Palmer Keen Rekam dan Dokumentasikan Musik Tradisional Indonesia
Dia adalah warga Amerika Serikat dan sebelumnya hanya mengetahui bahwa musik dari Indonesia hanyalah gamelan. Kini dia melakukan perjalanan ke berbagai tempat di nusantara untuk merekam dan menulis mengenai musik-musik tradisional yang hampir punah dan menyebarkannya di media sosial.
Orang itu adalah Palmer Keen yang sekarang tinggal di Yogyakarta. Websitenya Aural Archipelago sejauh ini sudah merekam lebih dari 100 musik tradisional Indonesia.
Palmer Keen berada di Melbourne pekan lalu, bersama dengan rombongan budaya dari Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, yang mendatangi beberapa kota di Australia untuk mempertunjukkan alat musik bundengan.
Selain memberikan cerita mengenai bundengan sebagai alat musik yang menurutnya sangat unik yang pernah dilihatnya di Indonesia dan bahkan di dunia, Palmer Keen juga menjelaskan proyek pribadi yang dilakukannya dengan beberapa komunitas masyarakat Indonesia di Australia.
Wartawan ABC Sastra Wijaya berbicara dengan Palmer Keen di kampus Monash University dimana sebelumnya diselenggarakan simposium satu hari guna membicarakan keunikan bundengan, dan kemudian dilanjutkan dengan penampilan bundengan oleh beberapa seniman asal Wonosobo.
Bundengan adalah alat musik tradisional yang dimainkan di sebuah tudung bambu yang digunakan oleh petani itik di dua kabupaten di Jawa Tengah Wonosobo dan Temanggung.
Tudung ini secara tradisional digunakan untuk melindungi petani dari cuaca, entah itu sengatan matahari ataupun hujan.
Namun di beberapa bagian tudung seperempat lingkaran tersebut dipasang senar bambu, dan bagi mereka yang ahli menggunakannya, bisa mengeluarkan berbagai suara menyerupai perangkat gamelan.
Bundengan merupakan salah satu alat tradisional musik Indonesia sudah direkam oleh Palmer Keen dan masuk dalam situsnya aural archipelago.
Bagaimana sejarahnya, sampai Palmer Keen bisa datang ke Indonesia dan kemudian terlibat dalam proyek merekam berbagai musik tradisional Indonesia tersebut?
“Ketika menjadi mahasiswa di Universitas California di Santa Cruz antaar tahun 2009-2011, di kampus saya ada seperangkat musik gamelan. Di situ dimulai ketertarikan saya akan musik Indonesia.” kata Palmer yang kemudian lulus sebagai sarjana sastra.
Setelah selesai kuliah, Palmer Keen tertarik untuk mencari tahu lebih banyak mengenai musik Indonesia dan kemudian mendapatkan pekerjaan sebagai guru bahasa Inggris di Bandung (Jawa Barat).
“Ketika saya datang, saya tidak bisa berbahasa Indonesia, tidak kenal siapapun, tidak tahu banyak mengenai Indonesia.” katanya.
Palmer melakukan perjalanan sebagai backpacker dengan membawa alat rekaman yang digunakananya untuk mengabadikan musik-musik tradisional Indonesia.
“Saya pada awalnya tidaklah sengaja mencari musik-musik yang sudah hampir punah. Namun kalau dilihat musik-musik tradisional ini memang banyak yang sudah hampir punah.”
“Musik seperti gamelan misalnya asal Sunda, Bali atau Jawa bisa dilihat dimana-mana, jadi saya tidak berusaha untuk merekam lagi karena sudah ada rekamannya di mana-mana.” kata Palmer Keen lagi.
Bagaimana pemuda asal Amerika Serikat ini kemudian bisa menemukan musik tradisional dan orang-orang yang masih memainkannya?
“Internet. Biasanya sebelum melakukan perjalanan ke satu daerah saya akan mencari tahu dari internet, musik apa yang ada di daerah tersebut, dan kemudian mencari kontak.”
“Biasanya mereka dengan senang hati kemudian bersedia bertemu.” kata Palmer.
Sejak tiba di Indonesia di tahun 2012, Palmer mengatakan dia sudah melakukan perjalanan ke lebih 20 provinsi untuk melakukan rekaman dan mencari informasi mengenai berbagai musik tradisional yang ada.
Yang uniknya sejauh ini Palmer melakukannya atas biaya sendiri.
“Saya sudah merekam lebih dari 100 musik, dan saya kira masih ada ratusan lainnya di Indonesia yang belum terekam. Mungkin kalau saya menghabiskan seluruh hidupku untuk melakukan hal tersebut, masih ada saja yang bisa terus saya lakukan.” tambahnya.
Selain menampilkan informasi mengenai musik tradisional ini di websitenya, Palmer Keen juga memiliki akun FB yang sejauh ini sudah memiliki 16 ribu pengikut.
“Kebanyakan interaksi yang saya dapatkan dari media sosial. Misalnya kalau saya menampilkan musik asal Sumatera, maka saya akan mendapat banyak kontak baru dari sana.”
“Namun sebenarnya yang lebih banyak memberikan apresiasi juga adalah orang-orang yang berada di luar Indonesia. Banyak yang tertarik dengan keragaman musik Indonesia.” katanya lagi.
Menurut Palmer Keen, merekam dan mengumpulkan informasi mengenai musik-musik tradisional Indonesia dan bahkan dunia tidaklah banyak dilakukan, meski ide tidak baru.
“Di tahun 1990-an, ada warga Amerika bernama Philip Yampolsky yang pernah merekam musik-musik Indonesia ke dalam 20 album rekaman.” kata Palmer.
Menurut Palmer apa yang dilakukannya sekarang menggabungkan dokumentasi dengan internet dan media sosial merupakan hal yang unik karena orang lain bisa mendapatkan akses lebih cepat.
“Di bagian dunia lain saya tahu ada beberapa orang yang juga melakukannya. Saya tahu misalnya di Afrika ada Christopher Kirkley yang merekam musik di benua tersebut dalam proyek bernama Sahel Sounds.”
“Juga ada seorang warga Perancis bernama Laurent Jeanneau, dengan proyeknya bernama Kink Gong melakukan hal yang sama merekam musik di Asia Tenggara.” katanya lagi.
Palmer Keen mengatakan bahwa dalam pengalamannya selama beberapa tahun terakhir bertemu dengan seniman Indonesia dalam proyek aural archipelago ini telah memperkaya dirinya sendiri.
Dia sekarang tidak lagi menjadi guru bahasa Inggris, dan dua minggu lalu menikahi perempuan asal Indonesia dan sekarang tinggal di Yogyakarta.
Dengan kehidupan baru ini, Palmer Keen masih akan terus melanjutkan proyeknya, apakah dia akan terlibat bila mendapat tawaran dari pemerintah Indonesia misalnya?
“Selama ini saya memang menggunakan biaya sendiri, dan itu memberikan kebebasan untuk melakukan apa yang saya ingin lakukan.”
“Saya tentu tidak keberatan bila ada yang mau membantu biaya, namun di sisi lain, kalau kita terlibat dengan lembaga pemerintah misalnya, pasti ada birokrasi dll, dan kemungkinan kita tidak bisa mengontrol apa yang kita lakukan.” katanya.