ABC

Keraguan Soal Indonesia Dibahas di Melbourne

Keraguan akan situasi politik di Indonesia saat ini menjadi salah satu pertanyaan yang diajukan kepada Mantan Ketua DPR RI, Ade Komarudin ketika hadir sebagai pembicara dalam acara Bincang Bincang Masa Depan Indonesia di KJRI Melbourne hari Jumat (7/07/2017).

Melinda, mahasiswi master di bidang hukum dari La Trobe University dalam sesi tanya jawab bertanya apakah sebagai generasi muda Indonesia mereka harus memiliki idealisme atau mengikuti arus.

Melinda sebelumnya mengatakan bahwa dia prihatin dengan pemberitaan media dan sikap yang diambil oleh politisi di Indonesia.

Diantaranya mengenai sikap yang diambil oleh Ade Komarudin, yang walaupun merupakan salah satu politisi yang masih tergolong muda di DPR, memutuskan mengundurkan diri dari Ketua DPR baru-baru ini.

Dalam jawabannya, Ade menjawabnya dengan menceritakan apa yang ia lakukan saat mengundurkan diri dari dari jabatan Ketua Partai Golongan Karya (Golkar).

“Kita harus sabar menghadapi, yang penting sepanjang kita masih benar, jangan pernah takut, Tuhan tidak pernah tidur,” ujarnya.

Ade juga menyinggung soal hak angket DPR terhadap KPK yang sempat menjadi isu politik di Indonesia.

“Saya sejak dulu mendukung adanya lembaga KPK. Secara pribadi saya tidak setuju dengan hak angket kepada KPK, tetapi kemudian saya juga dipanggil menjadi saksi. Itu menjadi salah satu komitmen kita untuk memberantas korupsi.”

Ade Komarudin tampil sebagai pembicara bersama Ishadi Soetopo, Komisaris PT Trans Media, Frans Lebu Raya, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Dian Fatwa dari ABC di acara yang dihadiri sekitar 30 orang, kebanyakan mahasiswa dari Monash University dan sejumlah warga NTT di Melbourne.

Acara yang sejatinya dimulai pukul 14:30 baru dimulai sekitar pukul 15:30 dengan moderator Made Utari Rimayanti, mahasiswi master di bidang kesehatan publik University of Melbourne.

Acara dimulai dengan sambutan dari Ketua Perhimpunan Pelajar Australia Indonesia (PPIA) Monash University, Benazir Komarudin, yang akrab dipanggil Bena, yang juga puteri kedua dari Ade Komarudin.

Bena mengaku jika panitia penyelenggara harus sampai “menodong” ayahnya dan Dian untuk ikut menjadi pembicara menemani Ishadi. Sementara Frans, yang sebelumnya tidak dimasukkan dalam pengisi acara dalam sebuah pengumuman di jejaring sosial, baru diundang menjadi pembicara oleh KJRI yang kebetulan sedang berada di Australia.

“Kami akhirnya meminta Ade Komarudin dan Dian Fatwa dari ABC sebagai pembicara agar lebih banyak pelaku industri yang berbagi ilmunya,” seperti yang dikatakan Bena kepada Erwin Renaldi dari ABC.

Masing-masing pembicara menceritakan kehidupan dan berbagi pengalamannya. Yang paling lama memberikan pemaparan dalam bincang-bincang ini adalah Ishadi, lengkap dengan materi presentasi dan video dari liputan CNN, salah satu anak perusahaan Trans Media.

Ia menjelaskan besarnya kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia, khususnya dari sumber kelautan. Di penghujung pemaparannya, ia memberikan pengakuan kepada sejumlah mahasiswa dan warga Indonesia di luar negeri yang telah memberikan sumbangan kepada dunia, khususnya di bidang ilmu dan teknologi.

Kepada Ishadi, ada pertanyaan apakah mereka yang kini sedang berada di luar negeri harus pulang ke Indonesia?

“Stay where you are [Tinggalah dimana kamu berada],” ujar Ishadi yang salah satu anaknya tinggal dan kerja di Melbourne.

“Anda bisa mencari ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya, dan pulang ke Indonesia kapan pun Anda mau, karena seperti dalam pemaparan saya sebelumnya, Indonesia memiliki penawaran dan kesempatan yang juga tak kalah luasnya,” tambahnya.

Sementara menanggapi pertanyaan bagaimana generasi muda harus menanggapi semakin banyaknya informasi media, khususnya di jejaring sosial, Dian Fatwa sebagai perwakilan dari media ABC menjelaskan peranan jejaring sosial yang kini bisa memberikan banyak keuntungan bagi anak muda. Tetapi menurutnya ada juga dampak lainnya.

“Orang bisa bicara apa saja tanpa merasa perlu punya kewajiban untuk memverifikasi sehingga cyber bullying tumbuh dengan cepat dan ini adalah sebuah kenyataan yang harus dimanage dengan baik,” ujarnya.

Menurut Dian kebebasan berpendapat di kalangan anak muda harus juga bertanggung jawab, karena dibatasi moral dan pertimbangan etis.

“Sangat penting bagi semua user ketika melihat informasi negatif atau upaya membunuh karakter seseorang, untuk melihatnya dengan dosis yang sehat dan menaruh keraguan terhadap informasi yang diterima, tanpa menelan bulat-bulat… semua orang punya hak for a fair trial,” jelasnya.

Sementara itu salah satu perwakilan warga NTT memiliki kesempatan untuk mempertanyakan langsung kepada Gubernurnya soal kondisi pembangunan di NTT.

“Di tahun 2016 NTT tumbuh 5,18 persen dan selalu di atas pertumbuhan nasional,” ujar Frans Lebu Raya.

“Dulu NTT sering disebut sebagai daerah yang miskin, bahkan dulu diplesetkan menjadi Nanti Tuhan Tolong, tapi sebutan ini menjadi tantangan kami untuk terus berupaya maju.”

Mantan ketua DPR Ade Komarudin (tiga dari kiri) menjadi pembicara dalam acara Bincang Bincang Masa Depan Indonesia di Melbourne
Mantan ketua DPR Ade Komarudin (tiga dari kiri) menjadi pembicara dalam acara Bincang Bincang Masa Depan Indonesia di Melbourne

Foto: Erwin Renaldi

Menjadi saksi kasus korupsi e-KTP

Ade Komarudin juga sempat menyinggung soal pemanggilan dirinya sebagai saksi dalam kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Andi Agustinus, alias Andi Narogong.

Ia mengatakan mengetahui jika ada beberapa pihak yang mempertanyakan bagaimana bisa ia hadir sebagai pembicara bertemakan masa depan Indonesia, disaat ia tidak memenuhi panggilan KPK sebanyak dua kali.

Dalam kesempatan tersebut Ade membantah tuduhan jika ia mangkir dari panggilan KPK.

“Saya tidak mangkir, itu hanya anggapan wartawan saja. KPK sudah tahu alasan mengapa saya tidak bisa hadir, karena saya sudah menulis surat dua kali untuk dua panggilan. Setelah ini saya akan penuhi, enggak mungkin orang seperti saya tidak memenuhinya,” ujarnya.