Chef Lynton Tapp Kenalkan Makanan Aborigin Australia di Jakarta
Lynton Tapp adalah runner-up kompetisi memasak Masterchef Australia di tahun 2013. Sejak saat itu namanya mulai dikenal luas. Dibesarkan di lingkungan peternakan di pedalaman Wilayah Utara Australia (NT), Tapp selalu menggunakan bahan-bahan asli Australia sebagai ciri khasnya. Pada tahun 2015, ia menerbitkan buku berjudul ‘Outback Pantry’ yang berisi resep asli Australia dan pengalaman interaksinya dengan sejumlah pemasok produk lokal.
Medio April 2017, Tapp berkunjung ke Jakarta, menemui sejumlah mahasiswa dan pencinta kuliner ibukota dalam rangkaian kampanye budaya yang digelar Kedutaan Besar Australia di Indonesia. Nurina Savitri dari ABC berkesempatan untuk berbincang langsung dengan Tapp di bilangan Jakarta Selatan.
Siapa yang mendaftarkan Anda untuk ikut Masterchef?
Itu kerjaan ibu saya. Beliau yang melakukannya untuk saya. Waktu itu saya berada di Amerika dan tiba-tiba dapat telepon. Saya ingat, ibu saya bertanya, ‘Lynton seandainya kamu adalah bahan makanan, kira-kira kamu mau jadi apa?’. Waktu itu saya pikir itu cum pertanyaan acak biasa. Jadi saya jawab ‘terserah lah Ma..mungkin bawang putih’. Saya tak curiga dan terus menjawab pertanyaannya. Ternyata waktu itu beliau mengisi formulir Masterchef untuk saya.
Apakah latar belakang Anda tinggal di pedalaman memengaruhi cita-cita anda sebagai seorang chef? Atau Anda memang suka memasak sejak kecil?
Dari kecil saya memang suka sekali memasak. Saya anak laki-laki satu-satunya di keluarga, saya tadinya digadang-gadang untuk meneruskan peternakan keluarga, tapi saya malahan terjun ke dunia memasak, itu sangat tak biasa. Selain itu, pengalaman membantu saudara perempuan saya, ikut kompetisi Masterchef (2013) dan bekerja di restoran di Melbourne turut berperan mewujudkan cita-cita ini.
Tapi di sisi lain, latar belakang saya tinggal di pedalaman justru membantu saya untuk mewakili industri pertanian dan peternakan. Dan memang itulah yang ingin saya lakukan, mengenalkan semua petani dan peternak dari Australia.
Bagaimana cara menggabungkan sentuhan tradisional Australia dengan elemen modern dalam masakan, yang belakangan makin banyak dilakukan para chef?
Saya selalu berupaya untuk menjadi diri saya sendiri. Saya tak terlalu suka mengikuti tren atau mengutamakan keindahan makanan. Ada beberapa makanan yang tak bisa disajikan dalam model restoran fine-dining (mewah dan berkelas), anda hanya bisa menyajikannya seperti di rumah. Contohnya seperti rendang sapi. Yang paling pas pastinya makan rendang dengan piring besar dan nasi. Sama saja seperti masakan saya, saya ingin tetap menyajikannya seperti apa adanya dan tetap menjadi diri saya. Jadi misalnya steak porsi besar, masakan rumahan yang dinikmati orang banyak, itulah jati diri saya dan saya ingin tetap seperti itu.
Jadi buat Lynton tampilan masakan itu nomor dua?
Ya.
Makanan asli pedalaman Australia seperti daging kanguru atau emu tak begitu familiar bagi orang Indonesia. Kalau Lynton diminta menggambarkan seperti apa rasanya, kira-kira apa yang akan disampaikan?
Mereka punya cita rasa sendiri.
Daging kanguru memang rasanya mirip dengan daging emu, tapi kalau keduanya harus disamakan dengan daging lain yang lebih mirip, mungkin itu dengan daging rusa.
Rasa dagingnya cukup kaya, warnanya merah gelap, kaya akan zat besi dan vitamin K. Jadi rasanya memang tajam, dan itu mungkin yang membuat orang agak enggan mencobanya. Padahal itu tergantung pada bagaimana kita mengolahnya.
Apa bahan makanan asli Australia yang jadi favorit Lynton?
Mungkin ini salah satu yang paling terkenal, salah satu contoh yang paling bagus, yaitu finger lime (jeruk kecil lonjong yang memiliki butiran daging seperti kaviar). Saya biasanya suka membelahnya, mengeluarkan butirannya dan menaruhnya pada makanan, sehingga ada sensari rasa segar dan renyah. Jeruk ini juga bisa jadi hiasan makanan yang cantik. Ini bahan makanan asli Australia paling favorit yang sering saya gunakan.
Menurut Lynton, apakah masakan Indonesia memiliki kemiripan rasa dengan masakan Australia yang biasa Anda makan di kampung halaman?
Ya, mirip. Di tempat saya berasal, yakni Wilayah Utara Australia (NT), semua bahan-bahannya sama dengan di Indonesia. Karena di sana ada populasi Indonesia yang cukup besar, khususnya di sekitar Darwin. Semua rasa makanan begitu familiar bahkan makanannya pun juga familiar. Saya bahkan sering memasak dengan bahan-bahan itu sebelum menginjakkan kaki ke Indonesia dan mengetahui bahwa bahan-bahan itu berasal dari negara ini.
Lynton, selama ini Anda begitu konsisten menggunakan produk-produk asli Australia dalam masakan, manfaat apa yang Anda dapatkan?
Pertama-tama, memasak dengan bahan asli Australia selalu menjadi keinginan saya, dan itu bukan sesuatu yang baru saya lakukan di tengah perjalanan karir.
Ketika saya masih kecil, ibu sering meninggalkan saya dengan pengasuh asli Aborijin, jadi waktu kecil saya dibesarkan dengan bahan makanan yang biasa digunakan warga Aborijin. Ia (si pengasuh) mengajarkan saya tentang bahan-bahan makanan asli Australia. Itulah pembelajaran pertama saya tentang sejarah kuliner Australia, saya mendapatkannya sejak masih kecil.
Kapan tepatnya Anda pertama kali belajar memasak?
Saya bahkan tak ingat kapan pertama kali melakukannya, tapi seingat saya…sejak saya bisa berkuda dan berkelana sepanjang hari, saya bisa memasak khususnya dengan bahan-bahan yang tersedia di hutan. Karena tak sempat kembali ke peternakan untuk makan siang, mau tak mau saya harus bisa bertahan dengan bahan makanan yang ada di hutan, misalnya saja pisang hutan, buah quandong, atau plum yang ada di sepanjang perjalanan berkuda.
Jadi sejak usia sangat muda, 5 atau 6 atau 7 tahun, saya sudah terlibat dengan dunia masak-memasak.
Sayangnya dulu saya tak begitu menghargainya, saya menganggapnya biasa-biasa saja. Kini, saya benar-benar sadar akan pentingnya pengalaman masa kecil saya itu.
Kini mari berbicara soal buku Anda, Outback Pantry. Dalam buku itu, Anda banyak berbicara dengan peternak dan petani lokal, apa kesulitan yang mereka alami terkait dengan rantai pasokan bahan makanan?
Di Australia, ada banyak jaringan swalayan besar jadi petani dan peternak lokal tak dapat akses ke chef-chef lokal. Jadi tak ada koneksi antara perkebunan atau peternakan lokal dengan chef lokal. Mereka lebih cenderung untuk memasok ke jaringan besar nasional ketimbang memasoknya di tingkat lokal.
Tapi berkat popularitas program masak TV seperti Mastechef, makin banyak chef lokal yang menyadari betapa pentingnya menggunakan produk-produk lokal dari petani atau peternak lokal.
Siapa chef favorit Anda?
Jamie Oliver. Saya sangat mengaguminya, dan masih suka terpana kalau bertemu dengannya. Selain itu saya suka chef Amerika, Dan Barber. Ia hebat, dan melakukan hal-hal yang saya suka. Ia bilang pertanian atau peternakan itu harus berkelanjutan, saya sungguh menghargai ide-ide yang ia cetuskan.
Jika ada seseorang yang mengajak Anda pergi ke pulau terpencil yang terisolasi, 3 bahan makanan asli Australia apa yang akan Anda bawa untuk bertahan hidup? Dan mengapa?
Mungkin saya akan membawa wortel hutan. Sayuran ini tumbuh di Australia Barat dan hanya tersedia di restoran-restoran tertentu. Saya sangat suka sayuran ini. Kemudian saya akan bawa daun lemon myrtle, anda bisa membuat apa saja dengan daun ini. Yang terakhir, saya akan membawa marron, itu udang asli Australia, sekarang hanya tersedia di restoran-restoran kelas atas di Australia, jadi ya…(tersenyum) saya akan bawa seafood mewah ini. Lengkap kan? Saya bawa bumbu, saya bawa seafood dan juga bawa sayurannya (kembali tertawa).
Apa rencana Anda ke depan?
Saya ingin kembali ke peternakan keluarga, karena sekarang saya sudah jarang mengurusnya.
Saya juga ingin menumbuhkan hasil kebun sendiri, jadi semacam mengembangkan peternakan dan perkebunan di mana anda memasok sendiri kebutuhan bahan makanan.