Bantu Korban Bom Bali I, Dokter Australia ini Ditolak Ausransi karena PTSD
Seorang dokter di Australia yang berjasa besar dalam menolong korban Bom Bali tahun 2002 lalu, kesulitan mendapatkan asuransi jiwa dan ditolak mendapatkan asuransi jaminan pendapatan karena mengalami stres pasca trauma (PTSD) setelah tragedy tersebut.
Dr Bill McNeil tengah menikmati liburannya untuk berselancar di Bali pada tahun 2002 dan menjadi salah satu staf medis pertama yang tiba di lokasi kejadian setelah bom yang dirakit Amrozi CS meledak di Sari Club, Kuta, Bali.
"Saya sebenarnya ketika itu memang sedang dalam perjalanan menuju Sari Club dan saya datang terlambat untuk menemui teman disana ketika pemboman itu terjadi,” tutur Dr McNeil dalam acara 7.30 TV ABC.
Pelatihan menghadapi kegawatdaruratan medis yang dimilikinya membuat Dr McNeil langsung menyeruak ke lokasi ledakan untuk melihat apa yang bisa dia lakukan untuk membantu korban.
"Keadaannya sangat parah, ada ratusan jika bukan ribuan orang yang lalu lalang panik ketika itu, mereka semua berlumuran darah, kaca, runtuhan bangunan dan juga api,”
Dr McNeil bekerja sepanjang malam di rumah sakit, menyelamatkan orang-orang yang bisa dibantunya.
"Kami mampu untuk mendapatkan cairan infuse dan morfin untuk korban ledakan,” katanya.
"Kami berhasil menjalankan sistem dimana kita bisa menjaga korban tetap bertahan hidup sampai datang bantuan medis,” katanya.
Tapi ketika kembali ke Australia, Dr McNeil mulai menderita gangguan mental.
"Saya terus menerus melihat gambar-gambar didalam pikiran saya yang mereka sebut sebagai flashbacks, dan itu sangat mengganggu saya,” katanya.
"Misalnya saya terus menerus mendapatkan gambar memegang seorang gadis asal Jerman yang isi perutnya terburai ditangan saya dan saya harus mengatakan kepadanya kalau dia akan meninggal dan karenanya dia perlu bersiap untuk meninggal,”
"Dia masih berusia 24 tahun, sendirian dan dia tidak kenal siapapun disana,”
"Ada juga seorang yang berusaha diselamatkan dari amukan api di lokasi ledakan bom dan saya kira dia akan mati – saya langsung menariknya dan ternyata kepalanya sudah tidak ada,”
"Banyak sekali hal yang mengerikan terjadi, terlalu banyak korban dan penderitaan,”
Setelah enam bulan mengalami PTSD, Dr McNeil memutuskan berhenti dari pekerjaaannya dan berusaha mendapatkan bantuan professional. Dengan mengikuti terapi ini, kondisinya mulai membaik.
"Ini sungguh luar bisa, bagaimana kita bisa pulih dari hal-hal semacam ini,’ katanya.
Perlahan-lahan, dokter muda ini membangun kembali hidupnya. Dia menikah dengan isterinya Jada dan kemudian memiliki 3 anak.
Dan kini dia mendapatkan pekerjaan rutin di pusat kesehatan lokal di Forster, New South Wales.
"Saya memilik 3 anak yang cantik dan seorang isteri yang sangat baik dan karir yang mulai menanjak,” katanya.
Dengan harapan besar pada masa depan dan memiliki keluarga yang menurutnya perlu diberikan perlindungan, Dr McNeil memutuskan untuk mengikuti asuransi jiwa dan asuransi perlindungan pendapatan.
"Tapi pihak asuransi menolak saya, mereka mengatakan kami tidak bisa menjamin proteksi Anda, karena Anda mengidap PTSD,” ungkapnya.
"Saya tidak pernah mempermasalahkan apapun yang menimpa saya karena keterlibatan saya dalam peristiwa yang membuat saya PTSD, saya akan dengan senang hati mundur, tapi ini demi anak-anak saya.. saya tidak tahu harus berkata apa,” katanya.
Tapi akhirnya Dr McNeil berhasil mendapatkan Asuransi jiwa, tapi dengan syarat tertentu.
"Saya harus menunggu 2 tahun tanpa da perubahan dalam kondisi kesehatan saya. Jadi saya tidak boleh menemui psikiater, tidak boleh mengganti pengobatan, tidak melakukan terapi apapun jadi selama dua tahun ini saya harus memastikan kondisi saya benar-benar stabil,”
Diluar persyaratan itu, pengalamannya dalam peristiwa Bom Bali juga telah membuatnya harus membayar premi asuransi 3 kali lipat dari premi asuransi standard.
Dan pengajuan asuransi proteksi pendapatannya juga ditolak.
Menanggapi perlakuan yang dialami Dr McNeil, CEO Kesehatan Mental Australia, Frank Quinlan menyebut perlakuan yang dialami Dr McNeil sungguh keterlaluan.
"Para penyitas kasus gangguan kesehatan mental tidak ada bedanya dengan pasien yang sembuh dari penyakit lain, jadi saya pikir dengan membuat pengecualian seumur hidup seperti ini perusahaan asuransi benar-benar bertindak sebagai hakim, juri dan algojo bagi hampir setengah dari populasi Australia yang menderita gangguan kesehatan mental," kata Quinlan.
Namun CEO Asosiasi Broker Asuransi, Dallas Booth mengatakan perusahaan asuransi biasa melakukan pengecualian untuk tidak mencakup layanan asuransi mereka untuk penyakit mental, tidak seperti luka fisik.
"Dalam kesehatan mental, pertimbangannya jauh lebih sulit, penilaian bisa sangat subjektif," kata Booth.
"Jika sulit untuk menilai risiko, jika sulit untuk diukur harga risikonya, biasanya perusahaan asuransi akan menolak menjamin area itu,”
Itulah sedikit penghiburan bagi Dr McNeil.
Ia percaya bahwa sikap perusahaan asuransi ini merupakan langkah mundur yang mengingatkan soal tingkat kemajuan yang telah dibuat belakangan ini dalam mengurangi stigma penyakit mental.
"Kita hidup di masyarakat di mana sepertiga dari populasi tidak dapat memiliki masa depan atau tidak dapat memastikan masa depan mereka," katanya.
"Jika sesuatu terjadi, maka Anda akan kehilangan banyak sekali dan ini tidak adil."