ABC

Wakil Ketua KPK Bahas Korupsi SDA Indonesia di Brisbane

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Laode M Syarif, mengisi kuliah umum di Universitas Queensland, Brisbane, pada Senin (26/9). Ia membahas upaya KPK dalam memerangi korupsi di sektor eksplorasi sumber daya alam (SDA) Indonesia.

Menurut studi terbaru dari KPK, selama tahun 2011-2016, ada lebih dari 5000 izin eksplorasi SDA ilegal yang beroperasi di seluruh Indonesia dengan berbagai tingkat ketidaksahan.

Bahkan, 90% pemegang izin tak melaporkan kegiatan tambang mereka dan tak membayar reklamasi wajib serta biaya rehabilitasi pasca tambang. Lebih parahnya lagi, beberapa pemegang izin ini beroperasi di dalam 6 juta hektar hutan konservasi dan hutan lindung.

Terkait dengan perpajakan, 1850 pemegang izin eksplorasi tak memiliki data pelaporan pajak.

Laode Syarif dan Sarah Derrington
Sarah Derrington dari UQ menerim plakat simbolis dari KPK (26/9).

University of Queensland

Sejumlah temuan itu disampaikan Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif, dalam kuliah umum berjudul ‘Menangkal Korupsi Dalam Ekstraksi Sumber Daya Alam di Indonesia’, di kampus Universitas Queensland (UQ).

“KPK senang bisa bekerja sama dengan Universitas Queensland dalam bidang pembangunan sumber daya manusia dan sejumlah area penelitian di bidang korupsi: sumber daya alam, sektor swasta dan olahraga…juga pertukaran staf serta mahasiswa,” ujar Laode di Gedung Steele UQ (26/9), tempat kuliah umum berlangsung.

Profesor Sarah Derrington, Kepala Sekolah Hukum TC Beirne UQ, mengatakan, lembaganya begitu gembira menjamu Wakil Ketua KPK RI periode 2015-2019.

“Kuliah Dr Laode ini untuk meningkatkan kemitraan penelitian kami dengan salah satu tetangga terdekat sekaligus meluncurkan program mobilitas mahasiswa sarjana ke Indonesia, yang baru-baru ini dianugerahi beasiswa New Colombo Plan oleh Pemerintah Australia,” terang Sarah Derrington.

Dalam kuliah umum ini, Laode juga menjelaskan bahwa lembaganya menggunakan pendekatan hibrida dalam memerangi korupsi di sektor SDA. Pendekatan itu antara lain Undang-Undang (UU) Anti-Korupsi; UU Pencucian Uang; UU Perlindungan Lingkungan; dan UU Kehutanan.

Ia lalu mencontohkan berbagai kasus yang menjerat pejabat publik Indonesia. Salah satunya kasus Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna Abdul Fatah, di tahun 2005.

“Pejabat ini menerbitkan izin ilegal untuk kebun sawit seluas 1 juta hektar di Berau, Kalimantan Timur, di luar kekuasaannya. Kerugian yang ditimbulkannya terhadap negara 5,165 miliar Rupiah. Tapi ia hanya didenda 200 juta Rupiah dan dipenjarakan 4 tahun di bawah UU Anti-Korupsi,” cerita Laode Syarif.

Kasus lain yang ia kemukakan adalah kasus mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang didakwa menerbitkan 9 izin kehutanan ilegal.

“Ia dijatuhi hukuman 14 penjara oleh Mahkamah Agung dan denda sebesar 1 miliar rupiah.”

Menariknya, kata Laode, korupsi SDA melibatkan sejumlah pejabat di berbagai level dan anggota Parlemen.

“Modusnya beragam. Ada penyuapan, memperkaya diri sendiri, penerbitan izin ilegal, konflik kepentingan dan tata kelola yang buruk,” ujar Laode Syarif.

Laode mengutarakan, menanggapi serangkaian pelanggaran tersebut, lembaganya menginisiasi ‘Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam’ pada tanggal 19 Maret 2015 lalu dan melibatkan semua Kementerian, Pemerintah Provinsi serta Pemerintah Kota/Kabupaten terkait untuk memperbaiki tata kelola SDA di Indonesia.

Tentu saja, ada tantangan yang dihadapi dalam memberantas korupsi di sektor ini.

“Tiap orang menginginkan perubahan positif karena makin banyak yang menjadi korban, tapi pastinya tak boleh ada egoisme sektoral. Yang lebih penting, perubahan itu tak boleh didasarkan pada keinginan bos atau penguasa,” kemuka Laode.

Diterbitkan: 19:30 WIB 27/09/2016 oleh Nurina Savitri.