ABC

Temui Presiden Myanmar, Menlu Bishop Angkat Isu HAM

Menteri Luar Negeri Julie Bishop membahas isu-isu hak asasi manusia atau HAM dalam pertemuannya dengan Presiden Myanmar, Thein Sein, Kamis 3 Juli.

Julie Bishop lakukan lawatan 3 hari ke Myanmar.
Menlu Bishop tengah melakukan lawatan 3 hari ke Myanmar dalam rangka meningkatkan hubungan kerjasama dengan Pemerintah negara itu.

Ia bertemu secara formal dengan Presiden Thein dan Menteri Luar Negeri Myanmar, dan mendiskusikan kerjasama perdagangan, investasi, serta pertahanan.

Menlu Bishop menyebut, ia juga mengangkat isu-isu HAM.

Menlu Myanmar mengkonfirmasi bahwa ia akan menandatangani ‘Colombo Plan’ sehingga mahasiswa universitas di Australia dapat belajar di Myanmar mulai tahun depan.

Selama kunjungan, Menlu Bishop juga mengadakan pertemuan dengan pemimpin oposisi dan pemenang Nobel, Aung San Suu Kyi.

Aung San Suu Kyi berjuang untuk perubahan dalam konstitusi Myanmar sehingga ia dapat maju sebagai kandidat Presiden pada Pemilu tahun depan.

“Kami menghargai segala dukungan yang diberikan pihak manapun dalam upaya amandemen konstitusi, tak hanya kepada Australia,” ujarnya.

Kunjungan Menlu Bishop terjadi saat kerusuhan antara komunitas Budha dan Muslim meletus di kota terbesar kedua negara ini, yakni Mandalay.

Polisi berusaha menghentikan massa, yang terdiri dari sekitar 500 pria Budha dengan senjata bambu dan batang besi, dari upaya penyerangan terhadap kelompok Muslim.

Tahun ini, Myanmar, yang juga disebut sebagai Burma, mendapat giliran sebagai Ketua ASEAN, sebuah kehormatan yang belum pernah disandang negara ini sebelumya.

Bencana kemanusiaan terjadi di Rakhine

Kekerasan sektarian di negara bagian Rakhine telah menyebabkan lebih dari 100.000 orang meninggalkan rumah mereka selama 6 bulan terakhir.

Myint Thein, seorang warga Rohingya dari Rakhine, menuturkan, komunitasnya yang berjumlah 400.000 orang kini menetap di tenda pengungsian di mana tiap keluarga hanya memiliki ruang sebesar dua meter persegi untuk tinggal.

Ia menuturkan, mereka yang tinggal di tenda tak diperlakukan sebagaimana mestinya saat mereka sakit dan sudah sekitar 50 pengungsi meninggal dunia dalam dua tahun belakangan ini, kebanyakan adalah para perempuan hamil.

Dijauhi oleh mayoritas Budha, sebagian besar Muslim Rohingya tak memiliki akses kesehatan.

Awal tahun ini, banyak organisasi non-profit (NGO) dipaksa keluar Myanmar termasuk organisasi ‘Dokter Tanpa Batas’ dan ‘Malteser Internasional’.

Koordinator Malteser Myanmar, Johannes Kaltenbanch, mengatakan, NGO-nya diserang pada Maret lalu karena mencopot bendera Budha dari kantor perwakilan mereka.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, 200 pasien Rohingnya yang mereka rawat kini terpaksa mengurus diri mereka sendiri.