Pengalaman dari Konferensi Mamalia Internasional di Perth
Heru Handika baru saja menyelesaikan pendidikan S2 di jurusan biologi di University of Melbourne. Baru-baru ini dia menyampaikan salah satu hasil penelitian di Kongres Mamalia International di Perth (Australia Barat), bukan mewakili Indonesia tetapi mewakili universitasnya. Berikut tulisan Heru Handika untuk Australia Plus.
Ada yang menarik ketika saya mengikuti the International Mammals Congress di Perth, 9-16 Juli 2017 lalu. Ini merupakan pertemuan sekali empat tahun yang melibatkan ahli-ahli mamalia dari berbagai penjuru dunia. Konferensi ini dihadiri lebih dari 750 orang dari lebih 50-an negara.
Namun, sangat disayangkan tak ada bendera Indonesia muncul dalam daftar negara peserta.
Apakah kita hanya bisa nyinyir di sosial media? Padahal konferensi adalah panggung yang tepat bagi para peneliti untuk nyinyir masalah kepakarannya. Ini juga menjadi ajang aktualisasi bidang keilmuan yang ditekuni.
Saat daftar negara peserta muncul, saya hanya bisa berbisik ke teman saya mahasiswa Australia, “Mereka lupa bahwa saya ada di sini”.
Saya tidak bisa berbuat banyak. Nama saya terdaftar berasal dari institusi Australia. Tidak etis juga mendaftarkan diri dari institusi Indonesia.
Karena hingga tulisan ini ditulis saya belum terdaftar di satu pun institusi di Indonesia. Memang, untuk bisa memasuki institusi Indonesia birokrasinya juga tidak gampang.
Jadi, kemungkinan saya menjadi satu-satunya orang Indonesia di konferensi tersebut. Atau mungkin ada orang Indonesia lain yang hadir yang kasusnya sama seperti saya.
Saya tidak mau berspekulasi kenapa peneliti dari institusi Indonesia tidak mengikuti konferensi tersebut.
Padahal lokasi konferensinya di Australia yang bertetanggaan langsung dengan Indonesia.
Negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand juga masuk dalam daftar negara peserta. Secara sistem biologi, termasuk keanegaraman mamalia yang menjadi topik konferensi ini, kita dianugrahi yang jauh lebih baik dari mereka.
Dari Sabang sampai Merauke minimal ada tiga regional persebaran hewan, termasuk mamalia. Banyak hal yang bisa dikaji sebagai bangsa yang dianugrahi hutan tropis.
Saya sendiri menghadirinya bukan hanya untuk presentasi. Bahkan pada tahap sekarang saya tidak terlalu mempedulikan presentasi saya.
Saya berusaha melakukan yang terbaik, tetapi fokus menghadiri konferensi ini lebih dari sekadar presentasi hasil penelitian saya.
Pengalaman paling berharga bagi saya di konferensi ini adalah kita seperti berada di dalam sebuah miniatur dunia.
Presentasi diadakan secara paralel. Dalam satu ruangan terkadang presentasinya dari hasil penelitian dari berbagai penjuru dunia.
Presentasi pertama misalnya tentang mamalia Afrika, yang berikutnya bisa jadi tentang mamalia Asia.
Bahasannya tentu lebih kompleks dari yang saya ceritakan di sini. Namun, secara umum, konteks konferensi yang global membuat kita bisa belajar tentang topik spesifik yang kita minati dari berbagai macam perspektif.
Dengan menempatkan diri di ranah global, kita juga melihat permasalahan di bidang kita dalam konteks global. Semua peneliti mamalia tahu.
Persebaran mamalia dan permasalahannya terkadang tidak mengenal batas administrasi akal-akalan manusia.
Menentukan status konservasi mamalia dunia
Saya juga mendapat kesempatan untuk mengikuti pertemuan tertutup IUCN Small Mammal Specialist Group, sebuah kelompok yang fokus utamanya untuk menentukan status konservasi mamalia dunia.
Pertemuan ini hanya untuk peserta yang diundang khusus oleh panitia. Di sini saya berada di antara para peneliti dan professor dari berbagai kampus ternama dunia.
Banyak pelajaran berharga tentang pemahaman kita mengenai masalah konservasi mamalia kecil. Hewan yang termasuk mamalia kecil, misalnya tikus, tupai, bajing, cecurut, dan sejenisnya.
Dalam presentasi sendiri saya mempresentasikan tentang thesis S2 saya. Di University of Melbourne, nilai thesis yang saya dapatkan sangat baik, termasuk yang tertinggi di laboratorium pembimbing saya.
Bahkan seorang teman di lab mencoba meyakinkan saya, “Sulit bagi kami untuk mengejar nilaimu”.
Namun, di konferensi ini, dibandingkan banyak penelitian lain, saya semakin sadar bahwa penelitian saya baru seujung kuku. Ini juga semakin meyakinkan saya bahwa nilai itu relatif.
Banyak penelitian lain yang dipresentasikan berasal dari penelitian puluhan tahun. Ternyata memang di atas langit masih ada langit.
Tak bisa dipungkiri motivasi juga kadang naik-turun. Bertemu dengan orang-orang yang punya antusias meneliti yang tinggi di konferensi ini, selain bisa membangun jaringan pertemanan, juga bisa untuk membangun motivasi untuk terus meneliti.
Ini juga kesempatan untuk mengupgrade kualitas penelitian. Saya sendiri sudah melihat hasil penelitian jangkat panjang di konferensi tersebut. Sangat menarik.
Banyak fenomena ilmiah yang mustahil bisa didapatkan jika hanya dilakukan dengan penelitian jangka pendek. Misalnya mengenai pola-pola distribusi hewan dipengaruhi perubahan habitat yang banyak manfaatnya dalam manajemen sumber daya alam.
Saya juga banyak belajar pengelohan data tingkat tinggi. Teknik-teknik yang digunakan dapat dijadikan acuan untuk penelitian sendiri.
Selalu mengupdate kemampuan mengolah data merupakan salah satu cara agar penelitian kita setara dengan peneliti dunia.
Untuk mengikuti konferensi ini, saya menghabiskan hampir seluruh tabungan saya selama di Australia — yang memang tidak banyak. Padahal tidak ada sertifikatnya.
Dana konferensi yang diberikan LPDP, saya habiskan tahun lalu untuk menghadiri the American Society of Mammmalogists Meeting di Minneapolis (Amerika Serikat) Juli 2016. Sedangkan untuk mendapatkan travel grant dari konferensi sulit bagi mahasiswa yang kuliah di negara maju.
Namun, pengorbanan materi yang saya keluarkan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan manfaat yang saya dapatkan. Uang bisa dicari nanti jika kita punya ilmu. Tapi, kesempatan ini jarang datang dua kali.
*Heru Handika menyelesaikan pendidikan S2 di jurusan biologi di University of Melbourne, dan sebelumnya menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Andalas, Padang.