Chatib Basri Singgung Sulitnya Reformasi Ekonomi di Indonesia
Mantan Menteri Keuangan RI Dr Muhammad Chatib Basri mengakui sulitnya melakukan reformasi ekonomi dan kelembagaan di Indonesia, namun menyinggung sejumlah contoh keberhasilan reformasi yang dilakukan di era dia menjabat baik sebagai kepala BKPM maupun sebagai menteri keuangan.
Dalam paparannya pada David Finch Lecture di Melbourne University, Rabu (14/9/2016) malam, Dr Chatib Basri menyatakan hanya sejumlah kecil reformasi yang bisa dikatakan berhasil terlaksana. “Dan para ekonom biasanya menyalahkan para politisi atau institusi yang tidak mendukung,” katanya.
Dr Chatib Basri yang kini menjadi profesor tamu pada Australia National University (ANU) menjelaskan, tantangan yang harus dijawab adalah bagaimana melaksanakan reformasi yang efektif di tengah berbagai halangan kelembagaan dan politik yang ada.
“Indonesia mungkin bisa disebut salah satu laboratorium terbaik jika kita ingin mengkaji mengenai reformasi ekonomi,” kata pengajar pada Fakultas Ekonomi UI ini seperti dilaporkan wartawan ABC Farid M. Ibrahim yang menghadiri kuliah tersebut.
Dia mengutip lelucon terkait reformasi ekonomi yang menyatakan semua orang tahu teorinya namun tak satu pun dari teori itu yang bisa terlaksana, dan sebaliknya dalam praktek semuanya terlaksana tanpa ada yang tahu mengapa. “Di Indonesia mungkin kita bisa mengombinasikan keduanya, tak ada yang bisa terlaksana dan tak ada yang tahu mengapa,” ujarnya disambut gelak tawa ratusan peserta kuliah yang memadati Copland Theatre di University of Melbourne.
Dr Chatib Basri mengajukan tiga pertanyaan yang dijadikan bahasan dalam kuliah yang berlangsung sekitar satu jam tersebut.
Pertama, bagaimana menerapkan reformasi di apa yang dia sebut “second best world”. “Saya selalu ulangi kalau lingkungan politiknya masih seperti era dinosuurus, maka janganlah mencoba formula dari era Star Wars, karena tidak akan efektif,” katanya.
Kedua, kapan momentum yang tepat melaksanakan reformasi tersebut. Dia menjelaskan adanya pandangan yang menyebutkan bahwa saat terbaik melaksanakan reformasi adalah justru ketika terjadi krisis, karena para teknokrat biasanya mendapatkan mandat penuh dari politisi untuk melakukan hal itu.
“Atau ada juga yang mengatakan saat terbaik ketika dalam masa bulan madu, misalnya ketika pemerintahan baru saja terpilih,” katanya seraya menambahkan, pertanyaannya adalah bagaimana melaksanakan reformasi di masa yang normal.
Ketiga adalah, bagaimana kasus-kasus reformasi ekonomi dan kelembagaan di Indonesia.
Dia memaparkan sejumlah teori yang menyatakan bahwa dalam reformasi ekonomi tersebut, pertama-tama harus dibuat pemetaan mengenai siapa yang akan diuntungkan dan siapa yang dirugikan atau akan keberatan dengan hal itu.
Teori lainnya mengenai pentingnya reformasi di masa krisis yang menurut Dr Chatib Basri, “dalam kasus Indonesia, teori ini telah terbukti”.
Meskipun demikian, Dr Chatib Basri mengingatkan bahwa seringkali yang jadi isu adalah kesinambungan reformasi tersebut. Hal ini dikarenakan berbagai teori reformasi tersebut terlalu fokus pada solusi, bukan pada problemnya.
“Dalam pengalaman kami (di Indonesia) pelajaran terbaik dari negara lain biasanya tidak bisa diterapkan semata-mata karena lingkungan politiknya yang tidak mendukung,” ujarnya.
Pertanyaan lebih penting, menurut dia, adalah reformasi seperti apa yang bisa diterapkan di tengah segala keterbatasan lingkungan sosial politik yang ada.
“Saya beri contoh di Bali. Ada jalan tol yang bagus dari bandara ke Nusa Dua. Indonesia waktu itu akan jadi tuan rumah APEC dan harus menyiapkan infrastruktur yang baik bagi para tamu dari berbagai negara,” paparnya.
“Namun jika anda mau membangun jalan tol saat itu, mungkin diperlukan 3 tahun untuk pembebasan lahan saja, karena waktu itu belum ada aturan untuk mempermudah hal itu,” tambahnya.
Apa yang dilakukan pemerintah saat itu adalah menyelesaikan jalan tersebut kurang dari 11 bulan. “Kami membangun jalan ini melintasi laut sehingga tidak ada masalah lahan,” kata Dr Chatib basri.
Menyinggung mengenai dilema reformasi ekonomi, dia menjelaskan bahwa langkah-langkah tersebut seringkali memerlukan kerangka waktu yang lebih panjang sementara setting politiknya terbatas dalam periode lima tahunan.
Dia juga memaparkan setting politik lainnya dimana Indonesia merupakan negara demokrasi dengan sistem multi partai sehingga pemerintah yang terbentuk seringkali harus melakukan koalisi dengan partai-partai lainnya yang mau tak mau harus didengarkan kepentingannya masing-masing.
“Jadi kita memiliki sistem presidensial di eksekutif dan sistem mirip parlementer di parlemen. Solusi rasional untuk situasi ini membentuk koalisi pelangi,” jelasnya.
Dr Chatib Basri mengatakan, Presiden Joko Widodo pada awal pembentukan kabinetnya menyatakan tidak ada bargaining dengan parpol. "Namun nyatanya sulit bagi pemerintah untuk melaksanakan program, karena (parpol pendukung) Presiden Jokowi merupakan minoritas di parlemen," katanya.
“Kini jika anda melihat situasinya sekarang, hampir semua parpol sudah berada di dalam Pemerintahan Jokowi. Dia pun akhirnya menjalankan koalisi pelangi,” kata Dr Chatib Basri lagi.
Aspek lain yang jadi persoalan adalah masa jabatan presiden yang lima tahun, sehingga jika teknokrat datang dengan ide reformasi yang memerlukan jangka waktu lebih lama, belum tentu presiden akan mau melaksanakannya. “Mengapa saya harus melaksanakan reformasi jika pengganti saya nanti yang akan mendapat nama,” katanya.
Salah satu contoh reformasi yang dipaparkan Dr Chatib Basri adalah ketika dia menjabat sebagai kepala BKPM. Dari sisi eksternal, dia mengaku cukup beruntung saat itu karena adanya aliran dana investasi asing yang masuk ke Indonesia.
“Namun dari kebijakan, apa yang kami lakukan? Saya sadari bahwa salah satu masalah di BKPM saat itu adalah buruknya informasi tentang Indonesia di kalangan investor,” katanya.
“Hal pertama yang saya lakukan adalah mengecek website BKPM. Namun ternyata bahkan saya pun tidak bisa mengerti website itu,” ujarnya seraya menambahkan, isi website kebanyakan kepres atau peraturan menteri, dan bukan tentang petunjuk investasi.
Mengapa mengurusi website, katanya, karena hal itu tak memerlukan persetujuan DPR. Namun dia pun menyadari jika menyerahkan sepenuhnya ke staf, maka mungkin baru 6 bulan kemudian baru ada jawabannya.
“Jadi saya tanya Bank Dunia, website investasi negara mana yang terbaik di dunia, ternyata Costa Rica. Jadi saya minta ke staf saya mengapa tak mengganti saja kata Costa Rica dengan Indonesia,” katanya.
Kedua, katanya, adalah memperbaiki tata cara penerimaan telepon. “Sebab saya pun pernah mencoba menelepon kantor BKPM namun ternyata tak ada yang angkat telepon,” ujarnya.
Dr Chatib Basri kemudian mengirimkan staf BKPM untuk menjalani pelatihan terkait tata cara berkomunikasi dengan investor di Washington.
Belakangan dia juga menerapkan sistem tracking secara online terhadap segala urusan yang diajukan oleh para investor.
Di bagian lain pemaparannya, Mantan Menkue era SBY ini juga menyinggung mengenai kesinambungan reformasi dengan menyiapkan dummy untuk menteri keuangan dari pemerintahan baru.