ABC

Belajar Membatik Ala Muda-Mudi Australia

Menjelajahi Indonesia tak lengkap rasanya tanpa mengenal kain batik. Tapi bagaimana jika tak hanya mengenal, melainkan juga belajar membuatnya? Dua warga Australia menuturkan pengalaman membatik, dan tantangan yang dihadapi.

Pada suatu siang di akhir Agustus 2015, James Dawson dan Jordan Brown mendatangi sebuah rumah batik di bilangan Tirtodipuran, Yogyakarta. Kunjungan mereka bukan untuk memborong kain batik tetapi justru belajar bagaimana cara membuatnya.

Dua muda-mudi ini mencicipi proses pembuatan batik tulis dan batik cap. Aktifitas ini dilakukan mereka dalam rangka ulang tahun ke-20 ACICIS, konsorsium perguruan tinggi Australia untuk studi Indonesia. Keduanya datang ke Nusantara lewat program yang diusung konsorsium ini.

“Ini pengalaman pertama saya membuat batik. Sungguh terkesan melihat semua prosesnya dan motifnya yang berbeda,” kata Jordan, mahasiswi Universitas Monash.

James Dawson dan Jordan Brown sedang memilih cetakan motif batik. (Foto: Nurina Savitri)
James Dawson dan Jordan Brown sedang memilih cetakan motif batik. (Foto: Nurina Savitri)

 

Perempuan yang hobi menulis ini belum lama tiba di Indonesia untuk mengenyam studi di Yogyakarta. Mengenal lebih dekat budaya Indonesia lewat batik membuat Jordan mendapat sedikit gambaran tentang filosofi di balik tradisi ini.

“Pastinya ini semua tentang kesabaran dan ketelitian. Saya dulu sempat belajar beberapa mata pelajaran seni ketika SMA, saya juga tertarik pada kerajinan, tapi (proses membatik) ini membutuhkan lebih dari itu,” tuturnya kepada ABC.

Meski demikian, Jordan tak kapok jika kembali diminta melakoni aktifitas membatik. Ia bahkan sudah berancang-ancang memperbaiki beberapa bagian.

“Oh ya, saya tentu mau membatik lagi, saya akan membuat motif yang lebih sederhana dan nanti kalau ada kesempatan lagi baru belajarmembuat batik tulis yang rumit,” utaranya.

Bagi perempuan berambut pendek ini, membuat batik tulis jauh lebih sulit ketimbang membuat batik cap.

“Yang paling susah adalah ketika menggambar pakai lilin. Bagaimana cara menulisnya tanpa merusak kain anda dengan meneteskan lilin yang berlebih itu sungguh menantang dan dibutuhkan kesabaran ekstra,” ungkapnya jujur.

Kiri: alumnus ANU, James Dawson, memamerkan karya batik cap-nya yang belum diwarna. Kanan: James belajar batik tulis dalam rangka ulang tahun ke-20 ACICIS di Yogyakarta. (Foto: Nurina Savitri)
Kiri: alumnus ANU, James Dawson, memamerkan karya batik cap-nya yang belum diwarna. Kanan: James belajar batik tulis dalam rangka ulang tahun ke-20 ACICIS di Yogyakarta. (Foto: Nurina Savitri)

 

James Dawson pernah tinggal di Indonesia 4 tahun yang lalu. Tapi seperti halnya Jordan, kunjungan ini juga kali pertamanya belajar cara pembuatan batik.

Sependapat dengan rekannya itu, pria berkacamata ini juga menilai pembuatan batik sebagai sebuah proses yang detil dan rumit.

“Ini membutuhkan waktu dan praktek bertahun-tahun agar mahir membuatnya. Saya lihat bagaimana ketepatan diperlukan dalam membuat batik tulis, saya rasa itu tak mungkin dipelajari dalam sekejap,” ujarnya.

“Apalagi saya tak punya dasar seni, sama sekali. Jadi saya sungguh menghargai semua yang dilakukan ibu-ibu ini di sini,” tambahnya.

James lantas mengungkapkan, melihat proses pembuatan batik membuatnya sadar akan nilai kesabaran, ketekunan dan gairah yang dibutuhkan dalam aktifitas ini.

“Saya seutuhnya paham kerja keras yang dibutuhkan untuk menghasilkan karya ini. Terkadang kita melihat orang Barat yang datang ke toko batik dan lalu bertanya-tanya mengapa satu batik hargana bisa 300 ribu rupiah tapi satunya lagi bisa sampai 1 juta?. Dengan melihat dan mencoba prosesnya sendiri, saya kini memgerti mengapa harganya berbeda,” tutur warga Canberra yang jago berbahasa Indonesia ini.

Ia lantas menceritakan, latar belakangnya bekerja di bidang penerbitan yang banyak melibatkan komputer, sangat jauh berbeda dengan sensasi membuat batik yang ia rasakan.

“Menurut saya, ketimbang mengotomatisasi semua proses membatik ini dengan menggunakan mesin yang bisa menghasilkan karya yang sama, atau menggunakan desain komputer yang bisa direplikasi, tentu saja batik tulis jauh lebih unggul karena ada sentuhan personalnya.”

“Itu bukan produksi massal,” sambungnya.

Jordan Brown, mahasiswa Universitas Monash, belajar cara membuat batik cap. Bersama dengan James, ia turut menghadiri perayaan 20 tahun ACICIS. (Foto: Nurina Savitri)
Jordan Brown, mahasiswa Universitas Monash, belajar cara membuat batik cap. Bersama dengan James, ia turut menghadiri perayaan 20 tahun ACICIS. (Foto: Nurina Savitri)

 

Sementara bagi Jordan, nilai batik bergantung pada prioritas penggunanya.

Batik tulis dan batik cap keduanya sama-sama memiliki keunikan tersendiri, hanya saja tak semua kalangan bisa menikmati batik tulis.

“Ya kalau batik tulis dijadikan gaya hidup, saya rasa dibutuhkan sesuatu agar semua kalangan bisa memilikinya dan memakainya secara rutin, mengingat harganya,” kemuka mahasiswi ini.

Jordan kemudian menceritakan pertemuan pertamanya dengan batik yang justru terjadi di benua Afrika, tepatnya di Rwanda.

“Saya lihat ada batik di pasar sana, ketika saya membelinya saya tak sadar bahwa apa yang saya beli adalah buatan Indonesia. Jadi saya membeli batik Indonesia di Rwanda,” ujarnya tergelak.

Ia menambahkan, “Motifnya hampir sama seperti yang ada di sini, harganya sekitar 5 dolar (atau Rp 25 ribu) per 2 meter, tapi bukan batik tulis.”

“Mungkin bisa diteliti seberapa besar batik diekspor ke sana dan bagaimana permintaan internasional akan kain tradisional ini,” sambungnya menutup pembicaraan.