Jutaan Pemilih Siluman Masih Akan Menghantui Pemilu 2019
Lebih dari 100 warga negara asing telah dihapus dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menemukan nama mereka tak sengaja masuk dalam daftar, yang artinya mereka memiliki hak untuk memilih di 17 provinsi se-Indonesia.
Pengumuman ini muncul setelah seorang warga negara China ditemukan memiliki e-KTP (kartu identitas elektronik) dan masuk dalam daftar pemilih menggantikan warga Indonesia.
Beberapa pendukung Prabowo Subianto menjadikan temuan ini sebagai bukti adanya kecurangan dalam pemilu, setelah sebelumnya sering menuduh Presiden Joko “Jokowi” Widodo terlalu akrab dengan China.
Kejadian seperti ini hanyalah satu dari berbagai masalah yang membayangi pemilu serentak 17 April mendatang, yang akan diikuti lebih dari 187 juta pemilih di Indonesia.
Masalah ini juga menunjukkan tantangan-tantangan di Indonesia yang terus terjadi untuk mengatasi misinformasi dan hoaks, dan disebut banyak pengamat sebagai periode stagnasi demokrasi.
Ditambah lagi, ada dugaan resmi bahwa peretas dari China dan Rusia mencoba mengganggu proses pemilihan umum.
Sebanyak 8 ribu calon legislator akan bersaing ketat memperebutkan 575 kursi di DPR dan puluhan ribu lainnnya di 19.817 kursi dewan perwakilan daerah tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
Beberapa peneliti dan pakar telah memperingatkan adanya upaya penyuapan atau pembelian suara yang bisa menyebabkan demokrasi di Indonesia bermasalah.
Profesor Edward Aspinall dari Australian National University mengatakan kepada ABC banyak warga menentukan pilihan mereka dengan pertimbangan sesaat, seperti uang untuk memenuhi kebutuhan.
Sebagai contoh, seorang politisi partai nasionalis ternama di Kalimantan mengaku kepada ABC bahwa dia bertanggung jawab membagi-bagikan uang kepada warga pada pemilihan kepala daerah di tahun 2014.
Johannes, bukan nama sebenarnya, mengatakan setiap orang dibayar Rp 250.000 per orang sebagai imbalan atas suara mereka.
“Strategi ini efektif,” kata Johannes.
‘Mengobral demokrasi’: Membeli suara sama dengan membunuh demokrasi
Profesor Aspinall mengatakan praktik-praktik seperti pembelian suara, penyalahgunaan jabatan untuk mendukung kandidat tertentu, serta penggelapan uang dari proyek pemerintah banyak ditemukan di seluruh Indonesia. Dia menyebutnya sebagai “mengobral demokrasi” dalam bukunya yang segera terbit.
Dia juga mengatakan pembelian suara lebih marak dan efektif di pulau-pulau selain Jawa, di mana kekuatan ekonomi sangat terkonsentrasi.
“Banyak pembelian suara terjadi pada pemilihan wakil rakyat, bukan pemilihan presiden, antara lain karena skala pemilihan presiden terlalu besar,” kata dia.
Profesor Aspinall mengungkapkan praktik pembelian suara memang lebih kerap terjadi pada pemilihan kepala daerah, tetapi tidaklah efektif apabila mendapat tekanan sosial dari pemuka agama, pemuka budaya, atau tokoh pemerintahan di masyarakat.
Sementara itu, dalam sebuah penelitian terpisah, Burhanuddin Muhtadi, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menemukan bahwa pada periode 2006-2016, sekitar sepertiga dari 800.000 respondennya mengatakan telah diberi uang atau benda lain untuk memilih kandidat tertentu.
Profesor Aspinall, yang melakukan penelitian dengan fokus pemilihan presiden dan anggota DPR pada 2014 — dengan calon presiden yang sama, yakni Jokowi dan Prabowo — mengatakan tidak banyak perubahan yang terjadi menjelang pemilu 17 April mendatang.
“Pada dasarnya, sistemnya tetap sama,” kata dia.
“Hanya ada sedikit perubahan peraturan, kerangka kerja peraturannya lemah, tapi yang terpenting, peraturan elektoralnya tetap sama.”
Jutaan “pemilih siluman” bermunculan
Di Indonesia, semua warga negara yang telah berusia 17 tahun diwajibkan memiliki e-KTP sebagai syarat memilih.
Tetapi skema e-KTP sendiri telah tercoreng oleh skandal korupsi sebesar Rp 2,3 triliun yang melibatkan banyak politisi senior. Salah satunya adalah mantan Ketua DPR Setya Novanto, yang dihukum penjara 15 tahun karena telah dianggap mencuri uang rakyat.
Akibatnya, jutaan orang Indonesia masih belum memiliki e-KTP.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan hingga akhir 2018, sekitar 1,6 juta masyarakat adat terancam tidak dapat memilih pada April nanti karena tidak memiliki e-KTP.
Penduduk Papua sebelumnya terbiasa memilih dengan menggunakan “sistem noken”, di mana masyarakat menentukan pilihan berdasarkan mufakat/konsensus, bukan memilih sendiri-sendiri.
Tetapi KPU mengatakan akan berupaya mengurangi praktik sistem noken karena rentan manipulasi.
Selain itu, kesalahan birokratis dalam sistem pendaftaran pemilih juga telah mengakibatkan beberapa orang memiliki identitas ganda.
KPU terpaksa mengoreksi daftar pemilih setelah ditemukan adanya hampir 3 juta pemilih ganda — atau “pemilih siluman” menjelang pemilu.
Mereka juga berjanji akan terus memutakhirkan daftar pemilih hingga 17 April mendatang.
“Kekecewaan” demokrasi dan tuduhan korupsi
Meski mantan Ketua DPR Setya Novanto telah dipenjara, korupsi masih terus merajalela dalam budaya politik Indonesia.
Menurut Indonesia Corruption Watch, setidaknya 46 orang terpidana korupsi tetap maju sebagai caleg di pemilu April mendatang.
“Salah satu ancaman terhadap stabilitas demokrasi di Indonesia adalah kekecewaan besar terhadap sistem demokrasi itu sendiri,” kata Profesor Aspinall.
“Ketika mereka sudah terpilih, inilah masanya mereka ‘mengembalikan modal’ dan caranya adalah dengan korupsi.”
ABC berusaha mengontak KPU tetapi tidak mendapatkan jawaban.
Suka berita ini? Ikuti berita-berita menarik lainnya dari ABC Indonesia.