Pengalaman Mengenalkan Bahasa Indonesia di Australia
Memperkenalkan bahasa Indonesia kepada murid sekolah di Australia semakin banyak dilakukan lewat permainan tradisional seperti bermain bola bekel, congklak dan lompat karet. Itulah yang juga dilakukan oleh Muhammad Mona Adha seorang mahasiswa doktoral dari Universitas Pendidikan Bandung dalam kegiatannya di Adelaide (Australia Selatan) selama beberapa bulan terakhir. Tantowi Anwari menuliskan pengalaman Mona.
Anak-anak Australia antusias sekali terlibat langsung dalam permainan-permainan khas Indonesia seperti lompat karet, congklak, bekel, pagar ayam, dan sebagainya.
Kesan tersebut diceritakan Muhammad Mona Adha (37) sebelum meninggalkan Adelaide, Australia Selatan kembali ke Indonesia hari Sabtu sore (17/12/2016).
Mona masih terkenang pada Anthony (12) siswa year 7 (kelas satu SMP) di Emmaus Catholic School, Woodcroft South, Australia Selatan, yang tidak habis-habisnya penasaran lantaran gagal terus memainkan bola bekel.
“Anthony sampai bilang kepada saya kalau dirinya akan mencari dan membeli perangkat permainan bekel agar bisa belajar di rumahnya,” kisah Mona yang mengemban tugas mengkoordinir Program School Visit dari Jembatan Initiative, Flinders University, Australia Selatan.
Mendengar tekad anak-anak, ia tidak tega karena Anthony akan kesulitan mencari bola bekel di negeri Kanguru.
Selain itu, kunjungannya ke Emmaus Catholic School, 29 November 2016, adalah saat terakhir Mona menggelar workshop budaya dan bahasa Indonesia ke sekolah-sekolah di Australia Selatan.
Sehingga ia pun memberikan satu set permainan bekel kepada Anthony. Mona pun mengungkapkan kebahagiaannya menyaksikan anak itu mengucapkan terima kasih dengan girang sekali, bahkan sampai di ujung pertemuan ketika Mona dan timnya harus meninggalkan sekolah, Anthony ingin terus mengikuti.
Mona merupakan mahasiswa Program Doktoral Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang didatangkan dari Indonesia sendirian ke Adelaide sejak 21 Agustus 2016 berkat sponsor Australia Indonesia Institute (AIA), Department of Foreign Affairs and Trade, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Flinders University, terutama Indonesian Program.
Kisah berikutnya juga tak kalah mengesankan laki-laki yang kini menginjak semester V itu.
“Saya terharu ada satu siswa sangat menyukai topi khas Lampung yang saya pakai ketika berkunjung ke sekolah Port Wakefield Primary School,” ucap Mona yang lahir dan berasal dari Lampung.
Toby (11), demikian siswa itu dipanggil, sangat ingin memakai pemanis kepala yang biasa disebut sebagai topi Tapis Lampung, dari acara workshop mulai sampai selesai.
Akhirnya, topi itu diberikan ke siswa sebelum Mona meninggalkan sekolah itu.
Betapa anak itu seakan tidak percaya, lanjut Mona, ketika dirinya melepas dan akhirnya memberikan topi itu kepada Toby. Lalu, Toby berjanji di hadapan Mona untuk senantiasa menjaga topi Tapis itu dengan baik.
Dan demi pengalaman yang emosional itu, Mona berharap sekali Toby pun mencintai Indonesia.
Memimpikan Sekolah Ramah Disabilitas
Mona merasakan banyak sekali pengalaman dan pengetahuan yang membekas selama dirinya mengikuti program Jembatan mengunjungi sekolah-sekolah negeri maupun swasta di Australia Selatan.
Ia melihat hampir rata-rata siswa di sekolah yang dikunjunginya memiliki guru warga negara Australia yang sangat fasih berbahasa Indonesia dan memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan pelajaran Bahasa Indonesia.
Bersama tim Jembatan, ia sendiri mengalami dan menyaksikan efektivitas pembelajaran Bahasa Indonesia di 23 sekolah yang ia kunjungi kepada anak-anak sekolah di Australia dengan menggunakan berbagai permainan anak-anak di Indonesia.
Sebab, dari workshop yang menggunakan metode belajar Bahasa Indonesia sambil bermain-main itulah anak-anak didik dapat sekaligus mengenal lebih dekat budaya Indonesia.
Terlebih, kehadiran tim program Jembatan menjadi keuntungan buat para siswa untuk berinteraksi dan mempraktikkan Bahasa Indonesia secara langsung dengan orang-orang Indonesia yang membawa dan memperkenalkan bermacam-macam permainan dengan peraga atau perangkatnya dan ragam budaya Indonesia lainnya.
Persiapan, keseriusan, dan respon positif dari para guru Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah tersebut dipandang Mona turut membantu menghidupkan suasana yang meningkatkan minat para anak didik untuk terlibat dalam workshop.
Begitupun sekolah-sekolah yang terlibat dalam workshop ini memiliki kurikulum khusus untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Selain itu, pengalaman terlibat dalam Program School Visit dari Jembatan Initiative membawa Mona pada harapan bagaimana fakta-fakta yang ia temui di semua sekolah Australia Selatan yang dikunjunginya menjadi model yang suatu saat nanti dapat diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia.
Ia mengungkapkan, di luar fakta bahwa sekolah-sekolah itu memang menyediakan dapur yang modern, ruang bersama bagi staf dan guru yang nyaman dan lengkap fasilitasnya, justru yang paling menyita perhatian Mona adalah lingkungan sekolah yang aksesibel bagi kalangan berkebutuhan khusus (disabilitas).
Bahkan, setiap sekolah menyediakan toilet khusus untuk kalangan disabel.
Budaya yang sangat menghormati dan memenuhi hak-hak disabilitas ini Mona saksikan pula pada transportasi-transportasi publik dan ruang-ruang publik lainnya, tanpa terkecuali pantai-pantai Australia Selatan yang dikenal cantik-cantik, hampir semua menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas.
Bahasa dan Budaya sebagai Jembatan Dua Negara
Setiap kali kunjungan ke sekolah, tim Jembatan terdiri dari Mona, selaku koordinator, Dr. Priyambudi Sulistiyanto dan Dr. Rossi von der Borch, penggagas sekaligus penggerak Program Jembatan, serta beberapa sukarelawan mahasiswa Indonesia yang belajar di Flinders University.
Tujuan dari program yang diikuti Mona ini adalah mengenalkan dan lebih mendekatkan budaya Indonesia melalui workshop dalam pelbagai bentuk kegiatan dan tampilan, seperti permainan tradisional, kuliner Indonesia, lagu-lagu Indonesia, percakapan ringan, pidato dalam bahasa Indonesia, dan sebagainya ke siswa-siswi sekolah SD sampai SMP di Australia Selatan.
“Jadi, workshop seperti ini salah satu langkah tepat yang memberikan gambaran secara umum dan khusus perihal kebudayaan Indonesia, termasuk yang kontemporer sebagaimana tercermin dalam media sosial dan berbagai pergaulan yang menunjukkan dinamika pemakaian bahasa Indonesia melalui partisipasi aktif anak-anak Australia, yang juga mengakses media sosial dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya,” ujar Mona.
Namun begitu, Mona memberi penekanan, yang terpenting dari proses seluruh workshop adalah menjalin kerjasama yang baik antar dua negara bertetangga ini melalui pendekatan kebudayaan. Sehingga, terjalin hubungan harmonis Australia dan Indonesia dengan saling memahami dan menghargai satu sama lain.
Hal tersebut dipertegas Direktur Akademik Jembatan Flinders University Dr. Priyambudi Sulistiyanto bahwa program School Visit yang dimulai akhir Agustus hingga awal Desember 2016 ini merupakan bentuk soft diplomacy yang bertujuan untuk memperkuat hubungan Australia dan Indonesia di wilayah pendidikan dan kebudayaan.
Interaksi people to people seperti ini jauh lebih berdampak jangka panjang dalam membangun harmoni dua negara. Dan menurut dosen yang akrab disapa Budi ini program yang dijalankan Mona dan tim mendapat penerimaan yang sangat positif dari sekolah-sekolah yang dikunjungi.
“Apresiasi saya sampaikan atas kerja keras Mona sebagai tamu pertama yang diundang Jembatan untuk mengkoordinasi program School Visit,” tutur Budi.
Dari seluruh sekolah yang dikunjungi tahun ini oleh program Jembatan, total murid yang terlibat mencapai 1.300-an. Ia melihat murid-murid dapat mengenal langsung permainan tradisional Indonesia dan ini sangat mereka sukai sebagai keterampilan tambahan selain belajar dan praktik berbahasa Indonesia.
“Jadi, program ini berjalan sangat baik karena banyak guru yang menginginkan agar tahun depan tetap dilanjutkan,” pungkas Budi.
* Tantowi Anwari bergabung dengan organisasi bernama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di Indonesia, dan pernah tinggal di Adelaide (Australia Selatan).