Inilah Lima Asumsi Keliru Terkait Terorisme
Salah satu program Radio National milik ABC bertajuk 'Assumptions' menyoroti lima kekeliruan yang seringkali terjadi setiap kita bicara tentang terorisme. Apa saja kelima asumsi keliru itu?
Asumsi #1: Teroris itu orang gila
Menurut Direktur Studi Terorisme pada University of East London, Prof. Andrew Silke, banyak orang berasumsi bahwa seseorang yang siap melakukan aksi bunuh diri adalah orang yang psikopat atau paling tidak sakit mental.
"Ini persepsi paling umum mengenai teroris," katanya.
"Namun anehnya, jika kita berbicara dan bertatap muka dengan mereka, kita bisa melihat bahwa secara psikologis mereka normal saja," tambah Prof. Silke.
Ia menduga kesehatan mental di kalangan teroris justru lebih baik dibandingkan non-teroris.
"Seorang yang menderita schizophrenia atau mengalami masalah kepribadian tidak akan pernah bisa menjadi teroris yang hebat," jelasnya.
"Psychopaths, misalnya, tidak akan pernah berkoban untuk kepentingan lain selain dirinya," kata Prof. Silke.
Poster dari tahun 1910 menggambarkan anggota Partai Sosialis Polandia melempar bom ke mobil pejabat Rusia.
Asumsi #2: Teroris berbeda dengan kita
Alasan mengapa teroris benci kepada kita tampaknya lebih menyangkut kita sendiri daripada mereka.
Prof. Silke menjelaskan, dalam psikologi dikenal konsep ‘attribution bias’ – yaitu kecenderungan kita memandang orang lain merupakan bagian dari kepribadian mereka.
"Contohnya, jika ada orang yang tak sopan kepada anda, itu karena orang tersebut adalah orang yang tidak sopan," kata Prof. Silke. "Tapi jika anda yang tidak sopan kepada orang lain, itu hanya karena hari itu anda mengalami banyak masalah, bukan karena anda orang yang tidak sopan".
Konsep attribution bias itu berarti saat seseorang berbuat yang ekstrim kita menganggap hal itu didorong oleh kepribadian yang ekstrim pula.
Asumsi #3: Teroris berkomitmen hidup mati untuk misinya
"Kebanyakan teroris akan berhenti dan keluar dari kelompoknya dalam tempo tujuh tahun meskipun kita tidak memasukkan mereka dalam program deradikalisasi," jelas Prof Silke.
Ini disebabkan oleh faktor psikologi perkembangan otak di kalangan remaja.
"Prinsipnya otak mereka belum sepenuhnya berkembang dan pada usia antara 17 hingga 25 tahun, dan salah satu kekurangannya adalah lemahnya pertimbangan risiko yang mereka miliki," katanya.
"Mereka menganggap risiko justru menantang dan atraktif serta sangat lemah dalam menghitung situasi yang mereka hadapi," jelas Prof. Silke.
seorang milisi membawa bendera kelompok teroris ISIS.
Asumsi #4: Teroris mengalami indoktinasi di kamp khusus
Banyak orang ngeri mendengar kamp pelatihan teroris, namun menurut Prof. Silke, kebanyakan teroris justru mendapatkan pelatihan biasa sama dengan yang didapatkan prajurit biasa.
"Orang biasanya menganggap teroris ini sebagai monster yang dilatih khusus," katanya.
Asumsi #5: Teroris semuanya sama saja
Pengaruh dan faktor yang membuat seseorang menjadi teroris sangat beragam dan hampir tidak ada pola yang seragam.
Namun Prof. Silke menjelaskan, ada yang konstan di antara semua teroris, yaitu terekspos pada kekerasan dan propaganda.
Konsep psikologi mortality salience, yang berarti pada saat anda terekspos kejadian dan image kematian dan kekerasan, anda lebih mudah menerima pesan-pesan ideologis
Namun mengapa tidak semua orang yang terekspos tertarik menjadi teroris? "Mortality salience ini hanyalah faktor kecil," katanya.
"Satu hal yang umum terdapat di semua teroris yang saya wawancarai adalah bahwa mereka tidak dalam keadaan bahagia saat bergabung," katanya.
"Orang yang sadar, berbahagia, dan puas tidak akan menjadi teroris. Sesederhana itu," jelas Prof. Silke.