Masa Depan Kamboja di Tengah Gempuran Investasi China
Melintasi perbatasan darat dari Thailand ke Kamboja, apa yang akan mengejutkan Anda pertama kali adalah kehadiran kasino.
Membentang hampir di sepanjang perimeter keamanan, kasino-kasino itu memiliki pemandangan yang kontras: kotak beton berwarna permen yang dibuat untuk melayani pelanggan dari luar negeri.
Banyak kasino lain telah muncul di sepanjang perbatasan selatan dengan Vietnam dan di pusat kota di seluruh Kamboja.
Beberapa di antaranya terlihat modern, tapi banyak yang penampakannya susah dijelaskan, dibangun murni untuk tujuan tertentu.
Pintu masuk ke salah satu kasino, di kota pantai Sihanoukville, itu lebih terlihat seperti pusat perbelanjaan besar daripada tempat perjudian.
Dengan satu analisa, kasino tersebut merupakan tanda pembaharuan ekonomi di negara kecil di Asia Tenggara -yang telah berjuang melepaskan diri dari warisan mengerikan Pol Pot dan “medan pembantaian” -itu.
Tapi berkembangnya kasino tersebut menimbulkan kekhawatiran lokal bahwa pembangunan di negara itu telah membuat perubahan yang mengkhawatirkan.
Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan Kamboja telah menunjukkan kenaikan signifikan, didorong oleh peningkatan dramatis dalam modal investasi, yang telah meningkat dua kali lipat dari $ 3,6 miliar (atau setara Rp 36 triliun) di tahun 2016 menjadi $ 6,3 miliar (atau setara Rp 63 triliun) tahun lalu.
Sekitar $ 5,3 miliar (atau setara Rp 53 triliun) dari uang itu berasal dari kepentingan China, menurut komentar dari wakil sekretaris Dewan Investasi Kamboja.
Warga setempat mengeluhkan tentang kesepakatan tanah yang licik yang menguntungkan perusahaan China dan menimbulkan akuisisi tak terduga atau paksa.
Kepentingan China yang tumbuh
Saat berjalan-jalan di pantai Sihanoukville baru-baru ini, saya dipaksa untuk melewati ladang sampah: kios kayu yang ditinggalkan, perabotan rusak dan peralatan makanan dan minuman yang dibuang.
Di balik tempat itu, terdapat pagar konstruksi hijau yang baru didirikan, dan di luar itu, ada adegan pembongkaran.
Akhir tahun lalu, pedagang lokal secara tiba-tiba dipaksa untuk menutup toko untuk membuat ruang bagi proyek konstruksi bertingkat baru yang didanai China.
Seorang pemilik restoran sekarang dipaksa untuk menjual makanan dari garasi rumahnya, yang terselip di jalan belakang yang berkelok-kelok.
Bagian bawah rumahnya yang sederhana dan ditinggikan penuh dengan kulkas, freezer dan peralatan memasak komersil.
Pada bulan Januari, meningkatnya permusuhan terhadap masuknya uang dan pengaruh China membuat gubernur provinsi setempat mengajukan banding langsung ke Pemerintah Pusat di Phnom Penh.
Gubernur Yun Min mengirim Menteri Dalam Negeri laporan tiga halaman yang, antara lain, mencatat keluhan warga lokal mengenai perilaku dan pengaruh kepentingan China di kota resor itu.
Langkah tersebut mendorong pengakuan langka dari Kedutaan Besar China bahwa “sejumlah kecil warga [China] berpendidikan rendah” telah melanggar hukum di Kamboja.
Duta Besar China, Xiong Bo, menolak anggapan bahwa pertumbuhan investasi modal China yang pesat di Kamboja terkait dengan pencucian uang.
Namun, ia dilaporkan terus memberi tahu sebuah konferensi media: “Jika berita tentang pencucian uang berlaku untuk investasi China di Kamboja, China secara ketat menentang tindakan tersebut dan pasti akan mengambil tindakan terhadap kasus tersebut.”
Kasino hanya untuk warga asing
Hal lain yang menambah ketidaksenangan warga lokal adalah rasa imperialisme budaya.
Warga Kamboja dilarang oleh pemerintah mereka untuk berjudi, jadi kasino tersebut benar-benar khusus untuk orang asing, dan seringkali dijalankan oleh warga negara asing.
Dan banyak perusahaan membuat sedikit usaha untuk menyesuaikan diri dengan budaya lokal.
Tak ada sedikitpun nuansa Kamboja dari resor Jin Bei yang mewah, kompleks kasino dan hotel berlisensi terbesar di Sihanoukville.
Tempat ini dilengkapi dengan masakan Mandarin dan menawarkan masakan China di restorannya.
Tapi seberapa seriusnya kekhawatiran tersebut diperhatikan oleh Pemerintah Pusat di Phnom Penh bisa diperdebatkan.
Korupsi di Kamboja bersifat endemik.
Kamboja berada di urutan 161 dalam Indeks Persepsi Korupsi 2017 yang dikeluarkan lembaga Transparency International -masuk di antara 20 negara paling korup di Bumi.
Dan ada banyak kekayaan pribadi yang bisa didapat oleh orang-orang Kamboja yang berpendidikan tinggi yang ingin menjamu kepentingan asing.
Pada tahun 2016, organisasi transparansi yang berbasis di Inggris, Global Witness, menerbitkan sebuah laporan investigasi yang menuduh Perdana Menteri Hun Sen dan keluarganya mengumpulkan keuntungan pribadi dari sejumlah perusahaan senilai lebih dari $ US200 juta (atau setara Rp 2 triliun).
Pada tanggal 11 Januari, bersamaan dengan dikirimnya laporan Gubernur Yun Min ke ibu kota, pemerintah di Phnom Penh menjamu kunjungan resmi Perdana Menteri China, Li Kequiang.
Dalam kunjungan tersebut, Perdana Menteri Li dan Perdana Menteri Hun Sen menandatangani serangkaian 19 Memorandum of Understanding (MoU) bilateral yang mencakup beragam kepentingan seperti kerja sama dalam penelitian padi, pemulihan reruntuhan kuno di Angkor Wat dan pembangunan jalan tol baru antara Sihanoukville dan ibu kota Phnom Penh.
Sambutan Hun Sen atas haduah China juga, sebagian, merupakan gerakan geo-politik.
Berbeda dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa, Beijing tidak memiliki masalah dengan peraturan Hun Sen yang semakin otoriter.
Perdana Menteri, yang telah berkuasa sejak 1985, itu dijadwalkan menghadapi Pemilu akhir tahun ini, namun November lalu ia berhasil menekan Mahkamah Agung Kamboja untuk membubarkan partai oposisi utama, Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP).
Langkah yang dianggap berupaya menjamin kemenangannya itu muncul di jajak pendapat nasional pada bulan Juli, dan telah dijelaskan oleh Komisi Ahli Hukum Internasional sebagai “teater politik”.
Dua bulan sebelum itu, pemerintahan Hun Sen memenjarakan pemimpin CNRP, Kem Sokha, atas tuduhan pengkhianatan, menuduh ia diam-diam merencanakan sebuah kudeta dengan dukungan Amerika.
Australia didesak memikirkan kembali hubungan dengan Kamboja
Bagi bangsa Kamboja dan rakyatnya, keberpihakan Hun Sen terhadap China membuat negara ini semakin tunduk pada keinginan China dan selanjutnya mengisolasinya dari donor Barat yang ada sejak lama.
AS sekarang telah memberi isyarat bahwa pihak mereka akan memotong dana bantuan untuk menanggapi manuver politik terbaru Hun Sen.
Sosok oposisi senior yang diasingkan, Mu Sochua, telah mendesak Australia untuk juga memikirkan kembali hubungannya dengan Phnom Penh, menjelang konferensi ASEAN akhir pekan ini di Sydney – sebuah pertemuan yang akan dihadiri Hun Sen.
“Kebijakan Australia selalu terlibat dengan Hun Sen,” katanya kepada ABC.
“Keterlibatan selama 25 tahun terakhir ini belum menunjukkan apa-apa selain memperkuat kekuasaan Hun Sen.”