ABC

Cerita Relawan Australia di Indonesia Ailee Ashton

Empat puluh tahun yang lalu, Ailee Ashton pernah bertamu ke Sumatera Barat. Kini, di usianya yang menginjak 61 tahun, perempuan Australia ini menyaksikan banyak perubahan besar ketika kembali mengunjungi tanah Minang. Lewat kegiatannya sebagai relawan, Ailee justru menemukan persamaan nilai antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat di negaranya.

“Saya sudah berpikir untuk menjadi relawan sejak lama, dan selalu berharap ketika saya mendapat kesempatan…saya ingin menjalaninya. Kemudian pengalaman ini terjadi begitu saja,” kata Ailee Ashton, relawan dari organisasi non-profit Australian Volunteers International (AVI) yang tengah bertugas di Sumatera Barat.

Maka, ketika lowongan untuk menjadi relawan di Indonesia terbuka, Ailee tak menyia-nyiakan peluang di depan matanya itu.

“Saya sedang melihat-lihat posisi yang ditawarkan, lalu menemukan lowongan itu. Dan saya memulai proses melamar benar-benar seperti pekerjaan normal,” tuturnya kepada Nurina Savitri dari ABC Australia Plus Indonesia.

Perempuan paruh baya ini lantas berujar, proses itu ia jalani sejak 5 bulan sebelum kedatangannya ke Indonesia tahun 2016 lalu.

Negara (Indonesia) ini-pun dipilihnya bukan tanpa sebab.

Ia telah merasa familiar dengan tetangga terdekat Australia ini.

“Selain karena saya pernah ke sini sebelumnya, putra saya juga pernah tinggal di sini (Indonesia). Beberapa anggota keluarga saya juga pernah ke sini. Saya sendiri selalu merasa senang untuk kembali ke sini” katanya melalui sambungan telepon.

Ailee Ashton
Relawan Australia, Ailee Ashton (dua dari kiri), mengunjungi acara pernikahan di Sawahlunto.

Supplied

Namun ada hal yang lebih penting bagi Ailee dalam menapaki hidup barunya di negeri seberang.

“Keluarga saya merestui perjalanan ini. Mereka tahu ini membuat saya bahagia, mereka juga bahagia untuk saya, ini sesuatu yang ingin saya lakukan sejak dulu. Dan lagipula kita hidup di dunia yang global,” utaranya.

Pengalaman ini menjadi istimewa bagi Ailee bukan hanya karena ia sudah lama ingin menjadi relawan.

“Saya pernah ke Sumatera Barat sebelumnya. Tapi itu 40 tahun yang lalu. Saat itu saya masih berusia 22 tahun. Tentu saja dulu saya pribadi yang berbeda dari sekarang,” kenangnya.

Selain itu, tugas di tanah Minang ini adalah pengalaman pertamanya menjadi relawan di luar Australia.

“Dan pengalaman pertama tinggal terlama di Indonesia,” imbuh perempuan yang mengaku belum lancar berbahasa Indonesia ini.

Ailee tak memungkiri, rentang waktu 4 dekade dari kunjungan pertamanya ke Sumatera Barat sempat membuatnya terpukau pada perubahan yang ia amati.

“Benar-benar berkembang, mobil yang ada di jalanan, bangunannya. Padang benar-benar berubah dibanding ketika zaman saya datang pertama kali. Saya tak mengalami gagap budaya tapi kondisi ini di luar perkiraan saya,” aku penggemar makanan ‘lotek’ ini.

“Dulu…Padang lebih terasa seperti kota kecil ketimbang kota besar seperti sekarang,” sambungnya.

Dengan latar belakang di bidang konseling, Ailee bertugas di Sekolah Luar Biasa (SLB) Autisma YPPA Padang.

“Saya membantu sekolah yang fokus pada anak-anak autis. Sekolah ini sendiri sudah ada sejak 20 tahun lalu dan bertujuan untuk membantu anak-anak yang hidup dengan autisme.”

“Mengingat latar belakang saya, tentu saja saya bukan guru. Saya hanya mendukung kegiatan belajar-mengajar, yang sesuai dengan pengalaman manajemen konseling saya selama ini,” jelas relawan yang telah bertugas di Sumatera Barat selama 8 bulan ini kepada Nurina Savitri.

Ailee Ashton
Ailee Ashton (tampak samping, berkacamata hitam) melepas penyu bersama Ahmed Mulki, pendiri kelompok Konservasu Penyu Sumatera di Sungai Pinang.

Supplied

Perbedaan penggunaan tangan kanan dan kiri

Di samping bertugas di YPPA, Ailee juga mendukung proyek konservasi di Kabupaten Sungai Pinang dan sesekali mengajar Bahasa Inggris untuk para guru di tempatnya bekerja.

Ailee punya kisah menarik tentang pertautannya kembali dengan budaya Indonesia.

“Sebagai bule, saya percaya semua tangan itu baik dan menggunakan kedua tangan dalam kesempatan apa saja. Tapi di sini orang lebih memakai tangan kanan dan cenderung meninggalkan tangan kiri karena dianggap kurang baik,”

Jadi di awal masa tinggal, ia berupaya keras untuk menyesuaikan norma tersebut

“Saya selalu sadar ketika menggunakan tangan kiri dan merasa tak enak. Rasanya saya selalu ingin menyembunyikan tangan kiri di balik saku.”

“Butuh beberapa waktu untuk menyesuaikan diri, sampai-sampai saya merasa ingin mengenakan sarung tangan di tangan kiri saya,” tuturnya melempar tawa.

Terlepas dari perbedaan budaya itu, bagi Ailee, ia sungguh terkesan atas perlakuan yang diterimanya dari masyarakat setempat.

“Saya merasa punya hubungan yang baik dengan warga di sini, dengan rekan-rekan kerja saya yang hampir semua perempuan.”

“Saya merasa sangat diterima, mereka memperlakukan saya dengan baik dan mau menerima saya sebagai orang asing,” ungkap perempuan yang sudah menghadiri beberapa pernikahan adat Minang ini.

Lebih lanjut ia menuturkan, semangat warga lokal yang bersinggungan dengannya untuk selalu berupaya yang terbaik dan mencari solusi juga membuatnya kagum.

“Bahkan ketika tak ada cukup uang, mereka terus berusaha keras, mereka ingin yang terbaik untuk masyarakat sekitar, ingin mereka maju, disabilitas terinklusi dan akses untuk mereka tersedia. Mereka selalu berupaya untuk mewujudkan itu semua,” paparnya.

Contoh-contoh aktual di lapangan semakin membuatnya berpikir bahwa masyarakat di kedua negara (Australia dan Indonesia) sejatinya berbagi nilai-nilai kehidupan yang serupa.

Ailee mengatakan, “Ya tentu saja saya berbeda. Tapi nilai-nilai yang saya anut dari negara asal sesungguhnya sama. Lagipula menurut saya, semua agama mengajarkan nilai kehidupan yang sama.

Ailee
Selain menjadi konselor, Ailee Ashton juga mengajar bahasa Inggris seminggu sekali kepada guru-guru di tempat kerjanya.

Supplied

Bedanya, di sini mayoritas Muslim selalu salat 5 waktu, spiritualisme jelas menjadi bagian yang nampak dari mereka,”

“Sementara di Barat, hal itu sangat pribadi. Di negara saya orang mungkin tak bertanya apa agama saya, tapi di sini tak begitu,” tambahnya.

Ia lalu berujar, “Seiring berjalannya waktu, saya belajar betapa miripnya kita, saya merasa kita sebenarnya terhubung. Pengalaman yang saya jalani adalah contoh nyata dari hubungan itu.”

“Bayangkan, saya bahkan tak mahir berbahasa Indonesia tapi saya, lewat pengalaman sehari-hari di sini, merasa bahwa kita berbagi nilai yang sama.”

Umur jelas tak menjadi penghalang bagi Ailee untuk beraktifitas sebagai relawan. Faktor itu justru dianggapnya sebagai nilai lebih.

“Menjadi relawan di usia muda jelas punya keuntungan fisik dan relatif cepat untuk mempelajari sesuatu, seperti bahasa misalnya. Tapi di umur saya sekarang, rasanya semua pengalaman hidup yang telah saya jalani lebih membantu untuk bersikap.”

“Termasuk menyikapi pertanyaan pertama dari kebanyakan orang, ‘berapa umur anda?’,” ujarnya sambil tergelak.