ABC

Facebook, Twitter, Microsoft dan YouTube Berbagi Data Soal Ekstrimis

Empat perusahaan teknologi terbesar di dunia Facebook, Twitter, Microsoft dan YouTube akan bekerjasama untuk menghentikan propaganda ekstrimis menyebar ke situs mereka.

Keempat perusahaan tersebut akan membuat sebuah pusat data yang berisi ‘sidik jari digital’ dari berbagai gambar dan video yang disebar oleh kelompok-kelompok ekstrim.

Dengan itu akan membantu situs lain untuk mengidentifikasi bahan-bahan ekstrim atau kekerasan itu sebelum bisa disebarkan.

Dr Robyn Torok dari the Security Research Institute di Edith Cowan University di Perth adalah pakar mengenai bagaimana kelompok ekstrimis menggunakan internet.

Penelitian yang dilakukan Dr Torok tahun lalu menemukan bahwa para simpatisan ISIS secara aktif berusaha merekrut para remaja asal Australia lewat sosial media.

Dia mengatakan internet sudah menjadi senjata yang ampuh yang digunakan kelompok-kelompok ini guna menyebarkan rasa takut dan menarik anggota baru.

“Kita tahu bahwa ISIS atau Al-Nusra, kelompok yang berafiliasi ke Al-Qaeda menggunakan internet dengan cara yang begitu kuat untuk merekrut, merencanakan, menghasut dan menempatkan anak-anak muda unutk melakukan tindakan kekerasan ekstrim.”

Dia mengatakan pusat data bersama ini aadalah sebuah langkah maju untuk menghentikan kelompok-kelompok berbahaya in untuk menyebarkan pesan mereka lewat internet.

‘Platform yang mereka gunakan pada umumnya adalah Facebook, Microsoft, Twitter dan YouTube, dan diantara empat platform yang harus ditangani guna mengurangi peluang kelompok ekstrimis menyebarkan pesan mereka.”

Perusahaan internet sekarang semakin banyak mendapat tekanan dari pemerintah-pemerintah Barat agar mereka melakukan lebih banyak hal untuk menghilangkan pesan-pesan kekerasan menyusul serangkaian serangan militan.

Pusat data ini akan berusaha menangani masalah ini dengan berbagi apa yang disebut “hashes (#).

Hashes adalah sidik jari digital yang unik yang secara otomatis diletakkan pada foto atau video. Ini akan memungkinkan isi itu terlihat di berbagai platform.

Paul Rosenzweig, mantan pejabat di Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat mengatakan pusat data ini akan membuat keadaan lebih sulit bagi kelompok teror.

“Penggunaan hashes akan memungkinkan kita mengidentifikasi dan menghilangkan video dari kelompok teroris, sehingga mereka harus menemukan cara lain untuk menyebarkan propaganda mereka.”

‘Satu cara untuk mengganggu’

Sampai saat ini, banyak perusahaan internet menggantungkan diri kepada para pengguna untuk melaporkan mengenai konten ekstrim.

Material yang dianggap ekstrim ini kemudian satu per satu dikaji oleh editor yang kemudian menghapus secara manual bila memang dirasakan ekstrim.

Twitter telah menghentikan sekitar 235 ribu akun antara bulan Februari sampai Agustus tahun ini dan sudah menambah anggota tim guna mengkaji laporan yang masuk mengenai kontan ekstrim.

Di Australia, sejumlah anak-anak muda sudah menjadi radikal karena pengaruh online dari kelompok seperti ISIS.

Beberapa diantaranya kemudian bepergian ke Timur Tengah untuk berperang, sementara yang lain terlibat dalam perencanaan serangan di Australia.

Dr Robyn Torok mengatakan pusat data digital ini merupakan langkah penting guna menghentikan kegiatan seperti itu.

“Ini adalah bentuk gangguan terhadap kegiatan mereka.”

“Jadi beberapa platform ini akan bisa mengetahui bahwa isi dari foto tertentu akan berhubungan dengan hal tertentu, dan dengan itu, gangguan ini akan mengurangi peluang perekrutan, dan konten kekerasan ekstrim.”

Pada akhirnya, pusat data ini akan tersedia bagi perusahaan lain guna menghentikan konten yang ekstrim.

Diterjemahkan 14:45 AEST 7/12/2016 oleh Sastra Wijaya dan simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini