ABC

Diskusi Reformasi di Melbourne: RI Tidak Terpecah Karena Mitos Indonesia Raya

Tumbangnya rezim Suharto pada tahun 1998 melahirkan euforia besar tentang proses demokratisasi di Indonesia, namun Indonesia mengalami turbulensi hebat pada lima tahun awal masa reformasi.

Lima tahun awal reformasi menunjukkan realitas suram dan ancaman disintegrasi seperti kerusuhan Ambon dan Poso tahun 1999, serta ancaman terorisme bermotif agama yaitu peristiwa Bom Bali tahun 2002.

Semua turbulensi itu kemudian menghadirkan kekhawatiran terutama dari banyak analis yang mengatakan Indonesia mungkin akan terpecah.

Tapi sampai saat ini, dua puluh tahun sejak orde baru tumbang, kekhawatiran itu tidak terjadi.

Dua professor asal Indonesia di Melbourne, yaitu Ariel Heryanto dan Vedi Hadiz berbagi pendapatnya tentang ini pada sesi pertama dialog “Dua Dekade, Democratisation and Its Challenges” di University of Melbourne, Sabtu (25/8).

Pada sesi kedua dialog menghadirkan peneliti masalah Islam dan politik Professor Greg Barton, peneliti dari University of Melbourne Dr Ken Setiawan, Dr Helen Pausacker, Dr Amanda Achmadi, dan Dr Dave McRae.

Ariel melihat ide tentang Indonesia yang hebat masih bekerja untuk mencegah disintegrasi tidak terjadi.

“Ini tentang sejarah dan ingatan tentang Indonesia Raya. Sulit untuk melepaskan itu,” kata Ariel yang sekarang menjadi Prof Herb Feith di Monash University.

Prof Greg Barton (kiri) dan Dr Dave McRae (dua dari kiri) juga membahas Indonesia 20 Tahun Setelah Reformasi
Prof Greg Barton (kiri) dan Dr Dave McRae (dua dari kiri) juga membahas Indonesia 20 Tahun Setelah Reformasi

Foto: Alfred Ginting

Sementara itu Professor Vedi Hadiz dari University of Melbourne melihat, ancaman disintegrasi tidak terjadi pada fase awal reformasi karena kekuatan lokal di daerah tidak punya ketertarikan untuk memerdekakan diri.

“Dengan otonomi daerah, pemimpin lokal bisa mengelola sendiri sumber daya lokal dan anggaran. Banyak wewenang pemerintah pusat yang ditransfer daerah, dan mereka cukup puas dengan itu,” kata Vedi

Vedi mengatakan sampai saat ini bentuk Indonesia masih sama, meski banyak ancaman disintegrasi.

“Kecuali Timor Timur yang berpisah, dan menurut saya itu sudah selayaknya terjadi.”

“Dulu banyak yang meramalkan Indonesa akan terpecah, atau semakin robek karena kekuatan terorisme.

“Kalau kita merangkum semua kata yang mendeskripsikan Indonesia dalam lima tahun awal reformasi, dari euforia ke alarmisme. Kalau ibarat kejiwaan, studi tentang Indonesia mengalami situasi bipolar pada lima tahun awal reformasi,” kata Vedi.

Dialog Dua Dekade menampilkan para pakar mengenai Indonesia yang berada di Melbourne
Dialog Dua Dekade menampilkan para pakar mengenai Indonesia yang berada di Melbourne

Foto: Alfred Ginting

Media sosial dan kegaduhan politik

Ariel melihat selama dua puluh tahun reformasi berjalan, situasi politik Indonesia tidak banyak berubah.

“Naik dan turun terjadi, tapi banyak hal sama lima tahun lalu masih terjadi sekarang,” kata Ariel.

Bagi Ariel yang fenomena mencolok pada proses demokratisasi Indonesia akhir-akhir ini adalah posisi media sosial.

Menyambut tahun politik 2019, banyak anggapan situasi politik Indonesia semakin buruk.

“Memang dalam situasi politik Indonesia sering terjadi kemunduran. Tapi saya cukup percaya diri, mundur satu langkah untuk maju dua atau tiga langkah,” kata Vedi.

Vedi menolak anggapan bila saat ini muara masalah politik Indonesia pada konflik antara nasionalisme dan Islamisme.

“Ketika Jokowi yang dianggap mewakili kekuatan nasionalis memilih calon wakil presiden Ma’ruf Amin, atau Prabowo yang memilih Sandiaga Uno salah satu orang terkaya di Indonesia, bukan seorang ulama sebagai pendampingnya. Semua itu tidak cocok dengan narasi nasionalisme versus Islamisme.” kata Vedi.