ABC

Mengenal Ritual Pemeluk Mandaean, Salah Satu Agama Tertua Dunia

Mungkin bukan Sungai Tigris atau Eufrat, tapi Sungai Nepean di Sydney Barat sangat penting bagi para penganut agama tertua dunia di Australia.

Berawal 2.000 tahun yang lalu di Mesopotamia – kini, wilayah Irak dan Iran, komunitas Mandaean memuja Yohanes Pembaptis, yang mereka sebut Yehyea Yahana (Yahya ibn Zakariyya), serta kekuatan pemurnian air.

Baptisme, atau masbuta, adalah ritual utama dari keyakinan gnostik (mencampurkan berbagai ajaran agama) ini. Tak seperti umat Kristen, pemeluk Mandaean bisa dibaptis ratusan, bahkan ribuan kali sepanjang hidup mereka.

Diperkirakan ada sekitar 60.000 sampai 70.000 pemeluk Mandaean di seluruh dunia. Di Australia jumlahnya sekitar 10.000, sekitar setengahnya tinggal di atau dekat pinggiran barat kota Sydney.

Pekan lalu adalah perayaan Kahshuzahly, atau Malam Tahun Baru Mandaean, dan pemeluk Mandaean di seluruh dunia berbondong-bondong ke Sungai Nepean di kawasan itu untuk upacara khusus.

Anwar Hasan, putri seorang imam lokal berusia 13 tahun, adalah satu dari 100 pemeluk Mandaean yang hadir di Sungai Nepean.

Baptisme, katanya, adalah kesempatan untuk membersihkan dan menyegarkan hidup dan jiwa seseorang.

“Kami biasanya dibaptis di sungai karena segar dan, seperti kata mereka, mengalir – dimana kehidupan selalu mengalir. Kami memakai baju warna putih karena warnanya murni. Putih mewakili iman, putih mewakili pembersihan,” jelasnya.

Menyusul dilakukannya baptisme, pemeluk Mandaean berdoa dalam dialek Aramaik Timur kuno mereka, yakni Mandaik.
Menyusul dilakukannya baptisme, pemeluk Mandaean berdoa dalam dialek Aramaik Timur kuno mereka, yakni Mandaik.

ABC RN: Siobhan Hegarty

Setelah upacara, pemeluk Mandaean kembali ke rumah selama 36 jam, waktu yang dibutuhkan bagi “sang pemilik roh” untuk menciptakan dunia dan manusia pertama, Adam.

“Ketika roh itu masuk ke dalam dirinya, dibutuhkan 36 jam untuk penciptaan, [jadi] 36 jam juga bagi kami untuk tinggal di rumah,” Anwar menjelaskan.

“Dan selama jam-jam tersebut, kami mengajarkan ajarannya, kami melanjutkan jejaknya.”

Puasa juga merupakan kunci dari pengalaman ini, namun kata itu berarti lebih dari sekadar makanan.

“Ketika berpuasa, kami tidak bermaksud puasa makanan dan air, maksud kami berpuasa dari hawa nafsu,” kata Anwar.

“Jadi berpuasa dengan mulut, kita tidak boleh berbohong, atau berpuasa dengan mata, kita tidak akan melihat kesalahan, berpuasa dengan kaki, kita tidak akan berjalan ke jalan yang salah,” ujarnya.

“Itulah yang kami maksud dengan puasa. Banyak orang berpikir kami berpuasa dari makanan dan air. Makanan dan air adalah bagian dari itu, tapi belum semuanya.”

Kamran Tahir berbicara dengan seorang warga.
Kamran Tahir berbicara dengan seorang warga.

ABC News: Claire Moodie

Minoritas yang tertindas

Penindasan terhadap pemeluk Mandaean sejak kemunculan – dan jatuhnya – Saddam Hussein terdokumentasikan dengan baik.

Monther Amer, anggota Asosiasi Mandaean Sabian di kawasan Liverpool di NSW mengatakan invasi AS ke Irak pada tahun 2003 mengakibatkan peningkatan serangan terhadap para pemeluk Mandaean.

“Setelah tahun 2006, para teroris membutuhkan uang kami,” kenangnya.

“Mereka membunuh banyak pemeluk Mandaean, menculik warga kami, membawa para perempuan. Dan karena kami tak memiliki wilayah khusus di Irak, tak ada yang bisa melindungi warga Mandaean.”

Monther percaya, pola pikir damai para pemeluk Mandaean telah menjadikan mereka sebagai sasaran empuk.

"Kami tak bisa membunuh siapapun. Agama kami mengatakan ‘Anda tak bisa membunuh siapapun’. Tak hanya manusia, juga hewan, kami tak bisa memotong pohon. Ini adalah komunitas yang sangat damai."

Sebagian besar pemeluk Mandaean di Irak melarikan diri ke kamp-kamp pengungsian, dan sejak saat itu dipindahkan ke Australia, Eropa dan Amerika Serikat.

Pemimpin kaum Mandaean seluruh dunia, Rishema Satar Jabar Helo.
Pemimpin kaum Mandaean seluruh dunia, Rishema Satar Jabar Helo.

ABC RN: Siobhan Hegarty

Anwar, yang keluarganya pindah ke Australia pada tahun 2003, meyakini, penganiayaan terhadap pemeluk Mandaean telah melukai kepercayaan para pemeluknya sendiri.

“Yang menyedihkan adalah banyak orang tak berpikir kami ada, banyak orang tak percaya pada kami,” katanya.

“Pemeluk Mandaean sendiri, karena masalah itu, sebenarnya takut menjadi pemeluk Mandaean. Mereka tak bangga menjadi seorang pemeluk Mandaean karena mengira mereka tak berharga dan mereka sendirian, tapi nyatanya tidak.”

Aturan yang ketat di seputar pernikahan – pemeluk Mandaean harus menikah dengan orang seagama – juga telah berkontribusi pada menurunnya jumlah pemeluk agama ini. Beberapa pengikut khawatir bahwa Mandaeisme dalam bahaya kepunahan.

Rishmah Salah Choilli, pemimpin komunitas Mandaean di Australia, memahami kekhawatiran ini.

“Kami takut komunitas ini akan menjadi lebih kecil dan lebih kecil,” katanya melalui seorang penerjemah.

“Kami, semua pemeluk Mandaean, perlu menjaga hubungan kami dengan agama ini.”

Dibutuhkan sekumpulan pria untuk mengeluarkan kakek Anwar dari sungai.
Dibutuhkan sekumpulan pria untuk mengeluarkan kakek Anwar dari sungai.

ABC RN: Siobhan Hegarty

Pengalaman untuk semua

Di tepi Sungai Nepean, deretan pemeluk Mandaean yang berjubah berjajar untuk perendaman di sungai yang dingin.

Beberapa di antaranya membawa panci dan wajan, lainnya membawa botol kaca. Seorang pria membawa pisau berkarat – favoritnya untuk membuat (makanan) tabouleh.

Barang-barang ini, yang terbuat dari bahan alami, juga menjalani pembaptisan, pemurnian untuk penggunaan di masa depan.

Anwar memutuskan untuk duduk di luar pembaptisan ini -ia merasa kedinginan -tapi kakek dan neneknya, keduanya duduk di kursi roda, turun ke sungai.

Sekelompok pria, beberapa mengenakan kacamata hitam, meringkuk di sekitar para tetua untuk memastikan kursi roda mereka tetap mengambang.

Perpaduan teknologi modern dengan ritual kuno ini menyimpulkan apa yang disebut pemeluk Mandaean di tahun 2017.

“Saya sebenarnya cenderung lupa bahwa saya memiliki ponsel pintar dan lupa bahwa saya tinggal di abad ke-21,” kata Anwar.

Menyelimuti neneknya -yang telah dibaptis -dengan selimut hangat, ia mengatakan bahwa dirinya dengan senang hati berdiri di antara dunia kuno dan modern.

“Saya sangat taat kepada agama saya, saya sangat mencintainya, saya bahkan lupa bahwa dunia ini semakin memudar.”

Tiba-tiba, sebuah ponsel berdering -jingle iPhone yang akrab -dan pemandangan kuno itu terbawa kembali ke abad ke-21.

Diterbitkan Senin 24 Juli 2017. Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.