Warga Darwin Kisahkan Kenangan Buruk Masa Kecilnya di Timor Barat
Amye Un pertama kali tiba di Australia setelah meninggalkan Timor Barat, Indonesia, membawa sebuah koper berisi nasi.
Menurutnya, dia meninggalkan kampungnya itu untuk menghindari kehidupan dengan kekejaman yang tak terbayangkan. Namun itulah hal yang selalu ingin dia bawa.
Amye menganggap negara baru yang aneh baginya ini, secara geografis dekat tapi jauh dari budayanya, hanya memiliki roti. “Karena [saya pikir] orang kulit putih tidak makan nasi,” ujarnya.
Saat ditemui ABC di restorannya di Kota Darwin, Amye tampak sedang mengaduk panci berisi sup laksa yang menjadi keahliannya. Pikiran perlahan kembali ke masa lalu di kampungnya, masa yang dia tak terlalu suka mengingatnya kembali.
Tahun 1965 di Indonesia ditandai dengan pembantaian terhadap sekitar 500.000 orang, sebagai tindakan pemberantasan komunisme, yang dipicu oleh percobaan kudeta yang gagal dan menyebabkan kematian enam jenderal Angkatan Darat RI.
Para korban pembunuhan massal itu dituduh sebagai komunis dan penentang rezim Suharto yang sedang mengukuhkan diri saat itu.
Pertumpahan darah tersebut merupakan salah satu pembunuhan massal terbesar yang pernah ada, dan Amye tidak dapat melupakan apa yang menurutnya pernah dilihatnya.
Disiksa, dikubur hidup-hidup
Sebagai salah satu anak dari 13 bersaudara yang lahir dari keluarga miskin, Amye dibesarkan di sebuah desa di Timor Barat.
“Ketika masih kecil, saya ingat ayah dan ibuku, tidak punya apa-apa,” katanya seraya mendeskripsikan rumahnya yang berlantai tanah dan beratapkan daun kelapa yang dibangun ayahnya.
Setiap pagi ibu Amye bangun pukul dua untuk membakar arang dan membuat kue yang akan dijual Amye dan kakaknya sebelum sekolah. “Agar bisa membeli buku atau pensil,” katanya.
Amye mengaku harus berjalan 7 kilometer ke sekolah. “Tidak ada jalan, kami harus melewati gunung,” katanya. Ketika kembali ke rumah, ibunya akan menyiapkan sup encer dengan tiga telur untuk mengisi perut anak-anaknya.
Amye memiliki beberapa kenangan indah tentang masakan ibunya itu. Tapi dia mengaku ada beberapa bagian masa kecilnya yang dia harap bisa dilupakannya.
Di malam ketika tentara pertama kali tiba di desa tersebut pada tahun 1965 dan mulai mengetuk pintu rumah warga, Amye mengaku disuruh bersembunyi di bawah tempat tidur bersama saudaranya yang lain.
Amye kini memang telah meninggalkan Timor Barat namun pikirannya tetap di sana, di sebuah bukit dimana dia katanya melihat mayat dimasukan ke kuburan massal dan dikubur hidup-hidup, setelah disiksa dan dimutilasi hingga tidak dapat dikenali lagi.
Ayahnya dipenjara tanpa tuduhan apapun selama 45 hari untuk diinterogasi sebelum akhirnya dibebaskan. Amye mengaku ada seorang tentara yang memukul kepala ibunya dengan gagang senjatanya, namun keluarganya selamat dari kekerasan tersebut.
Amye menceritakan bahwa dia dan saudaranya mendengar teriakan orang dari atas truk, meminta tolong dan pengampunan saat dibawa ke pegunungan untuk dibunuh. Dia mengatakan, ada juga korban yang dibiarkan mati di jalanan, dan tubuhnya membusuk oleh belatung.
“Jadi sekarang [jika] saya diminta ke tempat sampah, jika saya melihat belatung, tubuhku langsung mati rasa,” dia bergidik.
“Saya tidak pernah membawa sampah ke tong sampah,” tambahnya.
Menemukan kebebasan dan kebahagiaan
Setelah selamat dari pembantaian tersebut, di awal usia 20-an, Amye yang masih tinggal di Indonesia saat itu mengaku hamil dari tunangannya.
Tapi, katanya, dua minggu sebelum pernikahan mereka, Amye mendengar kabar pria itu juga telah menghamili wanita lain. Amye pun, menurut pengakuannya, mencoba meninggalkan pria tersebut.
Amye mengatakan bahwa pria itu mencoba membunuhnya.
Dia pun melarikan diri ke Australia dengan bayinya dan coba membangun kembali hidupnya kembali. Amye membuka restoran Rumah Laksa di Kota Darwin, pada tahun 2007. Restoran ini dia kelola bersama anaknya, dan dia menyajikan hidangan favorit ibunya.
“Saya suka memasak sesuatu yang mengingatkanku pada ibu,” kata Amye, sembari memecahkan telur ke dalam wajan berisi ramuan.
Usaha yang dirintisnya ini awalnya berjalan lambat. Namun restorannya itu kemudian berhasil dengan menjual ayam bakar mengikuti resep ibunya.
Menurut pengakuannya, sekeras apapun berusaha, Amye tak bisa melupakan kenangan mengerikan yang kadang terngiang dalam pikirannya secara di malam hari. Tapi yang dia inginkan sekarang adalah melupakan masa lalu.
“Saya beruntung bisa datang ke Australia,” katanya. “Saya memiliki kebebasan dan merasakan kebahagiaan di sini.”
Diterbitkan Senin 31 Juli 2017. Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.