ABC

Alumnus Australia Ini Kembangkan Pendidikan S-2 Khusus CSR

Mengajar telah menjadi passion dari alumni Australia yang satu ini. Mulai dari iseng mengajarkan boneka di rumah ketika kecil, menjadi asisten dosen ketika kuliah, hingga akhirnya berhasil mendirikan satu-satunya Program Studi Magister di Indonesia dan Asia Pasifik dibidang Corporate Social Responsibility (CSR) dan banyak dari mahasiswanya adalah direktur dan CEO perusahaan.

Maria Rosaline  Nindita Radyati atau akrab disapa Nita, meraih gelar PhD dari University of Technology Sydney (UTS), Australia pada tahun 2010.
 
Perempuan kelahiran Malang, 30 Agustus 1967 ini dikenal sebagai pakar mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia.
 
Namanya saat ini tercatat sebagai Komite Tetap CSR di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jakarta dan Ketua Masyarakat Riset Sektor Ketiga Internasional (ISTR). Selain itu hingga kini, sosok alumni Australia yang satu ini juga banyak terlibat dalam berbagai penelitian di bidang CSR dan kewiraswastaan sosial (social entrepreneurship) serta kerap menjadi narasumber pada berbagai seminar, pelatihan dan workshop di dalam maupun luar negeri.
 
Karena kepakarannya dibidang CSR inilah,  pada tahun 2006 Ia dipercayakan untuk mengelola dana  Grant dari Ford Foundation untuk mendirikan Sekolah Magister Managemen Corporate Social Reponsibility (MM-CSR)  yang bernaung dibawah  lembaga Center for Entrepreneurship Change and Third Sector (CECT) Universitas Trisakti, Jakarta, yang dipimpinnya sejak tahun 2001.
 
Namun menurut Nita dalam perbincangannya dengan wartawan ABC Australia Plus Indonesia Iffah Nur Arifah, kepercayaan ini tidak didapatnya dengan mudah.
 
Tawaran mendirikan Program S-2 ini didapat ketika Ia baru memulai studi S-3 di Australia.  Walhasil ditengah kesibukannya sebagai mahasiswa PhD, Ia harus bolak balik Jakarta – Sydney juga untuk melakukan riset dan persiapan mendirikan sekolah S-2 tersebut.
“Tahun 2005, Ford Foundation menantang saya sebagai akademisi untuk mampu berkontribusi lebih dalam isu global Sustainability dan CSR di Indonesia. Saya diberi waktu satu bulan untuk melakukan riset untuk melakukan tugas tersebut,”
 
“Akhirnya saya melakukan riset,  untuk meneliti apa yang sudah dilakukan, apa yang belum dilakukan oleh semua sektor yang terlibat dalam Sustainability dan CSR di Indonesia,  dan juga apa yang diperlukan.“ katanya lagi.
 
“Dari riset ini disimpulkan seluruh kegiatan CSR di Indonesia masih berbentuk filantropi, belum holistis dan dampaknya nyaris tidak ada. Indonesia juga perlu pendidikan tinggi dibidang CSR dan harus level S-2,"
 
“Tahun 2006, propsal saya untuk menghadirkan sekolah CSR di Indonesia ini akhirnya disetujui Ford Foundation, mereka memberikan grant sebesar Rp3,5 miliar untuk mendirikan 4 program, yakni melakukan riset CSR, menyelenggarakan training dan seminar serta publikasi mengenai Sustainability dan CSR serta mendirikan Program MM-CSR.”
 
“Jadi sambil kuliah Saya, bolak balik Jakarta – Sydney untuk merekrut pegawai, mentraining dosen, menyusun sistem akademik, marketing dan semuanya..sampai-sampai saya jatuh sakit karena demam dan depresi, karena harus kuliah dan mengurus persiapan ini,” kenang Nita.
 
Nita (kiri) menjadi narasumber mengenai CSR di Radio Brava Jakarta untuk menyebarluaskan pemahaman CSR yang benar dan holistik. (Foto:MM-CSR).
Nita (kiri) menjadi narasumber mengenai CSR di Radio Brava Jakarta untuk menyebarluaskan pemahaman CSR yang benar dan holistik. (Foto:MM-CSR).
 
Tapi kerja kerasnya kini berbuah manis, MM-CSR Trisakti yang mulai resmi dibuka tahun 2007, kini telah memasuki angkatan ke-16 dan mayoritas mahasiswa S-2 MM-CSR merupakan level manajerial seperti CEO, komisaris, atau pemilik perusahaan. Ratusan alumni MM-CSR kini menjadi praktisi CSR yang tersebar diberbagai perusahaan dan organisasi. 
 
MM-CSR Universitas Trisakti juga tercatat menjadi program studi pertama dan satu-satunya di Indonesia, bahkan di Asia Pasifik.  Di beberapa kampus lain di Indonesia, CSR masih diberikan sebatas mata kuliah, belum ada perguruan tinggi yang menjadikan CSR sebagai program studi dan secara holistis mempelajari CSR.
 
Maria Nindita Radyati, mengaku dirinya sangat terinspirasi dengan sistem pendidikan di Australia, khususnya pendidikan fokasi atau program diploma yang mampu mencetak tenaga didik siap kerja dibidangnya.  Oleh karena itu, Ia menyusun kurikulum di program MM-CSR Universitas Trisakti dengan model akademik praktis  yang mengacu pada teori dan International Organization for Standardization (ISO) 26000 tentang social responsibility yang sudah disepakati 162 negara. 
 
Bersama suaminya seorang warga Australia yang juga pakar project management, Tony Simmonds, Nita merumuskan CSR tools yang nantinya dapat digunakan oleh mahasiswa untuk menyelesaikan kasus-kasus CSR. 
“Jadi kurikulum disini itu akademik praktis. Mahasiswa disini kami ajarkan menggunakan CSR tools berupa panduan ‘How To’ .. yang kami susun berdasarkan teori dan ISO 26000. CSR Tools ini berfungsi sebagai panduan praktis bagi mahasiswa dalam menyelesaikan kasus di lapangan atau mendesain sebuah program CSR. “
 
“Biasanya kalau sudah lulus, mahasiswa kami percaya diri, karena mereka sudah tahu harus melakukan apa. Mereka sudah memiliki table-tabel yang harus mereka isi berdasarkan studi kasus di lapangan. Jadi bukan hanya teori-teori saja, sehingga pengetahuan mereka bisa customize atau disesuaikan dengan kasus yang mereka hadapi nanti ditempat mereka berkiprah kelak,”
 
“Jadi mungkin universitas lain boleh mengklaim punya jurusan CSR tapi kami yakin hanya Program MM-CSR Universitas Trisakti yang memiliki CSR tools – how to yang unik dan aplikatif seperti ini,”
Terinspirasi oleh keunggulan pendidikan fokasi di Australia, Nita menyusun kurikulum akademik praktis untuk sekolah MM-CSR yang didirikannya. (Foto: MM-CSR Univ. Trisakti).
Terinspirasi oleh keunggulan pendidikan fokasi di Australia, Nita menyusun kurikulum akademik praktis untuk sekolah MM-CSR yang didirikannya. (Foto: MM-CSR Univ. Trisakti).
 
Dengan metode ini, Nita berharap program magister yang dirintisnya mampu menciptakan perubahan dan meluruskan praktek kebijakan CSR di Indonesia ke arah CSR yang menyeluruh.

Yakni program CSR yang bisa menciptakan pembangunan yang berkelanjutan berbasis kompotensi masyarakat disekitar perusahaan tersebut. Bukan program CSR yang bersifat bagi-bagi uang.

Mengingat besarnya potensi dana yang dialokasikan perusahaan untuk kegiatan CSR,  Nita berkeyakinan dana CSR di Indonesia jika dikelola secara benar akan sangat strategis dalam menciptakan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan di masyarakat. 

“Ada salah satu BUMN besar ditanah air, itu dana CSR-nya setahun Rp 400 miliar, bayangkan berapa banyak masyarakat kita yang bisa tersejahterakan dari dana CSR tersebut. Jadi saya katakan kalau dana CSR dikelola dengan benar, seharusnya tidak ada orang miskin di Indonesia,”

"Tapi sayang banyak perusahaan yang menggunakan dana CSRnya masih bersifatnya kiss and run. Sekali membantu, setelah itu selesai. Tidak menciptakan

kemandirian masyarakat, tidak efisien. Progam CSR seperti ini menjadikan CSR seperti mesin atm dan menciptakan mentalitas meminta," papar Nita.
 
Apalagi terkait dengan 17 agenda global pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals tahun 2030, kedepan menurut Nita, CSR akan memainkan peran penting untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. 
 
 “Untuk perusahaan besar terutama yang memerlukan investor asing, mau tidak mau mereka harus mengikuti tren internasional –  Sustainable Development Goals. Kalo tidak, maka tidak ada yang mau beli sahamnya sehingga mereka tidak bisa melakukan ekspansi usaha.”
 
“Sementara untuk perusahaan kecil di daerah misalnya, jika dia tidak peduli dengan masyarakat disekitarnya, lama-lama mereka akan protes karena merasa tidak mendapat manfaat dari keberadaan perusahaan tersebut. Protes ini akan mengganggu  kelancaran produksi mereka. 
 
“’Jadi CSR itu sebetulnya tujuan akhirnya adalah untuk mengurangi atau menghilangkan gangguan bisnis. Jadi kalau ada perusahaan gak mau peduli dengan masyarakat sekitarnya atau tidak melakukan CSR, kedepannya akan habis usahanya. "
 
Pemerintah daerah kini banyak yang mengandalkan dana CSR untuk membantu program pembangunan. Seperti Program Penataan Pemukiman Kumuh di Jakarta (MHT Plus) yang didanai oleh dana CSR perusahaan di Jakarta. (Foto: Flickr)
Pemerintah daerah kini banyak yang mengandalkan dana CSR untuk membantu program pembangunan. Seperti Program Penataan Pemukiman Kumuh di Jakarta (MHT Plus) yang didanai oleh dana CSR perusahaan di Jakarta. (Foto: Flickr)
 
Kebijakan CSR baru mulai marak dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia pada periode 2000-an. Tepatnya sejak diberlakukannya pasal 74 Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mewajibkan setiap perusahaan untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan. UU tersebut, antara lain, dipicu kejadian lumpur Lapindo di Sidoarjo pada 2006.
 
Aturan ini juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Negara BUMN No 4 Tahun 2007 yang menetapkan bahwa laba perusahaan harus disisihkan sebesar 4 persen. Perinciannya, 2 persen persen untuk program kemitraan dan 2 persen lainnya untuk program bina lingkungan.
 
Namun lepas dari kegigihannya mengawal agenda pembangunan berkelanjutan di Indonesia dengan menelurkan praktisi-praktisi CSR yang mumpuni,  Maria Nindita Radyati mengaku kepuasan terbesar dari kiprahnya di dunia CSR selama ini adalah Ia mampu membantu masyarakat banyak melalui sektor swasta.
 
“Mimpi saya sejak awal mendirikan S-2 ini, saya ingin membantu private sector, biar nanti private sector bisa membantu masyarakat. Jadi sektor swasta saya kasih panduannya,rumusan how to-nya supaya bisa membantu meningkatkan kesejahteraan komunitas di sekitarnya dengan cara-cara yang sustainable.” ungkapnya.