‘Begpacker’: Fenomena Bule Peminta Uang di Indonesia dan Kawasan Asia Lainnya
Dari Bangkok ke Bali, Seoul ke Suva, sejumlah turis dengan uang yang sedikit telah menciptakan sebuah reputasi yang buruk.
Dalam beberapa tahun, para pengguna jejaring sosial, khususnya di negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia atau Thailand, telah mengejek para ‘begpacker’.
Sebutan ‘begpacker’ seringkali merujuk pada orang bule yang meminta-minta uang di jalanan, biasanya untuk membiayai perjalanan mereka.
“Mereka berada di spektrum paling ekstrim dari para pelancong yang senang berpergian dengan anggaran terbatas,” ujar Annisa Rahmalia, peneliti bidang kesehatan di Bandung.
“Fokus mereka adalah bagaimana bisa jalan-jalan semurah mungkin, mengabaikan pertimbangan lain, dan kemudian membangga-banggakannya.”
Setelah menyulut kemarahan dari warga lokal seperti Annisa, apakah pemerintah di Asia Tenggara akan mengambil langkah tegas soal keberadaan mereka?
Siapakah mereka?
Ada banyak jenis turis asing yang masuk dalam kategori ‘begpacker’.
Diantaranya adalah mereka yang benar-benar mengemis dengan tanda bertuliskan ‘bantu saya untuk mendanai perjalanan saya’ dengan menjual sketsa atau kartu pos.
Ada juga yang mengamen dengan ukulele atau instrumen musik lainnya.
Joshua D Bernstein, peneliti pariwisata dari Thammasat University di Bangkok, Thailand mengatakan kepada ABC bahwa mayoritas pengemis yang pernah ia wawancarai berasal dari Rusia atau negara-negara bekas Uni Soviet.
Awal tahun ini, sepasang suami istri asal Rusia ditangkap di Malaysia karena melakukan ‘pertunjukan’ musikal dengan mengayunkan bayi mereka ke atas di jalanan yang ramai di kota Kuala Lumpur.
Ada pula sejumlah cacatan turis-turis bule yang melakukan penipuan.
Seperti pria asal Jerman, Benjamin Holst, yang kakinya bengkak karena memiliki kelainan, telah menyedot perhatian media di kawasan Asia dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam sebuah foto, ia duduk di jalan mengemis, padahal di halaman Facebook miliknya ia malah mengungkapkan sisi lain dari dirinya.
Ia pernah mengunggah foto-foto minuman, makanan mewah dan berpose dengan sejumlah perempuan lokal.
Dianggap sebagai “penipu” oleh banyak orang, ia kemudian dilaporkan masuk dalam daftar hitam oleh imigrasi Thailand dan dilarang masuk ke Singapura.
Akankah mereka ditoleransi?
Bulan Juni lalu, pihak berwenang di Bali menyatakan jika mereka akan menindak turis-turis asing yang diduga mengemis di jalanan.
“Orang asing yang tidak punya uang atau yang berpura-pura miskin, akan kami kirim ke kedutaan mereka,” ujar Setyo Budiwardoyo dari imigrasi di Ngurah Rai pada saat itu.
Ia menegaskan keberadaan mereka telah “menyebabkan banyak masalah” dan kebanyakan yang berurusan dengan pihak berwenang di Bali berasal dari Australia, Inggris, atau Rusia.
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengatakan, “meminta para pelancong untuk bertanggung jawab sendiri atas keselamatan, keuangan, dan perilaku mereka di luar negeri, termasuk mematuhi hukum negara yang mereka kunjungi.”
“Kami meminta agar pelancong Australia memastikan jika mereka memiliki dana yang cukup untuk perjalanan.”
Ross B Taylor, presiden dari Indonesia Institute yang berbasis di kota Perth, mengatakan kepada ABC jika “Australia mengenakan biaya hingga $140 bagi warga negara Indonesia untuk mengajukan visa berlibur ke Australia”.
“Ini adalah penghinaan yang cukup besar bagi Indonesia di saat kita masuk ke negaranya tanpa visa apa pun dan begpacker berniat ‘menyimpan’ lebih banyak uang … itu menyinggung budaya Hindu di Bali,” tambahnya.
Juka, mengatakan kepada ABC jika bagpacker telah menjadi “epidemi” di Bali selatan seperti Kuta.
Ia adalah pengelola Farmers Yard Hostel di Bali, menawarkan penginapan gratis bagi mereka yang berkontribusi dalam pemeliharaan hostel.
“Tapi ada banyak orang yang datang, meminjam, dan mengambil,” kata Juka, yang juga mengatakan peningkatan jumlah ‘begpacker’ telah memaksa hostelnya untuk menerapkan aturan baru.
Kebanyakan dari mereka yang berharap mendapat fasilitas gratis tersebut memiliki kaitan dengan ‘Rainbow Gathering’, sebuah gerakan dari Amerika Serikat yang menentan konsumerisme dan media massa, ujar Juka.
“Tidak ada pengemis,” kata Babua Murjani, seorang anggota Rainbow Gathering di Bali.
“Seniman hanya melakukan penampilan saat jalan-jalan, mereka yang paham tidak berpartisipasi dalam budaya konsumer kapitalis yang sekarat.”
“Untuk bisa keluar dan menampilkan seni di jalanan butuh keberanian, itu adalah bentuk revolusi,” ujarnya.
Apakah penerapannya standar ganda?
Thailand telah mulai menegakkan aturannya lebih ketat untuk mewajibkan turis asing setidaknya memiliki THB 10.000, atau hampir Rp 5 juta, untuk memenuhi syarat imigrasi, menurut sebuah forum ekspat.
Namun sebuah survei baru-baru ini yang dilakukan lembaga riset pasar yang berbasis di Inggris, YouGov menunjukkan 46 persen warga Thailand memiliki pandangan positif terhadap ‘begpacker’, sementara hanya 10 persen yang memiliki kesan negatif.
Di Thailand, seperti di bagian lain Asia Tenggara, ada budaya memberi sedekah.
Joshua mengatakan pelancong dengan anggaran terbatas senang ke negara-negara di Asia Tenggara karena biaya hidup yang rendah, serta “keramahan warga … dan secara budaya mereka tidak konfrontatif di Thailand atau di sebagian besar negara Asia Tenggara lainnya.”
Menurut Helen Coffey, wakil editor topik travel untuk The Independent, kita harus berhati-hati untuk tidak menganggap ‘begpacker’ terlalu cepat.
“Ada asumsi yang tidak nyaman bahwa setiap orang kulit putih di Asia memiliki sarana yang independen dan tinggal menelepon keluarganya yang kaya saat mereka kehabisan uang,” tulisnya di tahun 2017, saat ‘begpacker’ mulai banyak dikritik di jejaring sosial di Asia Tenggara,
“Foto diunggah tanpa konteks, tanpa referensi atau pengetahuan tentang keadaan pribadi orang-orang,” tulis Coffey.
Max Geraldi seorang warga Indonesia sudah banyak melakukan perjalanan selama lebih dari 10 tahun di Eropa, Asia Selatan dan Timur Tengah sambil menampilkan pertunjukan di jalanan.
Kepada ABC ia mengatakan “semua hal yang butuh penampilan dan pertunjukkan untuk mendapat uang, bukanlah mengemis. Jika ada sesuatu untuk ditawarkan, seperti hiburan, bukanlah mengemis.”
Tetapi turis asing di Asia Tenggara dikritik lebih keras karena aksi mengamen, seperti diberi julukan ‘begpacker’ itu, kata Max.
Banyak warga di Asia Tenggara menganggap ketidakadilan saat sebagian besar turis asing bisa datang ke negara mereka dengan bebas visa.
Sementara bagi mereka perlu melakukan pemeriksaan kesehatan yang memakan waktu, melampirkan laporan bank dan dokumen-dokumen lainnya, serta membayar visa untuk mengunjungi Eropa, Amerika Utara atau Australia.
“Apakah mereka sadar berapa banyak yang harus kita keluarkan hanya untuk mendapatkan visa untuk mengunjungi negara mereka? Dan di sini mereka memamerkan diri sebagai orang yang membutuhkan,” kata Nash Tysmans, seorang warga Filipina.
Nash pernah menulikan opininya soal ‘begpacker’ di sebuah media online berbahasa Inggris yang banyak dibaca di Filipina, ‘The Inquirer;.
“Bayangkan luasnya pintu yang kita buka untuk turis, uluran tangan dan kaki sebagai bagian dari budaya ramah tamah kita untuk membuat orang asing merasa nyaman seperti di rumah sendiri,” tulisnya.
Simak laporannya dalam Bahasa Inggris disini.