Kisah Keluarga yang Pindah ke Australia Pasca Kerusuhan 1998
Bayangkan jika Anda harus meninggalkan kehidupan yang selama ini Anda jalani dan pindah ke negara yang sangat berbeda, bersama istri dengan seorang putri 7 tahun dan putra 11 tahun.
Keluarga Tendean Kesuma mengalami hal itu.
Setelah Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, Tendean Kesuma memutuskan meninggalkan Indonesia dan pindah ke Australia untuk memulai hidup baru. Namun baru di tahun 2005 mereka bisa melakukannya, dengan pertama-tama pindah sementara ke Singapura. Mereka kemudian tiba di Melbourne tahun 2007.
Begitu sulit. Mereka meninggalkan kehidupan kelas menengah di Jakarta dan berakhir hidup menyewa rumah di Melbourne. Mereka juga harus membayar biaya sekolah yang mahal bagi kedua anaknya, saat mereka menunggu empat tahun untuk menjadi penduduk tetap.
Setelah 10 tahun berlalu, kedua anaknya kini kuliah dan keluarga ini berencana membeli rumah di Melbourne akhir tahun 2018.
Tendean Kesuma (50)
Analis pelaporan pada perusahaan real estate ini, pernah kuliah di RMIT di Melbourne lalu kembali ke Indonesia dan bekerja di perusahaan multinasional. Dengan pindah ke Australia, dia berharap anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Berikut penuturannya:
Terus terang saya tidak merasa sebagai orang Indonesia setelah semua yang saya alami. Tetapi ketika kami pindah ke Singapura, kami menganggap bahwa kami orang Singapura karena diterima di sana. Sekarang saya bangga sebagai orang Australia.
Saya memutuskan pindah ke sini demi kehidupan yang lebih baik buat keluarga setelah semua yang saya alami di Indonesia.
Pada tahun 1998, ada kerusuhan besar di sana. Saya harus membuat keputusan besar yang untungnya, saya lakukan. Jika saya tinggal mungkin saya terbunuh.
Saya masih di kantor di Jakarta dan terjadi kerusuhan. Adik saya menelepon istriku dan bilang, “Jangan biarkan dia keluar rumah,” tapi sudah terlambat dan saya berada di tengah kerusuhan. Pukul 10 mereka meledakkan pusat perbelanjaan tepat di seberang kantor kami.
Bos bilang: “Kamu jangan pulang. Jika pulang, saya yakin kamu akan terbunuh di sekitar sana karena massa memblokir jalan.” Dia bilang, cara terbaik yaitu menginap di hotel.
Pada pukul 3 pagi saya mendapat telepon dari salah satu teman di militer. Dia mengatakan sudah aman untuk pulang ke rumah.
Saya melihat mayat dimana-mana, mobil terbakar, bus terbakar.
Kebencian begitu besar, kebencian terhadap orang (keturunan) China, kebencian besar terhadap non-Muslim, Katolik, membakar semua gereja dan semuanya itu.
Pindah ke Australia sangat sulit terutama untuk istriku karena dia belum pernah ke luar negeri. Singapura tidak apa-apa baginya karena dia bisa bahasa Mandarin dan budayanya kurang-lebih sama.
Ketika kami tiba di sini ada sedikit masalah. Kami tidak bisa menemukan akomodasi. Sekitar satu bulan kami tinggal bersama saudara saya. Sangat sulit, tetapi akhirnya kami dapat tempat di Hawthorn (salah satu kawasan di Melbourne).
Secara finansial juga sulit. Saya harus membayar penuh uang sekolah anak-anakku. Kami membayar sekitar $ 10.000 (sekitar Rp 100 juta per tahun) untuk sekolah negeri.
Sebagian besar tabungan saya – suatu hari saya pikir akan membeli rumah – semuanya habis membayar uang sekolah. Sama saja saya kehilangan satu rumah di sana untuk membiayai pendidikan mereka di sini.
Memang di sini ada orang rasis, bahkan di Singapura pun ada orang rasis.
Namun yang bagus tentang Australia yaitu ada hukum di sini. Hukum melindungi Anda. Di Indonesia hukum juga ada tetapi tidak akan melindungi Anda.
Saran saya bagi mereka yang berpikir pindah adalah jika anak-anak Anda masih muda, segera lakukan karena akan lebih mudah bagi mereka untuk beradaptasi.
Kedua, Anda harus keluar dari zona nyaman. Anda harus belajar cara hidup di sini, bukan hanya dengan teman-teman sendiri. Itu saran terbaik.
Sabina Deanita Kesuma (18)
Sabina berumur 7 tahun ketika mereka tiba di Australia. Sekarang dia kuliah ilmu saraf dan psikologi di Swinburne University di Melbourne. Dia juga bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji. Dia menyelesaikan tahun terakhir sekolah menengahnya di Victoria dan masuk 10 persen lulusan terbaik. Berikut penuturannya:
Saya belum pernah merasakan seperti apa cuaca dingin. Di Indonesia dan Singapura, iklimnya mirip: lembab, panas dan hangat.
Ketika pertama kali tiba di Bandara Melbourne, saya mengenakan jaket tebal dan tidak sabar untuk keluar dan merasakan udara dingin.
Salah satu tantangan terbesar yang muncul yaitu berkenalan kembali dengan orang baru karena Anda bertemu mereka di saat mereka sudah memiliki sahabat sejak kecil.
Saya belum pernah masuk sekolah di mana harus memulai dari awal dan tinggal sampai akhir sampai saat masuk SMA. Saya sangat berterima kasih kepada teman saya karena mereka merupakan hubungan terlama yang saya pernah alami.
Saya diejek atau terkadang diintimidasi, namun tidak sering. Kadang karena tinggi badan saya. Saya pendek.
Orang bertanya apakah saya ikut karate karena saya orang Asia. Tidak, tapi saya suka menonton film Jackie Chan.
Meninggalkan budaya (asal) merupakan pengorbanan. Sepupu-sepupuku sangat dengat satu sama lain. Saya merasa seperti orang asing di keluarga sendiri karena kalau bicara Bahasa Indonesia saya agak berlogat dan tidak terlalu lancar.
Kadang saya tidak bisa sepenuhnya terhubung dengan teman saya di sini meskipun saya berbicara Bahasa Inggris. Jadi saya agak terpisah. Mereka tidak tahu rasanya punya keluarga di Indonesia.
Saya melihat diriku sebagai orang Indo-Sing-Australia: kombinasi dari Indonesia, Singapura dan Australia.
Setiap kali kembali ke Indonesia, saya selalu merasa seperti kembali ke masa lalu. Singapura adalah masa kecil saya, karena sekolah di sana dan punya teman di sana, teman-teman yang baik.
Australia adalah masa depanku karena salah satu alasan kami datang ke sini yaitu untuk pendidikan saya. Jika kami tetap tinggal di Indonesia dan Singapura, saya tidak akan bisa kuliah ilmu syaraf. Saya tidak akan memiliki banyak pilihan seperti saat ini.
Margaretta Kesuma (47)
Margaretta sangat menyukai pekerjaannya sebagai juru masak (chef) di sebuah panti jompo di Melbourne. Di Indonesia dia bekerja sebagai akuntan dan guru piano. Datang ke Australia bersama dua anak yang masih kecil merupakan tantangan. Berikut penuturannya:
Hal yang sulit untuk pindah ke Australia adalah karena harus menyesuaikan semuanya. Saya harus menyesuaikan makanan, cuaca, teman, lingkungan dan terutama bahasa.
Di Indonesia, kami memiliki keluarga besar. Kami punya pembantu untuk melakukan pekerjaan di rumah. Saya sangat kesepian karena keluargaku ada di Indonesia. Ya Tuhan, saya sudah di sini dan saya harus menjaga anak-anak terutama karena mereka masih sangat muda.
Tetapi setelah itu saya bersyukur karena sekarang sudah terampil melakukan pekerjaan rumah tangga. Saya harus tahu bagaimana mengatur segalanya karena saya melakukan semuanya sekarang.
Awalnya saya sedikit kesepian. Saya punya beberapa teman dari Indonesia, tetapi saya perlu lebih banyak teman.
Saya berusaha melakukan yang terbaik untuk mendapatkan teman. Sekarang teman saya banyak di mana-mana, di tempat kerja, di tetangga, dimana-mana.
Saya lebih bahagia sekarang tetapi kadang saya sangat merindukan keluarga di sana, terutama orangtua saya.
Ayah saya kena kanker prostat.
Saya beruntung berada di sini. Orangtuaku sangat bangga pada saya dan kami karena mereka tahu kami aman.
Suami dan saya sangat dekat sekarang karena kami bekerja bersama, terutama kerjaan rumah tangga. Kami memasak bersama, saling bergantung satu sama lain. Kami sangat, sangat dekat sekarang dibandingkan dengan di Indonesia. Kami harus menyelesaikan masalah setiap hari bersama-sama.
Sebastian Kesuma (21)
Sebastian sedang kuliah tahun ketiga di Swinburne University jurusan teknik dan magang di perusahaan Melbourne Water. Meskipun fasih berbahasa Inggris saat tiba di Australia, logat Australia awalnya jadi tantangan tersendiri. Melalui olahraga Sebastian menjalin pertemanan. Dia penggemar klub footy Hawthorn. Berikut penuturannya:
Pengalamannya berbeda saat datang ke Australia. Budayanya beda, jadi sedikit kaget.
Keluar dari bandara saya merasa, wow, bersih sekali dan sepi sekali.
Orang menerima saya, mereka mengajakku main bola di SD saat jam istirahat. Saya agak gugup saat itu tetapi kemudian terbiasa.
Olahraga membantuku menyesuaikan diri. Bagus membahas olahraga dengan teman-teman SD-ku: olahraga footy dan cricket.
Saran saya bagi yang akan pindah ke sini, bergabunglah dengan berbagai klub. Sangat sulit untuk ngobrol dengan tetangga di Australia karena mereka sangat sibuk. Cobalah menjadi voluntir jika tidak dapat menemukan pekerjaan.
Guru SD-ku membantuku dalam keterampilan membaca. Saya mencari teman melalui kemampuan komunikasi dan meningkatkan Bahasa Inggris. Saya menonton acara TV berbahasa Inggris.
Di SMA pernah salah satu teman menyuruhku kembali ke negara asalku. Itu bullying.
Saya melaporkannya ke guru dan besoknya saya dan pelaku bully itu membahas mengapa hal itu salah.
Yang saya pelajari yaitu biasanya si pelaku bully adalah orang yang bermasalah dalam kehidupan mereka.
Sebagai manusia, bagaimana pun, kita harus saling menjaga.
Saya menganggap diriku sebagai orang Australia Indonesia (keturunan) China dan mungkin seperti warga negara lainnya. Saya melihat orang lain satu identitas dan satu ras manusia. Kita semua manusia.
Ingin berbagi pengalaman Anda setelah tinggal menetap di Australia? Kirim ke surel life@abc.net.au
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.