ABC

Mengeksplorasi Keindahan Bali yang Menegangkan di Mata Penulis Australia

Setiap kali berada di Bali, penulis Australia Natalie Sprite senantiasa merasa sangat akrab sekaligus merasa asing. Dalam ketegangan seperti itulah Nalatie mengeksplorasi keindahan Bali yang menakjubkan. 

Natalie Sprite masuk short-listed penghargaan sastrawan Australia/Vogel Literary Award untuk novelnya ‘Gracenotes’ dan muncul pada Sydney Writers’ Festival.

Dia meraih sejumlah penghargaan sastra, termasuk dari ABC Open Short Fiction Prize, serta Northern Territory Literary Awards. Karya-karyanya diterbitkan dalam penerbitan sastra termasuk Meanjin, Bruno’s Song dan Australian Award Winning Writing. Tahun 2014 dia menerima dana dari Literature Board untuk penulisan novelnya, ‘Ripe’.

Penulis Australia Natalie Sprite. (Photo: ABC Darwin)
Penulis Australia Natalie Sprite. (Photo: ABC Darwin)

Tahun ini, Natalie terpilih sebagai seniman Australia yang melakukan program residensi di Indonesia. Dia memili Bali sebagai tujuan residensi dalam program yang diselenggarakan Asialink pada University of Melbourne.

Bagaimana Anda mendeskripsikan diri sendiri?

Seorang ibu, seorang penulis. Seperti orang lain, saya dibentuk oleh hal-hal yang saya cintai. Anak perempuan saya. Pekerjaan saya.

Sebagai penulis dan pegiat kesenian selama 20 tahun, apa momen terbaik dalam karir Anda?

Pada proses. Di saat-saat saya larut dalam menuliskan cerita. Momeng di saat tulisan itu menuntun saya. Di situlah asyiknya.

Anda mengutip Pablo Picasso bahwa tujuan seni adalah untuk membersihkan debu-debu dalam jiwa kita. Anda percaya seni punya kekuatan mengubah kehidupan?

Untuk waktu yang lama saya selalu merasa bersalah sebagai seniman. Saya merasa seni tidaklah sepenting dengan urusan menyelamatkan kehidupan. Namun saya menemukan kata-kata Picasso ini, saya ingat bahwa buku telah menarik saya keluar dari kegelapan. Memberiku dukungan komunitas di saat kesepian. Menunjukkan jalan berbeda di saat saya butuh visi lebih jauh. Saya membayangkan betapa miskinnya kehidupan tanpa kesenian.

Bekerja dalam masyarakat seni, juga mengubah pandanganku tentang kesenian. Banyak kegiatan yang saya kerjakan dengan berkolaborasi dengan mereka yang berada di pinggiran, dan mereka yang mengalami trauma.

Seni mewadahi perasaan. Kesedihan mendalam. Cinta yang menggebu. Teror. Hal-hal yang tak tertampung dalam percakapan biasa. Kemudian muncul upaya sederhana yang mewujud ke dalam kelompok. Mencipta dengan cara ini mendorong terjalinnya hubungan tulus yang sangat kuat.

Sebagai warga Kota Darwin, Anda mungkin sering terekspos dengan seni dan budaya Indonesia. Bagaimana Anda menilainya?

Kedekatan dengan Indonesia merupakan salah satu pendorong denyut kehidupan Kota Darwin. Kolaborasi antara seniman Darwin dan Indonesia telah mewujudkan karya-karya luar biasa. Monster Art, misalnya, yang dikurasi oleh Andy Ewing dan Fiona Carter dan kini dipamerkan di Museum and Art Gallery. Luar biasa.

"Betapa mendalamnya keindahan Bali..." (Foto: Natalie Sprite)
"Betapa mendalamnya keindahan Bali…" (Foto: Natalie Sprite)

Mengapa memilih Bali sebagai tempat residensi?

Saya selalu merasa sangat akrab sekaligus merasa asing setiap kali ke Bali. Ketegangan inilah yang ingin saya tuliskan. Tentu saja ada sejarah panjang yang tak selalu indah antara Bali dan Australia. Saya melihat kisah di sekitar hal ini sangat menarik. Ada cinta dan kekejaman, ada ketololan dan keramahan. Di kedua sisi. Dan di dalam semua itu, ada momen keakraban yang tulus.  

Momen-momen seperti itulah yang ingin saya ungkapkan.

Apakah sudah pernah tinggal di Bali sebelumnya, dan bagaimana Anda melihat Bali yang berubah?

Saya ke Bali setiap tahun sejak tujuh tahun terakhir ini. Saya melihat perkembangan yang mengganggu, namun saya sadar juga bahwa pembangunan itu terjadi karena orang-orang seperti saya. Ada kawan yang bilang, "Jika cinta Bali, mungkin cara terbaik yang bisa dilakukan adalah menjauhi Bali". Saya tidak yakin dengan hal itu. Namun saya sadar bahwa pariwisata di Bali merupakan pedang bermata dua.

Bagaimana Anda melihat kesenian Bali dan bagaimana hal itu berpengaruh terhadap kesenimanan Anda sendiri?

Cara orang-orang Bali mendekati keindahan yang sangat memikat saya. Di Bali, keindahan mengandung nilai spiritual. Bukan sekadar dekorasi kosong. Di Australia, tampaknya kami mengembangkan keindahan dalam seni yang tanpa jiwa. Saya menyukai keindahan karena kita memerlukannya dalam menghubungan harapan dan kemungkinan.

Saya juga menyukai kenyataan bahwa hampir semua orang di Bali adalah seniman. Seni tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Selama tinggal di Bali, apa saja kegiatan Anda?

Saya akan tinggal di Saritaksu Editions, lembaga penerbitan yang berada di Sanur. Direkturnya Sarita Newson menawari saya untuk menjalin komunikasi dengan komunitas penulis Indonesia. Kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi dengan seniman negara lain merupakan salah satu kelebihan program Asialink ini.

Saya juga akan banyak belajar seluk-beluk penerbitan di Saritaksu.

Pada akhirnya, fokus kegiatan residensi saya adalag penulisan. Bali membuat saya ingin menulis. Ada sesuatu mengenai hal-hal kontradiktif tentang Bali yang menantang untuk dituliskan.

Saya ingin menulis segala hal yang saya cintai dan segala yang menantang. Meresapkan ke dalam kesadaran saya, dan kita tunggu apa yang muncul ke dalam tulisan saya.