjual segalanya yang saya punya dan mengabdikan diri di pusat penyelamatan satwa liar di Bolivia,” ujarnya.
“Saya selalu memiliki ketertarikan terhadap hewan tetapi benar-benar menjalaninya di lembah Amazon.”
“Melihat hewan-hewan yang telah disalahgunakan dan disiksa ini diambil dari alam liar, direbut dari induk mereka untuk dijadikan hewan peliharaan seseorang atau berpotensi untuk dibuat menjadi sebuah produk,” ceritanya.
Jenn berkata, “Benar-benar jelas bagi saya bahwa itu adalah panggilan hidup saya dan apa yang ingin saya lakukan dan menjadi suara bagi begitu banyak spesies yang tak memilikinya.”
Diterbitkan Pukul 10:00 AEST 15 Maret 2017 oleh Nurina Savitri. Simak artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.