Telinga Bionik Buatan Australia Memecah Sunyi Aziza
Aziza Sakhia didiagnosa mengalami gangguan pendengaran sangat berat sepulang ibunya belajar S2 di Melbourne. Berkat inisiatif donasi dari orang Indonesia di Australia dan teknologi bionik buatan Australia, Aziza bisa mendengar. Alfred Pasifico Ginting menuturkan apa yang terjadi pada Aziza dan perjuangan keluarganya.
Dua pekan setelah menyelesaikan sekolah di Melbourne, Illian menghadapi kenyataan putrinya Aziza ternyata hidup dalam hening.
Ini cerita perjuangan keluarga Illian serta solidaritas orang Indonesia mengumpulkan donasi untuk implan koklea agar Aziza bisa mendengar.
Aziza Sakhia bayi yang sehat. Illian Deta Arta Sari harus meninggalkan Aziza ketika dia masih berumur sembilan bulan.
Illian mendapat beasiswa Australia Awards (AAS) dari pemerintah Australia untuk kuliah program master kebijakan publik (policy studies) di University of Melbourne.
Bagi Illian meninggalkan Aziza sebenarnya bukan keputusan yang mudah. “Maunya aku mau kasih di ASI (air susu ibu) paling tidak sampai umur setahun, tapi harus berhenti. Suamiku pegawai negeri sipil, jadi tidak bisa ikut ke Melbourne. Tapi dia dan keluarga besar sangat mendukung, Aziza ada yang mengasuh,” kata Illian.
Saya mengenal Illian saat dia bekerja untuk Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta. Illian mengambil cuti di luar tanggungan dari ICW selama dua tahun masa belajarnya.
Saya mengunjungi rumah kontrakan Illin di suburb Coburg, ketika dia baru datang ke Melbourne awal tahun 2015.
Setelah merasa mantap di Melbourne, Illian memboyong putra pertama dan keduanya, Kumara dan Nararya. Illian memasukkan keduanya di sekolah dasar di kawasan Coburg.
Beberapa bulan kemudian Supriyadi, suami Illian, dan Aziza datang. Rencananya Supriyadi kembali ke Jakarta sendiri dan Aziza tinggal di Melbourne.
Namun tiga hari pertama di Melbourne, Aziza sering menangis dan tidak mau makan.
“Selama aku pergi kan dia selalu dengan suamiku. Jadi mereka dekat sekali. Mungkin dia merasa mau ditinggal bapaknya, jadi sedih. Hari ketiga kami belikan dia tiket pulang ke Jakarta. Setelah itu dia jadi ceria dan kami bisa menikmati jalan-jalan,” kata Illian.
Seharusnya Illian menyelesaikan kuliahnya Desember 2016. Karena sering merindukan Aziza, Illian mengajukan masa kuliahnya dipercepat.
“Prosesnya cuma tiga hari dan disetujui kampus untuk dipotong satu semester berdasarkan pengalaman kerja dan risetku terkait kuliah yang aku ambil,” kata dia.
Illian diwisuda 27 Juli 2016 dan tiga hari kemudian dia meninggalkan Melbourne. Di Jakarta, Illian dan suaminya mendikusikan lagi soal keterlambatan Aziza bicara. Aziza baru hanya bisa bergumam (mumbling) tidak membentuk kata, seperti mamamamaa, wawawawa, ngogogogogo atau nyonyonyonyonyo.
“Kami pikir dia seperti Nara yang dulu telat bicara dan tiba-tiba bisa bicara panjang saat umur 3,5 tahun. Tapi kami berencana bawa Aziza ke terapi bicara, supaya tidak harus nunggu lama bisa cepat bicara,” kata Illian.
Illian mendaftarkan Aziza untuk terapi wicara ke klinik tumbuh kembang anak. Staf di klinik mengatakan harus ada surat pengantar dari dokter spesialis tumbuh kembang anak.
“Saat searching informasi tentang dokter tumbuh kembang anak, kutemukan artikel kalau anak umur dua tahun telat bicara dan enggak bisa sepatah kata pun, perlu diwaspadai gangguan pendengaran,” kata dia.
Pada 13 Agustus, Illian membawa Aziza ke RS SS Medika Salemba untuk pemeriksaan telinga, yaitu tes tympanometry. Ada dua tes pendengaran lain yang seharusnya dilakukan.
“Tes BERA dan ASSR tidak bisa dilakukan saat itu karena kondisi pasien harus tertidur pulas. Jadi dijadwalkan lagi tes tanggal 20 Agustus. Malam sebelum tes, Aziza dibuat begadang dan sebelum tes diberi obat tidur,” terang Illian.
Hasil tes membalikkan dunia Illian dan keluarganya. Aziza yang lahir 12 Maret 2014 didiagnosa mengalami gangguan pendengaran sangat berat (profound hearing loss).
Aziza hidup dalam hening. Dia hanya bisa mendengar suara di atas 110 desibel atau setara deru suara pesawat dari dekat.
“Badanku langsung lemas. Air mataku mengalir deras tak berhenti. Rasanya hancur dan bayangan ketakutan akan masa depan Aziza bercampur aduk.”
Illian aktivis yang selalu ceria, dia senang menghidupkan suasana. Pembawaannya itulah yang membuat saya sangat ingin membagikan kisah Illian dan Aziza yang sangat menyentuh sekaligus menguatkan.
Untuk bisa mendengar, pilihan bagi Aziza adalah menggunakan alat bantu dengar (ABD) yang super atau implan koklea. Menurut dokter, pilihan nomor dua yang lebih optimal.
“Membayangkan kata operasi saja sudah mual, apalagi operasi di kepala. Sepanjang jalan dari rumah sakit, aku dan suami hanya terdiam di mobil meski air mataku terus meleleh. Sementar Aziza tetap saja ceria bermain dengan kakak-kakaknya. Dia tidak tahu apa yang dialaminya. Baginya, semua baik-baik saja. Melihat senyumnya, rasanya trenyuh.”
Selama dua minggu Illian terus menangis. “Rasanya gelap. Selama hidup aku enggak pernah punya teman atau saudara yang tuli. Dia juga tidak punya kenalan yang anaknya seperti Aziza. Aku buta, tidak tahu sama sekali soal kerusakan sel-sel rambut koklea.”
Sel-sel rambut koklea mengalami gangguan sejak dikandungan
Dokter mengatakan sel-sel rambut koklea Aziza mengalami gangguan sejak dia masih dalam kandungan yang diduga karena virus CMV (Cytomegalovirus) yang diklasifikasikan dalam keluarga virus Herpes.
Prevelansi infeksi CMV di Indonesia sangat tinggi, tahun 2004 sebesar 87,8 persen. Sekitar separuh dari populasi Australia diperkirakan pernah terinfeksi CMV.
Sedangkan di Amerika, sekitar 60 persen dari populasinya pernah terpapar CMV.
Seperti kebanyakan orang di Indonesia, Illian tidak menjalani tes TORCH (Toxoplasma, Others (shypillis, Varichella zoster, parvovirus B-18), Rubella, CMV and Herpes Simplex/HPV) sebelum kehamilan.
“Saat kehamilan anak pertama dan kedua, dokter tidak menyuruh tes TORCH. Dokter cuma bertanya apakah aku punya kucing di rumah. Kujawab tidak ada. Selanjutnya ditanya apakah ada keluarga difabel. Kujawab juga tidak ada. ‘Bismillah semua baik-baik saja,’ kata dokterku,” kenang Illian.
Ketika mengandung Aziza, dokter bertanya apakah Illian ada riwayat infeksi TORCH.
“Aku jawab belum pernah tes. Ditanya lagi, apakah kakak-kakaknya normal. Kujawab iya semua tidak ada gangguan apapun.
Akhrnya aku tidak dites TORCH juga saat trimester pertama kehamilan. ‘Bismillah.. nggak perlu tes kalau gitu. Insya Allah bayinya sehat seperti kakak-kakaknya,’ kata dokter sambil senyum.
Illian rajin membagikan kabar tentang Aziza di facebook. Sesudah mendengar kondisi Aziza, Avi Mahaningtyas, warga Indonesia yang tinggal di Canberra bertanya kepada Illian apa yang bisa dia bantu.
Avi dan Illian belum pernah bertemu langsung, mereka berteman lewat facebook. “Dia yang pertama kali bertanya soal dana. Karena saat itu aku dan suami masih akan mencari second opinion, kubilang untuk sementara bantu doa saja.”
Setelah mendapat hasil tes kedua dan memutuskan implan pada 19 September, Avi bertanya lagi soal biaya.
“Akhirnya aku berterus terang, untuk beli alat implan sepasang Rp 580 juta atau satunya Rp 320 juta mungkin kami akan utang bank atau jual mobil,” kata Illian yang merasa sungkan untuk menerima bantuan dana.
“Menerima sumbangan itu sama artinya menerima kasih dari orang lain. Ada orang-orang yang dulunya dibantu di saat susah dan ingin membalasnya dengan membantu orang lain. Ada juga yang ingin melakukan amal baik. Terbukalah. Buka dirimu,” kata Avi kepada Illian.
Avi bergerak cepat, dia menghubungi beberapa orang. Agung Wasono Ahmad yang sekolah di Sydney menyusun narasi ajakan donasi, dibuka untuk dua minggu.
Spontan, tanpa perencanaan panjang. Ajakan ini bergulir, meluas. Donasi ditutup 4 Oktober, terkumpul dana sekitar Rp 230 juta. Sesudahnya masih ada yang mengirimkan donasi susulan.
“Kata mereka untuk perawatan pasca operasi. Banyak yang mengirimkan mainan atau buku untuk Aziza. Sungguh luar biasa bantuan orang-orang untuk Aziza. Ini adalah utang kami sekeluarga pada kehidupan. Aziza saat besar nanti akan kuceritakan soal utang pada kehidupan ini,” kata Illian.
Pilihan teknologi implan koklea
Ada tiga pilihan alat implan koklea yang dipertimbangkan, yaitu Cochlear buatan Australia, Advance Bionic dari Amerika Serikat, dan Med El buatan Austria.
Perbedaan harga tidak signfikan, hampir sama.
“Kami pilih Cochlear karena produknya digunakan mayoritas penerima implant di dunia, lebih dari 400.000 orang. Kami juga melihat layanan perusahaan pasca pembelian, karena sekali beli kontraknya sampai mati. Dan beberapa orang tua anak implant yang mendukung Illian hampir semuanya pakai Cochlear.”
Cochlear yang berbasis di Sydney berdiri tahun 1981 dengan dukungan dana pemerintah Australia untuk mengomersilkan implan yang dirintis oleh Dr Graeme Clark sejak tahun 1970an.
Cochlear sudah go public dan sahamnya diperdagangkan di bursa Australia (ASX). Implan yang dikembangkan Cochlear mengombinasikan alat simulasi elektrik yang ditanam lewat operasi di belakang telinga pasien, prosessor yang menangkap suara, dan simpul-simpul elektroda yang mengirim suara ke otak.
Sistem cochlear bisa ditingkatkan, misalnya dengan memasang prosessor suara terbaru, tanpa operasi.
Awalnya Illian dan suaminya akan membeli 1 implan dan prosesor suara produk terbaru, senilai Rp 320 juta.
Rencana mereka, setelah punya uang lagi, mereka membeli satu lagi untuk ditanam. Namun, Dr Harim yang akan membedah Aziza mengatakan bila dalam posisi Illian, dia tidak akan implan satu dengan alat seri terbaru. Dia akan memilih memasang seri yang lama dua sekaligus.
“Dia menjelaskan kelebihan implan dua ketimbang satu, yaitu soal keseimbangan suara atau stereo system di otak. Kalau hanya operasi satu misal di telinga kanan saja, kalau ada yang memanggil dari kanan, anak akan melihat ke kanan karena sound processor ada di kanan.”
Dr Harim menganalogikan alat implan terbaru yang mereka ingin beli satu saja seperti mobil sport keluaran terbaru.
“Apa iya mau beli mobil yang canggih sekali, atau beli mobil keluarga keluaran lama saja dengan harga lebih murah. Yang penting fungsinya,” kata Illian mengulangi ucapan Dr Harim.
“Selain itu dijelaskan kalau operasi satu, beberapa tahun kemudian operasi satu lagi, hasilnya bisa beda. Terapi untuk implan yang belakangan harus dari nol lagi.”
Dengan saran Dr Harim, Illian membeli sepasang implan seri CI24RE yang dirilis tahun 2006 dan sound processor yang dikeluarkan tahun 2010.
Itu paket paling murah dari Cochlear, senilai Rp 240 juta. Biaya tindakan medis, baik sebelum, saat operasi dan sesudahnya ditanggung BPJS. Bila dengan biaya sendiri, operasi implan koklea bisa menghabiskan Rp 50-80 juta.
Aziza menjalani operasi selama 4 jam pada 9 Desember. Itu hari terpanjang dalam hidup Illian.
Pasca operasi Aziza sempat muntah bercampur darah sebanyak dua kali. Menurut dokter itu darah sisa operasi, bukan pendarahan di kepala.
Dokter menahan Aziza sehari lagi di rumah sakit untuk diobservasi. Luka bekas operasi sembuh dengan baik.
Alat implan dinyalakan pada 23 Desember, dan sejumlah 22 elektroda yang ditanam semuanya berfungsi dengan baik. Saat itu level ambang pendengaran dan ambang kekerasan implan Aziza dibuat level rendah agar dia tidak syok dengan suara-suara baru.
Dengan kabel dan coil seukuran uang logam Rp 500 yang menempel di kepalanya tanpa pengait apapun, Aziza tampak mencolok perhatian. Sound processor dan baterai yang cukup besar disematkan di belakang telinga. Aziza sering membuat orang heran, karena tampak seperti robot. Bionik.
Implan yang ditanam di kepala Aziza sudah menjadi bagian tubuhnya seumur hidup.
Aziza mengalami perkembangan yang pesat sejak implannya bekerja. Dari video yang diunggah Illian di youtube, Aziza sudah bisa mengucapkan kata “mama”.
Dia tidak lagi senang memukul dan secengeng dulu. “Dulu saat kami belum tahu dia tuli, dia suka memukul. Mungkin karena dia lelah tidak tahu maksud orang-orang di sekelilingnya, dan dia tidak bisa menyampaikan maksudnya.”
Aziza pun sudah mendengar suara yang sangat lembut seperti desisan.
Suara seperti ini tidak terjangkau ketika Aziza masih memakai ABD.
“Dia sudah menikmati memakai alat implannya dan sering berusaha menirukan orang yang bicara dengannya. Dia senang dengar suara burung. Tetangga punya ayam jago, kalau dia lihat ayam itu berkokok, dia tertawa senang sekali.”
Kehilangan pendengaran bukanlah akhir segalanya. Masih banyak harapan untuk mendukung anak-anak seperti Aziza agar bisa mendengar suara-suara indah di kehidupan.
*Alfred Pasifico Ginting adalah wartawan asal Indonesia yang sekarang tinggal di Melbourne.