Apakah Indonesia Lebih Maju Dibanding Australia Soal Penyiar Berita Berbasis AI?
Fahada Indi sedang menyiapkan ASI untuk anaknya di tengah keramaian Pekan Raya Jakarta saat bosnya memintanya untuk membacakan berita saat itu juga.
Tak lama kemudian, muncul avatar yang mirip Indi di studio TVOne, salah satu televisi berita di Indonesia.
Tapi nama yang muncul di layar bukanlah nama Indi, melainkan Nadira, avatar yang dibuat oleh TVOne menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
"Dengan teknologi AI ini, saya bisa membaca berita di mana saja, lalu muncul avatar saya," kata Indi kepada ABC News.
TVOne, yang meluncurkan Nadira dan pembawa berita AI lainnya, Sasya, pada bulan April, adalah jaringan TV pertama yang menggunakan teknologi kontroversial ini di Indonesia.
Nadira dan Sasya hanyalah beberapa sosok penyiar AI yang belum lama ini mulai bertugas membaca berita di negara-negara Asia.
Penyiar AI terus berkembang
China menjadi negara pertama di dunia yang memperkenalkan penyiar berita AI pada tahun 2018, dengan sepasang pria berjas menyampaikan buletin untuk kantor berita Xinhua. Satu berbahasa China dan yang lainnya berbahasa Inggris.
India kemudian menyusul pada bulan April tahun ini, meluncurkan penyiar berbasis AI, Sana, yang sekarang menyajikan buletin beberapa kali sehari di saluran berita Aaj Tak India Today Group.
Wakil ketua grup media itu menggambarkan Sana sebagai sosok yang "cerah, cantik, awet muda, tak kenal lelah".
Alih-alih menjadi avatar dari pembaca berita yang ada, Sana diciptakan dengan citra dan kepribadiannya sendiri.
"Senang menjadi penyiar AI pertama untuk AajTak. Penggemar olahraga & teka-teki," deskripsi biografi Sana di akun Twitter.
Sementara di akun Instagramnya dia menulis "dapat berbagi resep-resep masakan yang gagal. Tak pernah menyesal menjadi diri sendiri!"
Akhir pekan lalu, presenter berita AI kedua memulai debutnya di saluran berita swasta di Odisha, menyajikan buletin dalam bahasa Inggris dan Odia – dialek yang digunakan di negara bagian tersebut.
Dan sejak bulan lalu, FTV News Taiwan memiliki presenter cuaca berbasis AI, setelah TVOne meluncurkan Nadira dan Sasya.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia yang mulai menerapkan AI dalam lanskap industri media, Australia bisa dikatakan belum terlalu antusias menggunakannya.
Laporan Ipsos Global Advisor minggu ini menemukan orang Australia paling khawatir tentang AI dari 31 negara yang disurvei.
Survei Global Views on AI 2023 dari Ipsos ini mengungkapkan 69 persen responden mengaku "khawatir dengan teknologi tersebut".
Disebutkan, orang Australia juga tertinggal dalam pemahaman mereka tentang penggunaan AI untuk berbagai jenis produk dan layanan.
Sementara itu, orang Indonesia termasuk yang paling percaya diri, dengan hanya 48 persen responden mengaku AI mengkhawatirkan.
Ipsos menyebutkan orang Jepang yang paling tidak khawatir, dengan hanya 23 persen dari responden.
Bagaimana cara kerja penyiar berita AI?
Berbagai komentar tentang dampak negatif AI di industri media menyebut potensi pengangguran massal hingga misinformasi.
Konsultan program AI TVOne, Apni Jaya Putra, menjelaskan mereka berusaha menyeimbangkan hal ini dengan tak sepenuhnya mengandalkan teknologi dalam peran presenter.
Apni mengatakan teknologi telah memungkinkan untuk mengkloning suara sehingga siaran dapat "100 persen" digerakkan oleh AI.
Namun dia menambahkan bahwa TVOne memutuskan untuk mempertahankan suara asli presenter demi memastikan akurasi yang lebih baik dan mencegah teknologi menyebabkan hilangnya pekerjaan.
"Kita memiliki perasaan yang tidak bisa digantikan oleh AI," kata Indi.
"Kita memiliki intonasi dan emosi, jadi AI presenter yang muncul tidak datar," katanya.
Indi mengatakan teknologi AI telah mempermudah pekerjaannya karena dia bisa membaca berita dari mana saja.
Dia dapat merekam suaranya, mengirimkannya ke tim studio, dan dalam beberapa detik Nadira muncul di layar TV berbicara menggunakan suara Indi.
Saat merekam di tengah kerumunan orang, "kebisingan masih ada, tapi tim AI berhasil menghilangkannya", jelas Indi.
Keuntungan lain menggunakan AI, katanya, yaitu dapat menjangkau audiens yang lebih luas dengan menerjemahkan suaranya ke berbagai bahasa menggunakan fitur kloning suara.
Apa bahayanya?
Menurut Apni, TVOne menggunakan teknologi AI lainnya untuk memeriksa terjemahan teks.
Albertus Prestianta, pengamat media digital di Queensland University of Technology, memperingatkan di sinilah masalah bisa terjadi.
Kloning suara menggunakan AI merupakan salah satu fitur yang dikhawatirkan dapat menyebarkan misinformasi karena akurasinya tidak dapat dijamin.
Menurut Albertus, bahasa adalah produk budaya, dan setiap produk budaya harus memiliki konteks sosial dan budaya.
"Saya pikir masih perlu merekrut ahli bahasa untuk memastikan konteksnya sesuai," katanya kepada ABC News.
Meskipun mendukung inovasi yang dilakukan TVOne, Albertus mengatakan teknologi ini harus tetap digunakan dan dikendalikan oleh manusia.
"Jadi pembuat keputusannya adalah manusia," katanya.
Albertus juga menyampaikan kekhawatiran tentang kemampuan memverifikasi konten berita yang dihasilkan AI.
Akhir-akhir ini, dunia bergelut dengan cara menghadapi peningkatan deepfake online yang meniru semua orang, mulai dari presenter berita hingga politisi.
Deepfake adalah gambar, video, atau audio yang dimanipulasi dan diubah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang melakukan atau mengatakan sesuatu yang tidak nyata.
Februari lalu, aktor yang bersekutu dengan pemerintah China dilaporkan menggunakan penyiar berita deepfake buatan AI menyebarkan video propaganda pro-China di media sosial.
Albertus mengatakan deepfake tidak dapat dihindari di era teknologi yang berkembang pesat, tapi pendidikan dan literasi digital dapat membantu.
Di manakah posisi Australia?
Menurut James Meese, dosen komunikasi di Royal Melbourne Institute of Technology, meskipun Australia memiliki teknologi untuk menggunakan AI dalam industri media, media pemberitaan saat ini masih berhati-hati.
"Ruang redaksi di Australia sedang dalam tahap awal terlibat dengan AI," katanya.
"Strateginya sedang disiapkan untuk menggabungkan teknologi ini secara lebih efektif, tapi mereka sadar akan risikonya, dan berhati-hati menimbang pro-kontranya," jelasnya.
Guardian News & Media mengatakan alat AI generatif "menarik tapi saat ini tidak dapat diandalkan".
Perusahaan itu membentuk kelompok kerja AI untuk menilai bagaimana seharusnya mengatasi risiko dan peluang yang ditimbulkan oleh AI.
"Jika kami harus memasukkan elemen signifikan yang dihasilkan oleh AI dalam sebuah karya, kami hanya akan melakukannya dengan bukti yang jelas tentang manfaat spesifik, pengawasan manusia, dan izin eksplisit dari editor senior," kata Dirut Anna Bateson dan Pimpred Guardian Katharine Viner dalam pernyataan bersama.
Editor berita ABC News, Matt Brown, mengatakan lembaga penyiaran publik Australia ini belum memiliki rencana pasti untuk menggunakan AI dalam penyajian beritanya.
Namun dia menyebut ABC News mencermati teknologi ini dengan sangat hati-hati.
"Belum ada rencana untuk menggunakan gambar atau suara generatif AI dalam menyajikan berita di ABC News," kata Matt.
"Perhatian utama kami tentang AI sama dengan perhatian utama kami pada hal lain. Yaitu akurasi, ketidakberpihakan, melakukan pekerjaan terbaik untuk kepentingan masyarakat kita," tambahnya.
ABC memahami bahwa salah satu jaringan TV di Australia Nine Network telah mengesampingkan penggunaan AI untuk buletin berita, alih-alih menggunakannya untuk membuat konten tambahan seperti paket sorotan olahraga.
Meski media tradisional Australia umumnya masih berhati-hati, The Brag Media, yang menyebut dirinya sebagai "pusat budaya anak muda", menyambut baik kesempatan bereksperimen dengan AI untuk menulis artikel.
"Sama seperti penemuan kalkulator tidak merendahkan ahli matematika, Photoshop tidak merendahkan artis, tulisan AI tidak akan merendahkan jurnalis dan penulis berita," tulis Dirut The Brag Media Luke Girgis.
Direktur Ipsos David Elliott mengatakan AI telah lama memiliki masalah persepsi di . Agar kepercayaan masyarakat tumbuh kembali, katanya, diperlukan pendidikan tentang penggunaan dan cara kerja AI.
"Diperlukan pendidikan massal seputar teknologi, khususnya potensinya dalam meningkatkan efisiensi di tempat kerja dan dalam kehidupan sehari-hari," katanya.
Laporan tambahan oleh Annika Burgess.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News yang selengkapnya dapat dibaca di sini.