ABC

Dosen Australia Asal Jepang Terbitkan Buku Soal Indonesia

Sebuah buku berjudul “Kacang Tidak Lupa Kulitnya” yang ditulis oleh Dr Minako Sakai dari University of New South Wales di kampus Canberra (Australia) akan diluncurkan di Indonesia minggu ini. Buku yang berdasarkan penelitian itu bercerita mengenai Identitas Gumay, Islam dan Merantau di Sumatra Selatan.

Dr Minako Sakai sekarang ini menjadi dosen studi Indonesia di UNSW Canberra, dan merupakan seorang antroolog dalam kajian pembangunan dan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara yang sebelumnya menamatkan pendidikan S1 dan S2 dari Universitas Sophia di Jepang, sebelum pindah ke Australia.

Dr Sakai sekarang berada di Indonesia, dan buku yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia (YOI) tersebut akan diluncurkan di Universitas Negeri Yogyakarta, hari Selasa (18/7/2017) dan juga di Solo di IAIN Surakarta hari Rabu (19/7/2017).

Buku berjudul ini merupakan studi etnografis mengenai masyarakat Gumay di Sumatra Selatan, yang dilakukan oleh Minako Sakai selama 20 tahun terakhir.

Gumay adalah salah satu dari sejumlah kelompok etnik berbahasa Melayu yang tinggal di daratan tinggi Sumatra Selatan, yang tradisinya relatif masih belum diketahui secara baik bukan saja oleh peneliti melainkan orang Indonesia pada umumnya.

Dalam percakapan lewat email dengan wartawan ABC Australia Plus Indonesia Sastra Wijaya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris Dr Minako Sakai menjelaskan mengapa dia tertarik untuk melakukan penelitian terhadap masyarakat Gumay tersebut.

“Sebagai antropolog saya tertarik dengan kehidupan warga berbahasa Melayu di Sumatera, dimana penelitian terhadap mereka masih sedikit sekali,” kata Minako.

Di awal penelitiannya di tahun 1980-an, Minako mengatakan dia sedang dalam perjalanan dari Medan ke Sumatra Selatan untuk mencari tempat yang cocok bagi penelitian doktornya.

“Di Palembang, dia mendapatkan sponsor dari Rektor Universitas Sriwijaya ketika itu Prof Amran Halim. Anak Prof Amran juga adalah antropolog dan dia berasal dari Bengkulu, dan menginginkan agar penelitian budaya regional mendapat perhatian,” kata Minako.

Ketika itu, Minako sedang menyelesaikan pendidikan S3 di Australian National University (ANU) di Canberra.

"Saya mendapatkan banyak dukungan dari banyak orang di Sumatra Selatan, termasuk mahasiswa ANU yang berasal dari sana, yang mengatakan mereka sendiri tidak mengetahui budaya sendiri, dan ingin seserang melakukan penelitian untuk mengungkapkanya."

Minako Sakai kemudian menghabiskan waktu 2 tahun di Gumay untuk disertasinya di tahun 2000, dan sejak itu terus melakukan kontak dengan masyarakat setempat dan terus melakukan penelitian mengenai tradisi lokal, yang bercampur dengan modernisasi Islam, dan identitas kesukuan yang diwariskan turun menurun ke sana.

“Karena banyak orang di Sumatra Selatan ingin membaca buku tersebut, maka saya berharap publikasi buku dari Yayasan Obor Indonesia ini akan membantu untuk mengembalikan pengetahuan lokal bagi kawasan setempat. Ini menjadi bagian dari usaha membantu budaya lokal sebagai bagian dari otonomi daerah dan muatan lokal,” kata Minako lagi.

Menurut Minako Sakai, buku Kacang Tak Lupa Kulitnya berusaha menjelaskan pengaruh Islam dan persentuhannya dengan budaya lokal di kawasan regional Indonesia di luar Jawa.

“Penting sekali untuk melihat budaya lokal ini dalam menjalankan Islam sebagai bagian dari usaha memahami Islam Nusantara. Inin bukan mengenai NU atau Muhammadiyah, namun menggambarkan cara tradisional bagaimana pengaruh Islam masuk ke dalam masyarakat Indonesia.” kata Minako lagi.

Buku Minako Sakai mengenai masyarakat Gumay di Sumatra Selatan terbitan 2017
Buku Minako Sakai mengenai masyarakat Gumay di Sumatra Selatan terbitan 2017

Supplied: Yanwardi Natadiputra

Bagaimana sejarah ketertarikannya dengan Indonesia?

“Ketika belajar S1 dan S2 di Universitas Sophia di Tokyo, saya mulai tertarik dengan Indonesia karena dosen pembimbing saya betul-betul suka dengan Indonesia. Pada awalnya ketika S1 jurusan saya adalah Inggris dan Hubungan Internasional, dan saya tidak tahu banyak mengenai Indonesia,” kata Minako.

Baru setelah S2, lewat dosen pembimbingnya Minako mulai mengenal Indonesia, dan bertemu dengan seniman terkenal seperti Rendra dan Iwan Fals.

“Mereka pernah datang langsung ke ruang kuliah kami. Karenanya kemudian saya mulai mengunjungi Indonesia, dan memutuskan menjadi dosen, karena tertarik dengan Indonesia, kajian pembangunan dan antropologi,” tambahnya.

Setelah selesai kuliah S2, Minako memutuskan untuk melanjutkan S3 di Australia, karena di tahun 1990-an, menurutnya, Australia berada di garis terdepan dalam soal kehalian mengenai studi Indonesia di luar Indonesia.

“Di ANU saya mendapat bimbingan dari Prof James Fox dan Prof Anthony Reid dan saya memulai kehidupan di Australia sampai saat ini di Canberra dimana saya menjadi dosen di School of Humanities and Social Sciences at the University of New South Wales, Canberra,” kata Minako yang memiliki suami warga Australia dan memiliki seorang putra tersebut.

Sejak awal ketertarikannya, Minako Sakai sudah berulang kali mengunjungi Indonesia selama 30 tahun terakhir, perubahan apa saja yang dilihatnya terjadi?

“Saya sudah melihat begitu banyak perubahan. Pada awalnya di tahun 1980-an, mencari telepon begitu susah. Namun kemudian bisnis wartel ada dimana-mana, lalu diganti dengan warnet (warung internet) dan sekarang semua orang sudah memiliki HP.”

"Yang saya suka dari Indonesia adalah bahwa warga selalu memiliki solusi kreatif atas masalah yang dimiliki, dan selalu berusaha melihat dari sisi positif."

“Faktor tidak mudah menyerah juga membuat saya kagum dan tentu saja pengaruh agama dalam masyarakat,” tambahnya lagi.

Selain meneliti masyarakat Gumay, Dr Minako Sakai mengatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir, dia juga menaruh perhatian terhadap ekonomi Syariah di Indonesia terutama usaha kecil dan menengah (UKM) yang dilakukan oleh perempuan Muslim Indonesia.

“Ini karena UKM di Indonesia kebanyakan dijalankan oleh perempuan. Ada pendapat kuat yang mengatakan bahwa Islam membatasi pergerakan perempuan pada umumnya, dan saya ingin mengetahui apakah ini benar adanya lewat studi kasus perempuan muslim di Indonesia.”

“Saya bisa mengatakan bahwa Islam Indonesia menunjukkan bahwa Islam bisa mendukung partisipasi ekonomi perempuan, walau tentu saja ada beberapa kondisi budaya yangn harus dipenuhi,” katanya lagi.

Berkenaan dengan UKM ini, Minako Sakai mengatakan dia akan memberikan pidato dalam konprensi mengenai agama dan sistem microfinance bagi masa depan berkelanjutan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta minggu ini.