Ilmuwan Forensik Meiya Sutisno Finalis Penghargaan AIA di Australia
Salah seorang ilmuwan forensik Australia Meiya Sutisno yang lahir di Jakarta masuk dalam nominasi penghargaan Australia Indonesia Association (AIA) 2016 di kategori bisnis. Pemenang penghargaan akan diumumkan hari Sabtu (12/3/2016) di Sydney.
AIA adalah sebuah lembaga kemasyarakatan yang anggotanya berisikan warga Indonesia dan Australia yang memiliki ketertarikan akan hubungan masyarakat yang baik antar kedua negara.
Menurut rilis yang diterima oleh ABC Australia Plus Indonesia, AIA menyebutkan bahwa penghargaan AIA ini mulai diberikan di tahun 2014 dan dalam acara yang pertama itu, penghargaan diberikan kepada mereka yang dianggap berjasa memajukan hubungan kedua negara di bidang Seni, Pendidikan dan Media.
Untuk tahun 2015, penghargaan diberikan di tiga bidang baru yaitu Bisnis, Kemanusiaan dan Komunitas.
Menurut Presiden AIA Eric de Haas, konsep AIA Awards ini terinspirasi dari penghargaan Australian of the Year dimana setiap tahunnya guna menyambut Hari Australia, 26 Januari, dipilih seseorang yang dianggap telah berjasa bagi Australia.
"AIA Awards ini untuk menghormati warga Australia dan Indonesia yang lewat aktivitas mereka sudah menyumbangkan sesuatu bagi persahabatan dan pemahaman lebih baik antara Indonesia dan Australia." kata de Haas.
Sistem penerima penghargaan adalah para calon diusulkan dan kemudian dikaji oleh Panel Independen yang dipimpin oleh Bill Farmer, mantan dutabesar Australia untuk Indonesia.
AIA sekarang sudah mengumumkan tiga orang finalis untuk masing-masing kategori. Di dalamya terdapat dua 'nama' berbau Indonesia Dr Meiya Sutisno, dan Dr Jeanne Rini Poespoprodjo.
Meiya Sutisno dicalonkan mendapat penghargaan di bidang Bisnis sementara Rini di bidang Kemanusiaan.
Berikut siapa saja yang masuk sebagai finalis dan latar belakang mereka.
Bisnis
Meiya Sutisno (kanan) dalam salah satu acara di Indonesia. (Foto: AIA)
Meiya Sutisno
Meiya adalah pakar di bidang anatomi forensik yang memiliki perusahaan yang memberikann jasa layanan forensik bagi sektor publik dan swasta di Indonesia dan Australia. Meiya lahir di Jakarta, dan pindah ke Australia ketika berusia 9 tahun. Lewat keahliannya, Meiya banyak membantu mengenali wajah dalam berbagai kejadian seperti insiden Bom Bali dan beberapa peristiwa serangan teroris di Indonesia. Meiya juga memberikan pelatihan kepada berbagai pejabat pemerintah dan mahasiswa dalam hal forensik di bidang anatomi.
Selain Meiya di bidang bisnis ini, dua finalis lainnya adalah Bede Moore dan Penny Robertson.
Bede adalah salah seorang pendiri Lazada Indonesia, yang sekarang merupakan perusahaan e-commerce terbesar di Indonesia. Bede juga adalah salah seorang pendiri Conference of Australian and Indonesian Youth (CAUSINDY), sebuah forum guna mempertemukan para pemimpin muda Indonesia dan Australia. Dalam tiga pertemuan tahunan di Canberra (2013), Jakarta (2014) dan Darwin (2015), sekitar 90 pemimpin muda kedua negara bisa bertemu dengan para pejabat senior mendiskusikan hal yang menjadi perhatian Australia dan Indonesia.
Sementara itu Penny Robertso membangun Australian International School – Indonesia (AIS) di tahun 1996 dengan fokus sekolah yang menerima anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus namun masuk ke sekolah biasa. AIS masih menjadi satu-satunya sekolah internasional di Indonesia yang menerima murid berkebutuhan khusus.
Kemanusiaan
Peter Johnston. (Foto AIA)
Peter Johnston
Salah seorang finalis di bidang kemanusiaan adalah Peter Johnston. Di tahun 2007, setelah pensiun, Peter mulai menyediakan dana dari tabungannya sendiri bagi kredit usaha kecil tanpa bunga bagi warga di Bukit Tinggi. Setelah terlibat dalam proyek tersebut, Peter kemudian juga bekerja sama dengan beberapa kalangan di Australia Barat untuk membentuk badan nir laba Bamboo Microcredit Inc, dengan ide warga Australia menyumbangkan dana untuk membantu warga Indonesia yang memiliki penghasilan rendah untuk membangun bisnis. Prinsip dasarnya adalah memberikan kail untuk memancing bukan umpan.
Finalis lainnya adalah Dr Jeanne Rini Poespoprodjo, warga Indonesia yang selama 10 tahun terakhir melakukan penelitian dan menerapkan penanganan untuk membasmi malaria di Papua. Menjalani pendidikan di Universitas Padjadjaran dan UGM, Rini kemudian mendapatkan gelar PhD dari Menzies School of Health Research (Menzies) di Australia (2008-2011). Di tahun 2008, Rini menjadi salah seorang penerima penghargaan Allison Sudradjat Scholarships yang diberikan oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) sebagai ilmuwan berprestasi di kawasan Asia dan Pasifik.
Yang lainnya adalah Brett South yang di tahun 2009 mendirikan Qantas Helping Hands Community – QHHC, sebuah lembaga yang membantu anak-anak yatim piatu. QHHC telah membantu anak-anak yatim, perempuan hamil di luar pernikahan, anak-anak yang mengalami autisme, dan juga masyarakat yang memiliki penghasilan sangat minimal. QHHC ini sudah membangun sekolah di Sulawesi Tengah, dan membantu anak yatim di daerah Kampung Sawah di Jakarta.
Komunitas
Emma Larssen (berdiri tiga dari kanan) ketika melatih petugas penjaga pantai di Bali. (Foto: AIA)
Emma Larssen
Emma Larssen sudah terlibat dalam kegiatan surfing di Australia selama 15 tahun sebelum pindah ke Bali sebagai Duta Muda Australia Bagi Pembangunan untuk bekerja sama dengan Asosiasi Penjaga Pantai Indonesia (Indonesia Surf Life Saving Association).
Emma yang berasal dari Sydney sekarang menjadi pelatih utama dan sudah melatih lebih dari seribu orang penjaga pantai, staf, pekerja taman hiburan air, dan juga tim SAR di Indonesia.
Di tahun 2014, Emma menjadi finalis Penghargaan Bali Women’s Role Model di bidang kemanusiaan.
Dua finalis lain di bidang komunitas adalah George Quinn dan Jane Taylor.
Di tahun 1974, George Quinn menjadi salah seorang penggagas program pelajaran bahasa Indonesia untuk warga Australia sebagai salah seorang pendiri Program Salatiga yang masih berlanjut sampai sekarang. Buku yang ditulisnya The Indonesian Way masih banyak digunakan secara online untuk belajar bahasa Indonesia di seluruh dunia. Dia juga merupakan salah seorang inovator dalam pengajaran bahasa dan budaya Jawa di Australia.
Jane Taylor adalah mantan guru bahasa Indonesia di Bendigo (Victoria), dan dia meninggal dalam kecelakaan mobil bulan Juni 2015 di usia 42 tahun.
Jane belajar bahasa Indonesia di sekolah menengah dan kemudian di universitas. Dia mulai mengajar bahasa Indonesia di tahun 2000 di Catholic College Bendigo sampai dia meninggal di tahun 2015.