Australia Ingin Jadi 10 Besar Eksportir Senjata Dunia
Sejumlah kelompok bantuan mengkritik rencana Pemerintah Australia untuk meningkatkan ekspor pertahanan secara dramatis, menuduh kubu Koalisi berkontribusi pada perlombaan senjata global.
Pemerintah Australia telah mengumumkan bahwa pihaknya ingin agar Australia menjadi salah satu dari 10 eksportir top dunia, sembari mengungkap skema pinjaman baru untuk perusahaan pertahanan yang ingin menjual produk mereka ke luar negeri.
Ekspor pertahanan Australia bernilai sekitar 2 miliar dolar (atau setara Rp 20 triliun) per tahun -tapi Menteri Industri Pertahanan, Christopher Payne, mengatakan ia ingin jumlah itu lebih tinggi.
“Kami menjual produk pertahanan yang bagus, namun kami belum benar-benar membawanya ke tahapan lebih lanjut untuk bersaing secara serius di tingkat global demi menjadi bagian dari apa yang disebut perekonomian dunia senilai $ 1,5 triliun (atau setara Rp 15 kuadriliun),” katanya.
“Kami memiliki reputasi tinggi untuk kualitas dan kapabilitas -kami butuh untuk mengubahnya menjadi produk dan jasa.”
Tapi Marc Purcell dari Dewan Pembangunan Internasional Australia mengatakan, pengumuman itu mengesampingkan klaim Pemerintah bahwa mereka mementingkan perdamaian dan stabilitas internasional.
“Dalam lingkungan internasional yang sangat tidak menentu di mana konflik sangat mungkin terjadi, kami seharusnya menggunakan upaya diplomatik kami untuk mewujudkan perdamaian,” pendapatnya.
“Kami seharusnya tidak terjun ke dalam dunia pemasaran senjata yang membunuh, memusnahkan dan menimbulkan penderitaan serta kerusakan besar terhadap masyarakat di seluruh dunia.”
Menteri Pyne membantah kritik tersebut dengan menekankan bahwa Australia akan fokus pada peningkatan ekspor ke sekutu terdekat termasuk Selandia Baru, Kanada, Amerika Serikat dan Inggris.
Dan ia bersikukuh bahwa kendali ekspor senjata saat ini tak akan dilonggarkan.
“Tentu saja, tak ada senjata apapun yang akan dijual ke negara manapun kecuali persyaratan yang paling ketat dipenuhi lewat proses perizinan,” sebutnya.
“Strategi ekspor pertahanan tak dirancang untuk masuk ke pasar yang tidak kami kehendaki. Itu dirancang untuk memaksimalkan pasar di mana kami mampu memanfaatkan peluang sebaik mungkin.”
Tapi Kubu Koalisi Australia juga mengamati pasar senjata yang bertumbuh di Timur Tengah dan Asia.
Purcell mengatakan, hal itu sungguh memprihatinkan.
“Timur Tengah adalah pusat konflik dan kekerasan. Kami tak mau senjata asal Australia dijual ke sana,” utaranya.
Skema pinjaman 3,8 triliun dolar
Badan kredit ekspor Australia (EFIC) telah membantu sejumlah perusahaan pertahanan untuk mengakses pinjaman bank.
Tapi Pyne mengatakan banyak bank “sangat menghindari risiko” dan Pemerintah harus bersedia untuk masuk dan memberi kredit saat perusahaan membutuhkan bantuan untuk meningkatkan ekspor.
“Ada beberapa karakteristik tertentu dari industri pertahanan -khususnya di sejumlah pasar seperti Timur Tengah dan Asia -di mana bank tak antusias memiliki fasilitas pinjaman,” ujarnya.
“Terkadang bank-bank tak mau mendekati industri seperti itu sementara tak ada alasan mengapa EFIC tak bisa menyediakan fasilitasnya bagi ekspor pertahanan.”
Kubu Koalisi Australia juga mendirikan kantor ekspor pertahanan Australia agar bekerja sama dengan Departemen Pertahanan dan Austrade (lembaga perdagangan Australia) untuk membentuk tim yang mengimplementasikan strategi itu.
Tim Advokasi Ekspor Pertahanan Australia yang baru akan membantu mengkoordinasikan upaya itu.
Politisi Partai Buruh, Anthony Albanese, mengatakan ia mendukung strategi baru itu tapi mempertanyakan fokus pihak Pemerintah dalam bidang pertahanan.
“Ini adalah Pemerintah yang terlihat mengatakan bahwa produksi mobil, pengolahan canggih, penggunaan teknologi pintar, teknologi terbarukan, semuanya buruk -tapi jika itu pertahanan -semuanya baik,” sebutnya.
Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm memperkirakan bahwa Australia adalah eksportir senjata terbesar ke-20 dunia selama periode 2012-2016.