Stigma Laki-Laki Lebih Jago Dalam Pelajaran Eksakta Rugikan Perempuan
Sebuah penelitian baru yang menunjukkan bahwa anak perempuan sama baiknya dengan siswa laki-laki dalam mata pelajaran sains, teknologi, teknik dan matematika membantah asumi bahwa anak perempuan cenderung tak melanjutkan mata pelajaran eksakta itu di sekolah karena mereka tak mampu.
Perempuan masih sangat kurang terwakili di bidang eksakta, dan ada angka keabsenan perempuan yang besar dalam mata pelajaran tersebut di sekolah.
Tetapi sebuah penelitian oleh UNSW, yang menunjukkan bahwa anak perempuan dan laki-laki sama baiknya di bidang itu, akan membuat lebih banyak anak perempuan menikmati mata pelajaran eksakta di sekolah, universitas dan seterusnya.
“Kami melihat seluruh spektrum orang yang bekerja di sains dan teknologi dan kami melihat bias gender yang kuat di sana,” kata Profesor Emma Johnston, Dekan Sains di Universitas New South Wales (UNSW), serta Presiden Sains dan Teknologi Australia.
“Kami ingin menjelaskannya, karena jika kami bisa menjelaskan dan memahaminya, maka mungkin kami bisa memperbaiki situasi dan mengurangi bias tersebut.”
Studi yang dipublikasikan pada hari Rabu (26/9/2018) di jurnal Nature Communications ini mengamati nilai akademik dari 1,6 juta siswa, mulai dari kelas 1 SD hingga universitas, dalam mata pelajaran eksakta dan non-eksakta.
Profesor Johnston mengatakan hasilnya menimbulkan pertanyaan tentang mengapa begitu sedikit perempuan yang bekerja di bidang eksakta dibandingkan dengan laki-laki.
“Di masa lalu, beberapa orang berpikir bahwa alasan mengapa ada lebih banyak laki-laki di bidang pekerjaan eksakta ketimbang perempuan karena laki-laki dianggap lebih baik di bidang itu,” kata Profesor Johnston.
“Apa yang dilakukan oleh studi ini adalah bahwa ini bukan tentang kemampuan laki-laki versus perempuan.”
Yang menjadi pertanyaan – mengapa kita melihat perbedaan besar ini dalam ketenagakerjaaan?
Kepercayaan diri kunci kesetaraan
Profesor Johnston mengatakan bagian besar dari masalah itu adalah anak perempuan benar-benar tak berpikir mereka sebaik anak laki-laki dalam mata pelajaran eksakta.
“Kita perlu memecah stereotip negatif itu yang bisa menghalangi anak perempuan untuk melihat diri mereka sebagai ilmuwan, atau teknokrat,” katanya.
“Ini hanya soal mengatakan, ‘Saya suka fisika, matematika, saya benar-benar akan memanjakan diri sendiri dan saya akan melakukannya dengan sangat baik’.”
Rose O’Dea adalah kandidat PhD di Universitas New South Wales, dan merupakan penulis utama studi ini.
Ia mengatakan, minatnya pada topik itu berasal dari pengalamannya sendiri.
“Saya seorang mahasiswa PhD biologi, jadi kami memiliki keterwakilan yang lebih baik, tetapi saya tidak memiliki kepercayaan diri,” katanya.
“Saat masih kecil, saya pasti menyimpan memori bahwa matematika itu sulit, dan itu membutuhkan bakat bawaan.”
“Jadi dalam dua tahun terakhir SMA, saya tidak memilih untuk belajar matematika dengan tingkat tertinggi, dan di universitas saya benar-benar menyesali keputusan itu.”
Meski kini menjadi pelopor sains, Profesor Johnston juga telah berjuang untuk menemukan kemampuannya sendiri yang setara di sektor yang didominasi laki-laki ini.
Ia mengatakan, kurangnya panutan dan stereotip negatif yang ada bisa memiliki efek yang merugikan pada ambisi anak perempuan.
“Masyarakat tidak mengharapkan saya untuk menjadi baik dalam matematika, jadi ada masalah harapan, dan ini menjadi masalah kepercayaan diri,” kata Profesor Johnston.
“Kita perlu menghapus stereotip negatif itu sehingga para perempuan bisa melihat pekerjaan yang menyenangkan ini dan pekerjaan yang gajinya benar-benar sangat bagus, jadi mereka bisa memilih karir itu.”