Dua Aktivis Walhi Kampanye di Australia
Dua aktivis lingkungan dari Indonesia tengah berkampanye di beberapa kota di Australia untuk menggugah kesadaran publik tentang apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar Australia di Indonesia.
Menurut para aktivis dari organisasi WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), kegiatan perusahaan-perusahaan besar seperti BHP Billiton Group, yang markasnya bertempat di Australia, dan Cokal, membahayakan lingkungan hidup Indonesia, terutama kawasan hutan hujan di Kalimantan.
Salah satu fokus kampanye mereka adalah rencana dibukanya beratus-ratus ribu hektar hutan di jantung Kalimantan untuk proyek tambang batubara besar-besaran, IndoMet.
"Kami di Melbourne setelah sebelumnya berkunjung ke Brisbane dan Sydney untuk berbicara di publik Australia untuk bersolidaritas terhadap upaya penyelamatan hutan di Kalimantan dan mengkritis perusahaan Australia yg berinvestasi di sana yang tentunya berdampak pada semua aspek di Kalimantan," jelas Arie Rompas, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah kepada ABC, Jumat (15/11/2013)
Arie Rompas datang bersama Pius Ginting, pengkampanye bidang energi WALHI. Kunjungan mereka bekerjasama dengan organisasi lingkungan hidup internasional Friends of the Earth, yang juga merupakan rekan WALHI.
Ini bukan pertama kalinya Arie mengunjungi Melbourne dalam rangka kampanye. Ia juga pernah berkunjung untuk mengkritisi program Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP), yang merupakan program penyelamatan hutan Kalimantan melalui metode REDD (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi ).
" Kalau KFCP lebih ke pemerintah Australia. Intervensinya lebih jelas, proyek REDD di Kalimantan Tengah, Kali ini berbicara khusus utk investasi private BHP Billiton," jelas Arie.
Pada waktu itu, ia lebih banyak berbicara dengan pihak pemerintah Australia, seperti anggota parlemen dan politikus-politikus dari berbagai partai.
Menurutnya, kunjungannya beberapa tahun lalu itu terbilang sukses.
Lebih Kuat
"Target kami adalah publik, untuk mendapatkan solidaritas dari masyarakat Australia untuk bersama kami dan komunitas lokal untuk menjaga hutan dan tentunya untuk menyampaikan hal-hal kritis terkait dengan perusahaan Australia di Indonesia." jelas Arie.
"Kenapa publik jadi fokus? voluntary market kayak BHP Billiton itu tentu harus ada pendekatan berbeda sehingga publik Australia menjadi sangat penting menyuarakan persoalan-persoalan dan kemungkinan terburuk ketika BHP Billiton melakukan aktivitas di Indonesia," tambahnya.
Dalam kesempatan ini mereka tidak sempat bertemu dengan perwakilan perusahaan-perusahaan pertambangan Australia, namun Friends of the Earth berencana untuk menindaklanjuti kampanye ini dengan bertemu dengan perusahaan-perusahaan tersebut.
"Kami memang tidak akan secara langsung bertemu, tapi pertanyaan-pertanyaan tentang proyek [di Kalimantan Tengah] ini akan ditanyakan atas nama kami dalam AGM (Annual General Meeting) BHP minggu depan di Perth (Australia Barat), jadi ini salah satu cara pemegang saham BHP mengetahui apa yang terjadi, dan proses itu akan direkam secara umum," jelas Nick MacClean dari Friends of the Earth.
Keputusan mendatangkan dua aktivis Indonesia ini pada akhirnya menguntungkan dan bermanfaat, karena menurutnya, dengan cara ini publik Australia dapat mendengar langsung pengalaman dan pendapat mereka yang terkena dampak dari kegiatan perusahaan tambang Australia, lanjutnya.
Arie mengakui bahwa salah satu keuntungan menjalankan kampanye di Australia, selain di Indonesia, adalah karena bisa memanfaatkan posisi kampanye masyarakat Australia yang dilihat lebih kuat terhadap pemerintahnya, ketimbang Indonesia.
"Soal kesadaran publik di Australia dan posisi mereka – masyarakat sipil – terhadap pemerintah, saya pikir lebih kuat di Australia sehingga kami menggalang publik seluas-luasnya mendukung kampanye penyelamatan hutan di Kalimantan," ucapnya.
Namun, Ia menolak bila kampanye di Australia ini dianggap subversif terhadap pemerintah Indonesia atau sebagai usaha menjatuhkan citra.