ABC

Kisah Jurnalis Perempuan Peliput Olahraga di Dua Negara

Dunia olahraga sering dilekatkan dengan maskulinitas, terlebih jurnalisme olahraga yang banyak didominasi pria. Jurnalis olahraga senior asal Australia dan Indonesia, yakni Tracey Holmes dan Hanna Fauzie, berbagi cerita kepada Australia Plus mengenai suka duka menjadi jurnalis olahraga perempuan dan pandangan mereka terhadap dunia olahraga.

Tracey Holmes terjun ke dunia jurnalisme sejak tahun 1989 dengan bergabung di Australian Broadcasting Corporation (ABC). Ia pernah menjadi jurnalis di China dan Timur Tengah dan merupakan pembawa acara program olahraga nasional perempuan pertama di Australia.

Jurnalis olahraga senior, Hanna Fauzie, kini menjabat sebagai redaktur pelaksana Koran Sindo. Mengawali karir di tahun 2000, Hanna sempat menjadi jurnalis balap sebelum akhirnya berpindah ke sepakbola. Ia telah meliput berbagai pagelaran akbar olahraga, mulai dari Sea Games hingga Piala Dunia.

Tracey dan Hanna, keduanya menjadi pemateri di program pelatihan jurnalis perempuan ‘Women in News and Sport’ (WINS) yang diadakan oleh ABC International Development di Jakarta (28/11-2/12). Kepada Nurina Savitri dari Australia Plus, mereka berbagi cerita seputar karir, tantangan menjadi jurnalis olahraga perempuan, hingga pengembangan bidang olahraga di masing-masing negara.

Tracey dan Hanna
Tracey dan Hanna bersama para jurnalis peserta pelatihan 'Women in News and Sport', yang diadakan oleh ABC.

ABC; Nurina Savitri

Kapan Tracey dan Hanna mulai menjadi jurnalis olahraga dan mengapa?
Hanna: “Spesifik menjadi jurnalis olahraga, saya mulainya awal tahun 2000, waktu itu di salah satu surat kabar Indonesia, masih kuliah juga, pegangnya waktu itu racing (balap), yaitu F1 sama Moto GP. Setelah lulus, kerja untuk koran Sindo sampai sekarang, sudah sekitar 11 tahun. Di tempat ini saya lebih spesifik untuk sepak bola. Tapi dari dulu saya memang sudah jatuh cinta pada bola karena dari SMP/SMA, nggak pernah absen nonton sepak bola terutama waktu itu Liga Italia, tapi kemudian nyaris mengikuti semua liga. Meski mengikuti olahraga lain, tapi kalau liputan saya fokus di sepak bola dan sekarang-pun saya supervisi desk olahraga.”
Tracey: “Saya sudah menjadi jurnalis olahraga selama 30 tahun. Awalnya itu terjadi tanpa disengaja. Ayah-Ibu saya adalah olahragawan profesional, karena itu kehidupan saya selalu dikelilingi oleh atlet. Dan saya memang suka lingkungan olahraga, karena menurut saya, atlet, sebagian besar, sangat positif. Contohnya, kalau mereka gagal mereka akan mulai dari awal dan membangun lagi jadi itu benar-benar positif. Dan selain itu, saya suka berbicara dengan orang, suka mendengar kisah orang, motivasi mereka. Menurut saya, olahraga itu jendela dunia, banyak bicara tentang klub lokal, komunitas lokal, tim nasional, dan negara.”

Apakah untuk menjadi jurnalis olahraga harus mencintai olahraga terlebih dahulu?
Hanna: “Nggak juga sih. Biasanya kalau kita memulai sesuatu dari yang kita suka, itu lebih mudah. Tapi beberapa kawan juga banyak yang memulai karir sebagai jurnalis olahraga karena ditugaskan oleh kantornya. Dalam perjalanannya, mereka belajar untuk mendalami olahraga. Jadi bisa dua-duanya.”
Tracey: “Menurut saya itu perpaduan. Tak ada cara tunggal untuk memulai apapun. Beberapa orang mulai terjun karena mereka memang bermain olahraga, mereka sangat memahaminya. Beberapa di antaranya, karena mereka tak punya kemampuan dalam bidang ini tapi mereka menyukainya, dan akhirnya terjun ke jurnalisme olahraga. Tapi ada juga yang terjun karena memang tugas, jadi mereka jurnalis umum dan ditugaskan ke Olimpiade, kemudian mereka menikmatinya dan menjadi terspesialisasi. Saya pikir tak ada satu cara tunggal yang tepat.”

Hanna dan Wesley Sneijder
Hanna bertemu pesepak bola asal Belanda, Wesley Sneijder, di Piala Dunia 2010.

Supplied

Pengalaman liputan apa yang paling berkesan selama menjadi jurnalis olahraga?
Hanna: “Kebetulan saya merasa diri saya cukup beruntung karena diberi kesempatan oleh perusahaan tempat saya bekerja untuk beberapa kali meliput kompetisi besar di dunia olahraga. Yang paling berkesan, waktu Piala Dunia Sepakbola di Afrika Selatan (2010). Karena saat itu, yang ke final adalah dua negara yang sama-sama belum pernah juara, yaitu Belanda dan Spanyol. Dan akhirnya, Spanyol yang juara di mana dua tahun sebelumnya, mereka juga sempat menjuarai Piala Eropa. Selain itu pengalaman di sana juga menantang mengingat Afrika Selatan adalah negara yang bisa dibilang tingkat kriminalitasnya tinggi tapi syukurnya semua berjalan lancar. Di sisi lain, negara ini punya pemandangan indah. Makanya liputan ini sangat berkesan untuk saya.”
Tracey: “Tak mungkin saya bisa memilih satu pengalaman paling berkesan. Ada banyak sekali, dan saya telah meliput sejumlah Olimpiade, Piala Dunia FIFA, Grand Slam Tenis, banyak sekali, hampir semua pagelaran besar. Dan tiap kompetisi itu sangat berbeda. Karena buat saya, itu bukan pagelarannya sendiri yang menentukan, tapi orang-orang di dalamnya. Orang di dalam pagelaran itu menentukan kisahnya sendiri. Dan buat saya, mengikuti kisah mereka itu luar biasa.”

Bagaimana seharusnya peran jurnalis olahraga dalam pengembangan dunia olahraga sendiri?
Hanna: “Itu adalah salah satu tujuan kami, keinginan kami, rekan-rekan jurnalis olahraga. Nah dengan adanya pelatihan jurnalis olahraga perempuan seperti (WINS) ini, ini akan menjadi perekat buat kami, dan nantinya kami bisa memberikan kontribusi yang jauh lebih nyata. Dan mengajak semua stakeholder (pihak) dunia olahraga untuk sama-sama berperan membangun bidang ini. Dan terutama jangan melupakan atlet olahraga perempuan dan peran perempuan di olahraga.

Kita seharusnya bisa mendorong dan menggiring adanya perbaikan lewat publikasi. Ketika tim kita menang, puji. Ketika tim-nya kalah, kasih kritikan tapi tetap positif. Ketika timnas dari cabang apapun tampil jelek, kasih kritikan yang membangun, jangan hanya mengkritik tanpa memberikan solusi atau kontribusi. Jangan pernah kita menurunkan tensi di dalam mendukung olahraga nasional."

Tracey: “Pengalaman saya sebagai jurnalis, sebenarnya kami hanya bekerja. Kami adalah pipa yang menyalurkan sesuatu ke sebuah tempat, jadi orang yang menikmati cerita, yang menonton TV, mendengarkan radio, membaca berita online, koran dan majalah, itu tugas kita untuk menyampaikan apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Jurnalisme olahraga tak hanya mengabarkan apa yang terjadi dalam pertandingan tapi juga menjelaskan apa makna di balik momen itu, apa implikasinya jika klub sepak bola kecil di Brazil mengalami kecelakaan pesawat.

Orang-orang berpikir bahwa kecelakaan pesawat itu tragis, tapi apa yang kita lihat dari kejadian itu lebih dari tragedi sendiri. Karena tim itu mewakili sebuah komunitas dan ketika tragedi itu terjadi tentu ada banyak implikasinya. Nah tugas kami sebagai jurnalis adalah menjelaskannya dan merefleksikannya kembali kepada masyarakat. Kita memahami apa yang menjadi alasan kita dalam mengerjakan sesuatu, apa yang memotivasi kita, kenapa kita bertindak dengan cara tertentu, mengapa perilaku suporter bola dari beberapa negara begitu khas, misalnya. Jadi menurut saya jurnalis olahraga bukanlah agen perubahan, tapi tugas kami adalah merefleksikan perubahan apa yang sedang terjadi, kadang positif kadang negatif, dan pertama-tama kami harus mampu mengidentifikasi cerita itu, menjelaskannya secara utuh, sehingga masyarakat mengerti.

Terkadang jurnalis melakukan sesuatu yang fenomenal, jika mereka tak memberitakan peristiwa itu, tak akan ada yang tahu, tetapi itu bukan karena jurnalisnya tapi karena pagelaran yang mereka liput, prosesnya."

Pernah mengalami diskriminasi selama tugas?
Hanna: “Ada satu pengalaman yang sangat berkesan sampai sekarang. Padahal selama menjadi jurnalis olahraga saya belum pernah merasakan diskriminasi, tidak pernah mendapat pelecehan.

Sampai pada suatu ketika, di saat liputan Piala Dunia, saya mengantre tiket pertandingan. Nah pas lagi antre, tiba-tiba ada satu pria yang sangat besar badannya, dia wartawan cuma saya tidak tahu dari mana, terus dia mengangkat saya, jadi benar-benar memindahkan saya, mengangkat begini (mencontohkan adegan mengangkat yang dilakukan si pria) dari tempat saya berdiri. Seperti memindahkan anak kecil.

Kemudian dia bilang, “You don’t belong here because you’re a woman” (Anda tak pantas ada di sini karena anda seorang perempuan).

Jelas saya bengong, terkejut karena sebelum-sebelumnya tidak pernah mengalami diskriminasi, belum pernah dilakukan seburuk itu. Tapi di sana, ada beberapa teman yang membela dan bilang ke pria tadi bahwa dia tidak bisa berbuat seperti itu kepada perempuan. Akhirnya dia minta maaf.

Itulah pengalaman yang membuat saya sadar, sampai saat inipun, perempuan, terutama mereka yang meliput olahraga, tidak pernah dianggap sama. Bahwa ini adalah bidang yang didominasi pria. Sampai sekarang, pengalaman ini begitu membekas.”
Tracey: “Saya merasa setara dengan rekan pria saya. Tapi jika ada pria yang merasa tidak, seperti dalam kasus Hanna, itu masalah mereka, bukan masalah perempuan.

Dalam deskripsi pekerjaan jurnalis olahraga juga tak ada aturan bahwa pekerjaan ini hanya untuk pria. Tapi tentu saja, banyak orang berpikir, yang masih banyak berkembang di banyak budaya, termasuk budaya Australia, masih banyak isu. Itu perlahan berubah. Kini, kondisinya sudah berbeda, utamanya di Australia.

Ketika saya pertama berkarir, jumlah jurnalis olahraga perempuan bisa dihitung dengan jari. Saya adalah perempuan pertama di Australia yang membawakan program olahraga nasional, dan tentu saja ketika hal itu diumumkan ke publik, banyak kritikan yang muncul. “Mengapa perempuan? Tak pernah ada perempuan yang mengerjakan itu sebelumnya? Apa yang diketahui perempuan tentang olahraga? Dan sebagainya. Tapi, kondisi itu sudah berubah sekarang. Makin banyak perempuan yang bekerja di sektor ini, menyadari bahwa pekerjaan ini setara.”

Kriteria apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi seorang jurnalis olahraga perempuan?
Hanna: “Jangan takut ditolak, karena biasanya kalau kita perempuan, ditolaknya akan jauh lebih sering dibanding jurnalis perempuan di bidang lain (non-olahraga). Lalu mental, jangan suka memasukkan omongan siapapun ke dalam hati. Misalnya ada yang menyeletuk, ‘kamu tau off-side ngga sih? Kamu ngerti?’, sering sekali teman-teman diperlakukan seperti itu. Nah, jangan pernah sakit hati. Kemudian jangan pernah berhenti belajar.”
Tracey: “Tidak ada yang khusus, karena pada dasarnya, banyak aspek dalam kehidupan ini tergantung pola pikirnya. Pola pikir saya adalah saya mencintai pekerjaan saya, dan itu bukan hanya sekedar pekerjaan.

Pekerjaan saya menjadi hidup saya. Sehingga terkadang, saya melibatkan keluarga ketika bekerja. Saya membawa anak-anak ketika bertugas, ketika kondisinya memungkinkan untuk mereka.

Di kompetisi besar lain, saya tak bisa membawa mereka, karena mungkin saya bekerja hingga 24 jam sehari, saya tak bisa menjaga mereka. Memang pekerjaan ini kompleks tapi saya melakukan segala hal untuk mendukungnya. Saya membaca apapun yang bisa menambah pengetahuan saya. Saya menonton apapun yang membuat pekerjaan saya jadi lebih baik.”

Siapa olahragawan favorit Hanna dan Tracey?
Hanna: “Siapa ya? Kalau klub sepakbola, saya suka Inter Milan (Italia) dan Bayern Munchen (Jerman). Kalau pemain bola favorit, saya rata-rata suka yang dari Brazil, misalkan dulu saya suka Ronaldinho. Selain itu, saya suka Xavi Hernandez (Spanyol) karena dia rendah hati.

Terus saya juga mengagumi (pelatih Manchester United) Mourinho, karena terlepas dari banyaknya orang yang mencaci, itu dia lakukan agar pemain-pemainnya tidak terusik. Waktu saya berusaha wawancara dia, dia sangat jauh dari pribadi yang sering diberitakan, arogan-lah dan segala macem. Sosok yang luar biasa meski dia membungkus dirinya sebagai sosok yang arogan. Kalau pebalap favorit, saya sekarang lagi suka banget dengan pebalap F1 Nico Rosberg, tapi dulu saya selalu suka Mika Hakkinen.”
Tracey: “(Bintang Real Madrid) Cristiano Ronaldo, menurut saya dia fantastis, tapi bukan untuk alasan yang banyak dipikirkan orang. Dia hebat di lapangan, banyak orang tak menyukainya karena kepribadiannya.

Banyak yang bilang ia bertemperamen tinggi, tak ramah, tapi apa yang saya lihat adalah seseorang yang dalam setiap detik di pekerjaannya, memberikan kemampuan terbaiknya. Jadi jika dia kalah, itu membuatnya marah.

Sama seperti anda, jika anda tak berhasil dalam pekerjaan, mungkin anda akan emosi juga. Saya suka Cristiano Ronaldo dengan alasan itu. Kemudian di Australia, kami punya petenis Nick Kyrgios. Banyak orang juga tak menyukainya. Tapi menurut saya, dia adalah petenis yang brilian. Memang tak menyenangkan melihatnya emosional saat kalah dalam pertandingan, tapi ketika ia tersenyum, menikmati permainannya, tak ada yang lebih indah untuk ditonton daripada itu. Dia cuma manusia biasa, dan kadang kita suka lupa bagian itu dari bintang olahraga.”

Khusus untuk Hanna, apa yang perlu diperbaiki dari kompetisi olahraga di Indonesia? Misalnya bola.
Hanna: “Saya sih merespon positif perubahan yang dilakukan PSSI. Dan bagaimana PSSI serta pemerintah membangun pola komunikasi yang jauh lebih baik. Maksudnya, saya berharap agar yang kemarin-kemarin dilupakan saja, kita fokus ke depan. Masa sudah puluhan tahun masih begini-begini saja. Negara lain sudah maju, contohnya Jepang, baru mulai kompetisi beberapa tahun lalu tapi sudah menunjukkan kemampuannya, sudah berkompetisi di Piala Dunia, berbuat banyak di level Asia. Sementara kita, yang penduduknya ratusan juta penggila bola, tidak bisa mendukung timnas-nya, tidak bisa mendorong pemerintahnya untuk melakukan perbaikan siginifikan di dunia olahraga. Karena ini bukan hanya tugas satu lembaga, tapi ini adalah tugas kita bersama.

Bahwa tugas wartawan, tugas masyarakat adalah untuk mendorong dan mengingatkan bangsanya agar bisa berprestasi. Lalu di cabang lain, sudah saatnya juga kita harus berinvestasi. Pembinaan dini juga harus dipikirkan.

Lucunya, suporter bola Indonesia itu salah satu yang paling fanatik selain Brazil. Ini kemudian yang sering memicu pertanyaan lain dari rekan jurnalis negara lain, ‘Tapi prestasinya bagaimana?’.”

Khusus untuk Tracey, bagaimana pendapat anda jika orang selalu mengaitkan olahraga dengan bisnis?
Tracey: “Ada dua konsep dalam olahraga yang harus dipahami secara berbeda. Pola pikir bahwa olahraga pasti selalu bisnis adalah isu yang beredar di masyarakat umum, khususnya di negara saya, banyak dari mereka tak mengerti hakikat olahraga. Misalnya, siang ini kami berkunjung ke sekolah. Anak-anak di sana bermain footy, bersenang-senang, laki-laki dan perempuan, itulah olahraga, itu bukan bisnis. Itu sesuatu yang dilakukan dengan sukarela.

Terkadang, kita harus mengeluarkan uang sendiri untuk berolahraga. Tapi di sisi lain, ada olahraga yang dijalankan secara profesional. Ada Liga Inggris, Bundesliga, Olimpiade, kompetisi tenis, golf, itu adalah bisnis dan hiburan. Itu adalah bisnis jutaan dolar.

Dan saya pikir kita harus melihat kedua kondisi itu sebagai sesuatu yang terpisah. Tapi saya rasa, anda tak bisa berbisnis olahraga jika anda tak berinvestasi di level akar rumput. Karene mereka-lah yang mendukung bisnis, apakah itu sebagai penonton, pemain atau pelatih. Sisi bisnis harus tetap menjaga akar rumput.”