Kunjungi Perbatasan Korut, Pemuda Australia Terkesan Suasana Ganjil
Sejumlah pemuda Australia berkesempatan mengunjungi zona demiliterisasi (DMZ) di perbatasan Korea Utara-Selatan, sebuah pengalaman berkesan bagi mereka. Kunjungan ke DMZ ini adalah bagian dari MIKTA Young Professional Camp 2015 yang mereka ikuti.
Sejak berakhirnya Perang Korea di tahun 1953, Korea Utara; China dan unit Komando PBB (United Nations Command) menyepakati dibentuknya zona netral atau zona demiliterisasi (DMZ) selebar 4 kilometer, di desa Panmunjom.
Zona ini dibentuk sebagai bagian dari Perjanjian Gencatan Senjata di Semenanjung Korea dan kemudian menandai garis perbatasan antara Utara dan Selatan.
Suasana di zona demiliterisasi antara Korea Selatan-Korea Utara. Bangunan putih di belakang deretan bangunan biru adalah gedung yang dikuasai Korea Utara. (Foto: Nurina Savitri)
Hingga hari ini, DMZ terus bertahan dan bahkan telah menjadi atraksi wisata tersendiri bagi para wisatawan di Korea Selatan, tak terkecuali bagi sejumlah pemuda Australia yang berada di sana untuk mengikuti MIKTA Young Professional Camp 2015, yang baru saja berakhir 11 Juli.
Bart Csorba sudah sejak lama ingin mengunjungi DMZ dan ketika pertemuan pemuda MIKTA membawanya ke zona itu, ia sungguh bersemangat.
“Saya selalu ingin pergi ke DMZ. Cerita tentang zona itu selalu menarik bagi saya. Dan ketika ada di sana, saya benar-benar tertegun melihat situasinya, bagaimana para penjaga bersikap di sana. Buat saya, sungguh membingungkan melihat para penjaga memperkenalkan DMZ kepada turis seperti layaknya tempat biasa,” ungkap pria Australia keturunan Hungaria ini.
Bart berfoto di depan pasukan PBB di dalam bangunan biru. Pengunjung tak diperbolehkan melakukan kontak dengan para penjaga di DMZ ini. (Foto: Bart Csorba)
Keterkejutan yang sama juga dirasakan Darcy Rowe. Mahasiswa Universitas Murdoch di Perth ini mengaku takjub melihat fakta bahwa DMZ adalah salah satu destinasi wisata yang populer di Korea Selatan.
“Ini menarik, melihat konflik namun di saat yang bersamaan anda melihat ada toko suvenir. Ada unsur kontradiktif di sana, tapi itulah kenyataannya,” akunya kepada Nurina Savitri dari ABC yang turut menghadiri MIKTA Young Professional Camp di Seoul.
Bart lantas menimpali, “Belanja souvenir di DMZ, kedengarannya aneh…ada simbol kapitalisme di tengah perbatasan dengan komunisme.”
Lebih lanjut ia mengatakan, kontradiksi juga bisa dilihat dari kondisi alam yang ada di sana.
“DMZ sejatinya adalah daerah konflik tapi lihat saja alam di sini, sungguh menakjubkan, hijau dan penuh sawah” sebutnya.
Bagi Bart dan Darcy, kondisi sosial dan alam di DMZ membuatnya sebagai tempat yang unik. Kesan serupa juga ditangkap oleh pemuda Australia lainnya, Iain Henry.
“Tak ada tempat lain di dunia yang seperti ini, ini adalah zona perbatasan paling unik di dunia. Mengapa? karena DMZ adalah simbol mimpi buruk perang dan sudah 62 tahun gencatan senjata berlangsung, kita masih melihat adanya kebencian, sungguh disayangkan,” katanya.
"The Bridge of No Return" di DMZ yang juga menandakan garis perbatasan antara Korut dan Korsel. Jembatan ini dulunya digunakan sebagai tempat pertukaran tawanan pada akhir Perang Korea 1953. (Foto: Nurina Savitri)
Menurut pria yang mempelajari sejarah dan budaya Korea ini, aroma kebencian paling nyata bisa dilihat dari ketegangan situasi di sana.
“Suasananya ganjil, melihat sikap para penjaga di sana menurut saya juga ganjil,” utaranya.
Darcy pun mengamini perkataan rekannya tersebut, seraya menunjuk bahwa kebencian di antara pihak Utara dan Selatan bisa dilihat dari interaksi para penjaga di DMZ.
“Saya kira sungguh aneh ada orang-orang yang bekerja bersama-sama selama 2-3 tahun tapi mereka tak pernah berbicara satu sama lainnya. Mereka seperti terdoktrinasi, bahkan ketika saya mendengar penjelasan pemandu di sini tentang betapa salah satu pihak dilarang untuk berbicara ke atau menanggapi pihak lainnya, saya rasa sikap itulah yang membuat keduanya tak bisa bekerja sama,” tutur pemuda yang cakap berbahasa Mandarin ini.
Salah satu bagian penting di DMZ yang sarat dengan sejarah adalah jembatan penghubung perbatasan atau yang dikenal dengan sebutan ‘bridge of no return’. Dulunya, jembatan ini adalah titik akhir bagi para tawanan yang hendak dikembalikan ke negara asal, baik itu Korea Utara maupun Korea Selatan.
Bart berpendapat, jembatan ini adalah salah satu titik di DMZ yang paling emosional.
“Di sini, para tawanan harus membuat keputusan, mau tinggal di Selatan atau kembali ke Utara. Jembatan ini juga menandai perbedaan insfrastruktur di antara keduanya. Kalau dulu saya selalu penasaran tentang tempat ini, sekarang, setelah datang ke tempat ini, saya jadi makin ingin tahu sejarahnya, apa saja yang terjadi di sini pada masa perang,” jelasnya kepada ABC di Seoul.
Kiri: dokumen ‘siap mati’ yang harus ditandatangani pengunjung sebelum masuk ke DMZ. Kanan: beton pembatas yang menandai awal wilayah Korut (kiri) dan Korsel (kanan). (Foto: Nurina Savitri)
Sejarah-lah yang disebut Iain sebagai hal yang wajib dipelajari siapa saja sebelum datang ke DMZ. Baginya, tanpa mengenal sejarah dan latar belakang di tempat ini, seorang pengunjung tak akan mampu memahami atmosfir di zona demiliterisasi.
“Harus dimulai dengan sejarah, karena tanpa itu, anda tak akan memahami apa itu warisan perang dingin, bagaimana semenanjung Korea terbagi dan dampak perang serta bagaimana keputusan dibuat pada era 1950an kala itu,” jelasnya.
Sejarah pulalah, menurut Iain, yang akan membantu para pengunjung DMZ untuk memahami mengapa Korea Utara selalu menuduh Korea Selatan sebagai boneka Amerika Serikat, dan mengapa warga Korea Selatan lebih bebas mempelajari sejarah mereka sendiri ketimbang warga Korea Utara.
Pria yang sedang menempuh studi doktoral ini mengutarakan, sejarah juga akan membantu siapa saja yang tertarik dengan zona perbatasan ini memahami peluang reunifikasi Korea.
“Tentu saja saya harap ini (reunifikasi) terjadi, tapi peluangnya sungguh berat. Banyak orang menyamakan Korea dengan Jerman, dan reunifikasi Jerman di akhir ‘80an, tapi ini berbeda, kondisi di sini jauh lebih berat,” terangnya.
Darcy Rowe (tengah) dan Andrew Carr (kanan) berpose bersama rekan senegara mereka (Brendan Forde) di depan gedung ‘JSA’ atau Area Penjagaan Bersama, di dalam DMZ. (Foto: Nurina Savitri)
Sementara bagi Andrew Carr dari Universitas Nasional Australia (ANU), zona perbatasan ini mengingatkannya pada perbatasan darat antara Amerika Serikat dengan Meksiko.
“Walau situasinya jauh berbeda, menurut saya, dari dua zona perbatasan itu sama-sama ada pemandangan yang menyedihkan. Di Meksiko, hanya beberapa kilo dari perbatasan, anda juga bisa lihat orang hidup sengsara. Mungkin tak jauh berbeda dengan di Korea Utara,” urainya.
Ia lantas menyambung, “Tapi di perbatasan Amerika itu, orang bebas keluar masuk, anda juga bisa lihat orang Meksiko itu seperti apa. Di Korea, anda tak akan melihat orang Korea Utara keluar masuk, bahkan anda tak bisa melihat mereka.”